Mohon tunggu...
fuad mardhatillah mardhatillah
fuad mardhatillah mardhatillah Mohon Tunggu... -

Dosen dan activis sosial

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Islam Protestan

29 Mei 2010   09:02 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:53 2057
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan
siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang berpikir; (yaitu)
orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau berbaring, dan
mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi, (seraya berkata): Ya tuhan
kami, tiadalah Engkau menciptakan semua ini dengan sia-sia..., Maha Suci Engkau,
maka peliharalah kami dari api neraka.."(Ali-Imran: 190-191)

*

"Katakanlah: apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang
paling merugi perbuatannya? Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya
dalam kehidupan dunia ini, sedang mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat
sebaik-baiknya. Mereka itu adalah orang-orang yang kufur terhadap ayat-ayat Tuhan
mereka dan (kufur terhadap) perjumpaan dengan Dia, maka hapuslah amalan-amalan
mereka, dan kami tidak menagadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada hari
kiamat."(al-Kahfi: 103-105).

**

I. Iftitah: Renungan Pembuka

Bismillahir-rahmaanir-rahiim...rabbi adkhilni mudkhala shidqin, wa akhrijni mukhraja shidqin, waj'alni min ladun ka sulthaanan-nashiraa...Alhamdulillahi rabbil’alamiin, shalatu was-salamu ‘ala asyrafil ambiyaai war mursalin, sayyidina Muhammadin, 'amma ba'at....

Perintah Allah kepada seluruh umat manusia yang termaktub dalam al-Quran untuk melaksanakan Iqra' bismi rabbikal-lazii khalaq, khalaqal insaana min 'alaq, iqra' wa rabbukal-akram, sungguh merupakan sebuah semiotika tentang sunnatullah alamnya manusia (the nature of human being). Dalam semiotika yang menandai alamnya manusia ini, sungguh di dalamnya terkandung perihal tugas-tugas dan kewajiban yang harus diemban dan dijalani oleh proses sejarah umat manusia. Dari sini berkonsekuensi tumbuh dan terciptanya kebudayaan dan peradaban manusia itu sendiri. Sehingga tugas iqra’ ini menjadi“jalan azali” yang telah ditakdirkan harus ditempuh dalam perjalanan sejarah umat manusia yang hidup di muka bumi.

Tugas sejarah yang sarat makna semacam ini menjadi layak diberikan. Setelah kepada manusia Allah menganugerahkan 'aqal, yang menjadi piranti energi potensial bagi manusia, yang memberinya kekuatan dan kemampuan, untuk merenungkan, memikirkan, menalar, menganalisa, memahami dan menyimpulkan secara logis-rasional tentang peran eksistensial dari entitas individu dirinya (micro cosmos), dan dalam entitas jagat semesta alam (macro-cosmos) yang menjadi habitat universalnya. Melengkapi eksistensi 'aqal ini, manusia juga dianugerahkan tiga piranti penyempurna lain yang masing-masing memiliki potensi yang berbeda-beda satu sama lain, yakni: panca indera, qalbu dan nafsu.

Ke-empat entitas piranti kemanusiaan tersebut telah sedemikian rupa ditakdirkan secara predeterministik tentang potensi,posisidan fungsinya masing-masing oleh Allah yang Maha Pencipta, untuk satu sama lain bisa saling melengkapi, berinteraksi, bersinergi, berkolaborasi dan bersenyawa, sehingga dalam segala relativitas potensialitasnya mampu menghasilkan imagi, kreasi dan produksi, berupa pikiran, persepsi, asumsi, teori-teori, metodologi, tindakan, prilaku, kerjadan alat-alat teknologi. Menuju perwujudan kebudayaan dan peradaban manusia yang secara relatif senantiasa mampu dan mau untuk terus menerus berusaha mencari dan mencari ilmu dan terobosan baru, walau kemudian setiap orang hanya bisa mendekati kebenaran-kebenaran,yang kiranya sesuai dengan kehendak penciptaan Allah, sebagai pemilik tunggal atas segala kebenaran mutlak (absolut).

Maka dapatlah disimpulkan bahwa, tujuan utama dari perjalanan sejarah manusia itu adalah, agar ia dapat memiliki rentang wawasan keilmuan yang terus-menerusberkembang meluas menuju batas-batas relativitas yang terbatas, walau batasannya tak kunjung pernah bisa diketahui oleh siapapun secara pasti dan final. Oleh karenanya, dalam menggapai berbagai kebenaran yang optimal selalu membutuhkan kritisisme dan kearifan, terutama dalam memahami dan mengaplikasikan nilai-nilai keilmuan sebagai latar justifikasi bagi setiap gerak aktifitas fisik dan dunia kerjanya. Sehingga dalam pengalaman-pengalaman gerak dan kerja inilah, ia dapat melakukan verifikasi atas setiap kebenaran hingga tumbuhnya keyakinan tentang adanya Allah (Iman) dan mampu berserah diri kepada kehendak deterministik Allah (Islam).Lantas,secara bebas (free will) iarela bekerja untuk mengabdikan diri bagi menegakkan kebaikan, kebenaran, keadilan dan senantiasa berusahamempersembahkan kebermanfaatan eksistensial dirinya bagi kemaslahatan umat manusia dan alam semesta (Ikhsan).[1]

Namun ke tiga terma (Iman, Islam dan Ikhsan) tersebut, kiranya masih harus terus menerus dibahas, dikaji, dipahami, disadari dan diamalkan secara kritis-dialektis, rasional, radikal (mendasar) dan komprehensif (wholeness). Agar kemudian dapat dipahami kandungan esensial tentang definisi ontologisnya, menuju terbentuknya konsepsi-konsepsi kognitif (dimensi keilmuan), afektif (dimensi pembentukan kepribadian) dan psikomotorik (dimensi penjelmaan akhlaq/prilaku), melalui perjalanan keilmuan dan pengamalannya yang berlangsung secara sadar, terbuka dan bebas bersama pengembangan wawasan yang terus meluas dan dalam perspektif yang multi disiplin dan dimensi.

Betapa tidak, bahwa nilai-nilai substansial dalam Iman, Islam dan Ikhsan itu, adalah merupakan kerangka dasar fitriah, yang menjadi nilai-nilai dasar yang diperlukandalam membangun landasan normative dan menjadi prinsip-prinsipoperasional bagi tegaknya suatu peradaban sejati, luhur dan menjadi ciri khas makhluk manusia yang mampu hidup berdampingan secara damai dan saling menghargai dalam segala takdir pluralitas perbedaan,baik perbedaanyang bersifat pre-deterministik, maupun perbedaanyang tercipta akibat konstruksi sistem sosial dan kepercayaan, yang niscaya akan memperkaya khasanah kehidupan manusia.

Dalam konteks perjalanan religiositas menyangkut pemahaman substansial Islam, Iman dan Ikhsan ini, selalu diperlukan adanya renungan kritis-dialektis terhadap periode-periode historis masa lalu, masa kini dan masa depan. Realitas sejarah masa lalu, adalah khasanah tempat kita belajar menggali, memahami dan menyadari secara rasional dan ilmiah tentang segala hal yang baik dan yang buruk. Dan kemudian membanding-bandingkan dengan khasanah realitas masa kini, yang coba meninjau segala kebutuhan, keharusan dan problematika religiositas kemanusiaan yang sekarangexist. Semua ini dilakukan untuk menemukan sebuah kesadaran baru dalam ikhiyar setiap pribadi muslim menjawab segala dinamika permasalahan dan tantangan yang ada di dalamnya, agarsegala pemikiran yang tumbuh kemudian adalah pemikiran yang bersifat problem solving, dan menjangkau tujuan yang jauh ke masa depan, berupa visi, misi dan rencana kerja pribadi. Disini otonomi dan kebebasan setiap individu dalam konteks pemikiran dan perbuatan menyangkut urusan-urusan pribadinya harus diberikan seluas-luasnya. Karena segala pertanggung-jawabannya hanya akan diemban dan diminta secara pribadi dan sendiri-sendiri (nafsiyah) terhadap Tuhannya.

Selanjutnya, setiap pribadi harus bersedia secara kontinyu mengembangkan dialog-dialog kritis terbuka dalam forum-forum publikuntuk bermusyawarah menemukan formulasi kesepakatan bersama, menyangkut segala pemikiran yang berkenaan dengan urusan membina suatu realitas tatanan kehidupan bersama yang saling menguntungkan, tertib, bersih, adil dan damai. Disini, konteks pertanggung-jawabannya menjadi bersifat publik dan terletak pada entitas kepemimpinan yang diamanahkan pada seseorang, sebagai khalifatullah, melalui sebuah mekanisme amanah yang demokratis, transparan, bertanggung-jawab, bertanggung-gugat dan memegang teguh prinsip-prinsip keterbukaan, keadilan dan kesederajatan (egalitarianisme). Dari kerangka temporal kemasa-kinian ini, diharapkan dapat ditemukan suatu fondasi pembangunan masa depan yang lebih baik dan dapat menjadi warisan yang baik bagi generasi selanjutnya. Namun tetap membuka ruang bagi segala bentuk kritik, dinamika dan perubahan yang disesuaikan dengan realitas kebutuhan dengan segala perkembangan pemikiran dan kesadaran zamannya dari generasi-generasi yang kemudian datang silih berganti.[2]

Dalam konteks sejarah kehidupan umat manusia, maka salah satu kekhasan natural yang menghiasi kehidupannya adalah, adanya pluralitas. Ini merupakan keragaman azali yangmenandai sebuah watak asli manusia yang membuat dirinya harus hidup dan eksis dengan segala produksinya yang saling berbeda-beda dalam seluruh aspeknya. Khususnya menyangkut perbedaan dalam aspek penafsiran dan pemahaman terhadap semua realitas faktual dan fenomenal, yang kemudian mensyaratkan perlunya penghargaan resiprokal atas aneka perbedaan itu. Ada perbedaan yang melekat (inborn/ given) dan ada pula perbedaan yang secara sosiologis terus menerus dikonstruksi dan diproduksi kemudian, sebagai konsekuensi dari fitrah sejatinya manusia.

Karenanya, diperlukan adanya ruang kebebasan optimal dan inisiatif untuk berpikir, agar dapat menghasilkan pemikiran-pemikiran, gagasan-gagasan baru dan terobosan-terobosan kerja yang kreatif, berani dan kaya dalam varian perbedaan, yang masing-masing pemikirnya secara terus menerus berusaha mencapai derajat-derajat pekerjaan yang lebih baik secara berkelanjutan, demi perwujudan cita-cita dan kepentingan bersama.

Ini adalah pekerjaan yang niscaya dan senantiasa diperlukan bagi setiap pemeluk agama Islam dalam pengembangan penerapan syariah Islam ke dalam hukum-hukum positif, dalam upayanya merajut tingkah laku dan pekerjaan umat untuk merekonstruksi peradaban Islam masa kini. Sehingga menjadi exemplar peradaban yang menjadi teladan bagi peradaban lain. Kesadaran semacam ini tentu sangat diperlukan, ketika masing-masing kita merasa telah memiliki semacam panggilan, cita-cita, harapan dan keinginan ideal, melalui pengamalan syariat Islam produktif, bagi membangun-wujudkan kebudayaan dan peradaban manusia yang baik, benar, adil, luhur, jujur, tertip, damai, beradab dan tanpa kekerasan.

Dari usaha bebas dan inisiatif berpikir setiap muslim semacam itulah, tentu akan menghasilkan rangkaian panjang pemikiran pribadi-pribadi (personal), yang satu dengan lainnya niscaya memiliki dan saling mengakui ke­terbatasan (definite) dirinya dalam semua hal. Kenyataan yang serba terbatas ini, hendaknya mampu menyadarkan kita, untuk menjadi rela dan berlapang dada dalam menyikapinya secara konstruktif, terhadap segala proses berdialektika. Sehingga dapat bersintesa, bersinergi dan berkolaborasi secara positif dengan aneka buah-buah pikiran para manusia lain, yang juga terus berlangsung dan berkembang, baik secara sama sebagai wujud universalitas manusia maupun yang berbeda-beda sebagai wujud manifestasi partikularitas dari individu-individu dan kelompok-kelompok manusia yang sering kali melahirkan banyak kontroversi dan pertikaian.

Menghindari pertikaian menuju tititk-tiik ekstrimnya, maka, semua perbedaan ini harus dapat berlangsung dalam watak dan sifat-sifat terbuka, dinamis, kritis, evaluatif, selektif dan apresiatif. Demi memperkaya khasanah pemahaman dan kesadaran kita, tentang eksistensi Ketuhanan yang Maha Tunggal dan serba tak terbatas (indefinite), pemilik segala absuliditas dan tentang semesta alam kemanusiaan beserta jagat raya yang terbatas (definite), dalam segala relativitasnya.

Dimensi berpikir semacam ini, sejatinya adalah bagian inti dan menjadi ruh yang paling penting dalam konstruksi kehidupan dari suatu peradaban atau kebudayaan manusia, dimana syariat Islam dapat diubah menjadi landasan teoritis dan operasional. Oleh karenanya, bahwa wajah, warna dan plus-minus suatu kebudayaan yang dihasilkan dan terbangun, niscaya sepenuhnya ditentukan oleh produk pemikiran warganya sendiri. Dalam konteks masyarakat muslim, maka wajah peradabannya juga sangat ditentukan oleh corak bagaimana warga muslim menafsirkan, memahami, menyadari dan mengamalkan esensi Syariat Islam itu sendiri. Ini sesuai dengan salah satu dictum Qur'ani: laha ma kasabat, wa'aliaha maktasabat. Karena kita hanya akan memperoleh apa yang kita pikirkan, usahakan dan kerjakan.

Semua rangkaian proses kebudayaan yang didasarkan pada dimensi berpikir kreatif masyarakat pemiliknya ini, berlangsung secara alamiah dan mengalir begitu saja, mengawali, mendasari dan melatari semua perbuatan warga masyarakatnya. Dalam proses inilah yang kemudian dapat menghasilkan berbagai kesamaan sekaligus ketidaksamaan, berupa pandangan, keyakinan dan pendirian individu-individu, yang mungkin hanya dapat diberlakukan dalam urusan-urusan pribadi semata (ranah private) yang tidak berhubungan secara langsung atau tidak langsung dengan urusan-urusan orang lain, yang mungkin dapat mengakibatkan kerugian bagi yang lain. Namun dalam konteks ranah publik, pemikiran yang menyangkut kehidupan sosial kemasyarakatan, berupa norma dan tata-aturan bagi tatanankehidupan bersama, selalu mensyarat­kan perlunya kesepakatan-kesepakatan (konvensi) yang dibangun di atas prinsip-prinsip keadilan dan kesederajatan (egalitarianisme), untuk menjaga agar relasi dan interaksi sosial yang senantiasa berlangsung, tidak kemudian saling merugikan. Sehingga pada gilirannya, semua relasi dan interaksi yang didasarkan pada prinsip-prinsip kehidupan bersama yang adil, egaliter dan tidak saling merugikan itulah, membentuksuatu peradaban yang terbangun di atas nilai-nilai yang diterima secara bersama-sama, sehingga harmoni sosial dapat berlangsung secara dinamis, produktif dan meaningful.[3]

II. Terobosan Teologis

Itulah sebuah kewajiban historis, ketika kita harus menjalani kehidupan, dan secara tak terelakkan harus pula menghadapi keaneka-ragaman dalam semua hal, yang seringkali cendrung ditentang atau tolak, bukan dihargai antara satu dengan yang lainnya. Selain itu, kita harus pula menyelesaikan berbagai masalah yang muncul dan lahir di dalam keberagaman itu. Dimana kemudian setiap kita, suka atau tidak, terpaksa untuk harus menentukan pilihan-pilihan, serta membuat dan mengambil banyak kesimpulan, keputusan dan kebijakan yang kiranya dapat menyelesaikan berbagai masalah itu secara baik, bijak dan benar.

Disinilah salah satu signifikansi utama dari pentingnya perintah Allah untuk ber-IQRA', sebagai pelajaran esensial yang paling dasar, paling pertama dan utama bagi setiap manusia dalam membawa dirinya menjalani dan menyusuri gerak sejarah kehidupan sebagai manusia. Maka, tanpa kesediaan dan kerelaan manusia untuk aktif, tekun, serius, jujur, dinamis dan kritis dalam kegiatan "belajar" semacam ini, kiranya dapat dipastikan, bahwa "Manusia Akan Gagal Menjadi Manusia" dan berujung pada terbentuk sikap yang “Homo Homini Lupus” yang satu sama lain akan saling menaklukkan dan saling memangsa.

Melalui perjalanan dan pengalaman belajar seperti itu, sebuah paradigma dan spirit ideal baru dapat diperoleh, sebagai sesuatu yang menjadi landasan teologis, yang diyakini secara rasional sebagai bentuk atau model yang harus dikembangkan secara sistemik, dengan meletakkan prinsip­-prinsip dan kaedah-kaedah dasar dalam ikhtiyar metodologis memperjuangkan terwujudnya perubahan pola pikir (mindset) dan pola gerakan masyarakat muslim, khususnya di Aceh.

Perubahan pola-pikir dan gerakan ini, khususnya menyangkut perubahan terhadap berbagai ketetapan doktrinal, nilai-nilai dasar dan konsep konsep pemahaman yang menyebabkan kejumudan dan dekadensi dalam semua sektor kehidupan, yang selama ini telah melandasi pelaksanaan kehidupan beragama kita. Persoalan bagaimana seorang muslim telah berinteraksi dan berdialektika dalam memikirkan, mengkaji, memahami dan mempraktekkan Islam, adalah hal yang paling utama untuk dicermati kembali, dalam mangawali sebuah perubahan, dimana Islam menjadi rujukan ideologis utama bagi semua nilai-nilai yang harus dipeluknya.

Namun, dalam kenyataan historis-objektif, tampak adanya sebuah kenyataan telanjang yang sangat memprihatinkan, bahwa sepanjang abad-abad terakhir ini, umat Islam ternyata tidak atau belum dapat memperlihatkan keunggulan ilmu dan kemuliaan akhlak sosial universalnya, yang semestinya mampu memproduksi karya-karya kemanusiaan yang menjadi rujukan dan teladan bagi banyak pihak, sebagai sebuah exemplary center (pusat keteladanan) dalam kerja dan karya membangun peradaban yang shaleh, yang jauh dari segala bentuk kekerasan. Sebaliknya, kegagalan dalam membangun kemajuan dan kemuliaan umat justru menjadi kenyataan yang mewujud, yang kemudian membuat masyarakat muslim menjadi inferior di hadapan peradaban lain.

Mungkin kita boleh sepakat, jika kemunduran ini dipahami sebagai akibat dari telah berhentinya kegiatan "belajar" para muslimin dalam artian yang luas dan sesungguhnya, sebagai kegiatan yang terus menerus bergerak untuk berusaha keluar dari ranah-ranah kegelapan (kebodohan/kejahilan). Menuju ranah-ranah terangnya cahaya ilmu pengetahuan (keberilmuan), yang kemudian menjadi ideologi dan menjadi energi impetus yang memotori gerakan perlawanan terhadap aneka bentuk kepicikan, kebodohan, ketidakadilan dan penindasan struktural dan sosial.

Jelasnya, kemunduran itu terjadi karena kita telah berhenti berpikir, menganggap banyak hal telah final, selesai, dan tinggal menerima dan mewarisi saja segala sesuatu yang telah ada dari masa lalu. Serta enggan mengeksplorasi khasanah pemikiran umat manusia yang amat luas, majemuk dan berbeda-beda, sebagai bahan-bahan perbandingan dalam menyikapi problem dan perkembangan yang terus lahir dan bergerak dinamis. Sehingga tidak ada perbuatan nyata personal dalam membangun kegiatan sosial bersama, yang didasarkan pada prinsip-prinsip ilmiah, yang bergerak secara dialektis, bebas, lugas, lintas disiplin, multi-dimensional, saling melengkapi dan akhirnya bersifat mutual sismbiosis.

Pemikiran paradigmatik yang coba dikembangkan ini merupakan resultante dari berbagai kutub pemikiran teologis, meliputi kutub-kutub pemikiran yang inklusif, pluralis, liberalis dan progresif. Dimana esensi substansialnya diturunkan secara interpretative dan reflektif-historis dari integralisme ajaran dan nilai-nilai Islam, yang diyakini menjadi esensi terpenting yang kini amat dibutuhkan dalam rangka membangun sebuah pola-pikir dan gerakan perlawanan baru terhadap pola keberagamaan konservatif yang sekedar meniru, mewarisi dan mengikuti apa-apa yang telah ada pada masa lalu.

Semua pemikiran dan buah-buah pikir yang dihasilkan kemudian, tentu harus ditempatkan secara tepat, rasional, dinamis dan kontekstual, dalam kontinum realitas sosial yang ada, sebagai sasaran objektif, dengan menumbuhkan niat dan cita-cita untuk melakukan perubahan, pencerdasan dan pencerahan sosial. Sehingga, dalam rangka mencari pemahaman-pemahaman baru beserta pemecahan dari 1001 masalah kemanusiaan yang setiap saat terus bermunculan, berbagai hasil pemikiran itu dapat menjadi pegangan dan ideologi baru dalam melawan kejumudan dan kepicikan yang ada. Untuk kemudian semua itu harus diterapkan dan dijalankan secaea konsekuen melalui formulasi metodologi yang tepat, relevan, operasional, terukur serta sesuai, dalam konteks usaha mencapai tujuan-tujuan sosial bersama, yang senantiasa dimiliki dan didambakan oleh setiap warga dari suatu komunitas muslim, yang khususnya kini berada di Aceh, dan boleh jadi untuk semua muslim dimanapun ia berada.

Untuk tujuan-tujuan seperti itu, ikhtiyar memperkenalkan landasan pemikiran yang mendasari dan memberi penjelasan deskriptif terhadap penggunaan terminologi "Islam Protestan" yang selama ini dipertanyakan oleh sejumlah kalangan, kiranya memang penting dan amat diperlukan. “Islam Protestan” disini adalah sebuah terobosan teologis yang menjadi paradigma, dalam pola berpikir kritis, terbuka, dinamis dan progresif. Ia adalah juga semangat ideal untuk perubahan dan menjadi kerangka ideologis yang diyakini benar untuk melahirkan gerakan perlawanan terhadap segala bentuk hegemoni yang memasung, penjajahan pikiran yang mengerdilkan dan penindasan social dan structural yang menyebabkan umat Islam menjadi miskin dan terbelakang.

Teologi pemikiran ”Islam Protestan” telah coba diturunkan, untuk menjawab berbagai tantangan dan permasalahan dalam realitas sosial. umat Islam masa kini, yang tampak jumud, dekaden dan cendrung memelihara kemapanan otoritas keagamaan dan politik status quo, di berbagai belahan dunia muslim, khususnya di Aceh. Karena semua keadaan itu ternyata telah banyak melahirkan kebodohan, menyempitnya dimensi nalar-nalar keagamaan umat, dan selanjutnya mengakibatkan dampak­dampak negatif berupa bentuk-bentuk kemunduran, ketertinggalan, kekotoran, kemenderitaan, ketertaklukan dan kehinaan, di berbagai sektor kehidupan, baik secara lahir maupun bathin.

Sebenarnya, bahwa realitas yang penuh kemunduran itu, sungguh merupakan sesuatu yang kontradiktif dengan pesan dan tujuan utama dari diturunkannya agama Islam, yang fokus dan konteksnya adalah bagaimana menjadikan Islam sebagai kekuatan yang memastikan produksi pikiran-pikiran kreatif, inovatif, tingkah laku yang bersahabat, pekerjaan dan karya yang bermanfaat, sebagai perwujudan kongkrit dari visi dan misi sucinya yang rahmatan lil'alamiin, bagi umat Islam sendiri dan bagi semua kelompok manusia lainnya. Sehingga ajaran dan nilai-nilai Islam tersebut dapat mengenyahkan rasa resah, takut, keluh-kesah, rendah-diri dan dapat merubah mentalitas politik "kambing hitam." Yakni mentalitas yang selalu cendrung menyalahkan orang lain atau faktor-faktor yang berada di luar dirinya, dalam upaya menyembunyikan keterbatasan, kekurangan dan kelemahan dirinya yang bersemayam dalam jiwa dan benak pikiran umat pemeluknya. Dengan demikian, umat kemudian mampu menumbuhkan rasa percaya diri, dan menyemai semangat bersama untuk menjadikan Islam sebagai "Imam Peradaban Dunia," melalui gerakan pembebasan, pencerahan dan pengembangan manusia dalam dimensi-dimensi sejati dari rasionalitas, spiritualitas dan emosionalitas yang dikandung dalam pikiran, kalbu dan jiwanya.

Maka, semua renungan dan pemikiran itu telah menjadi landasan awal, dan merupakan variable-variabel kausal, yang menjalin rangkaian sebab-akibat sosio-­historis, yang mendorong munculnya varian pemikiran teologi Islam Protestan. Varian ini digunakan sebagai sebuah paradigma, dan menjadi sebuah model alternatif, dalam rangka mendorong terjadinya perubahan pemikiran sosial umat Islam di Aceh. Sehingga dari penjelasan ini dapat diharapkan, para pembaca akan memahami dan mengerti landasan argumentasi secara jelas, yang menjadi alasan-alasan rasional fisik dan metafisik, bagi munculnya gagasan dan pemikiran teologis "Islam Protestan."

Dalam konteks ini, paradigma alternative mengusung pemikiran yang berisi semangat penalaran rasional dalam melakukan "jihad ijtihadiyah" memikirkan ikhtiyar dekonstruksi, yang mendorong muncul dan terjadinya:

(1). Menegaskan bahwa Allah adalah pemilik tunggal kebenaran mutlak (absolud) dan manusia hanya mampu mendekatinya;

(2)Penentangan terhadap segala pemikiran, sikap dan prilaku pendewaan terhadap

semua yang merupakan ciptaan (makhluk);

(3). Perlawanan terhadap kungkungan dominasi dan hegemoni dalam aspek pemilikan

otoritas, kewenangan berpikir dan fatwa keagamaan yang bersifat monopolar;

(4). Pencerahan terhadap kebekuan dan kejumudan berpikir yang terperangkap dalam

pemahaman yang sempit;

(5). Pembongkaran terhadap berbagai kondisi status-quo, sistem dan pola pemikiran

yang telah terbukti gagal dalam mencerdaskan dan memuliakan umat;

(6). Pembukaan ruang-ruang sosial-dialogis yang mampu menghargai perbedaan-

perbedaan yang sangat majemuk, yang selama ini tertutup rapat.

(7). Memperjuangkan partisipasi dan keterbukaan optimal dan maksimal dalam setiap

proses pengambilan keputusan dan kebijakan yang menyangkut kepentingan dan hajat

hidup orang banyak;

(8). Mengharamkan segala bentuk kebijakan publik yang bersifat elitisme-eksklusive

yang sekedar menguntungkan pihak-pihak tertentu;

(9). Menolak segala bentuk klaim yang sekedar membenarkan diri sendiri dan

menafikan relativitas manusia;

Semua gerakan pemikiran kritis ini dimaksudkan untuk membuka jalan bagi dapat berlangsungnya dialektika pertanggung-gugatan sosial dari pihak masyarakat secara lugas terhadap otoritas keilmuan, iman keagamaan dan religiositas kemusliman. Ini dilakukan dalam rangka membangun keshalehan sosial kaum muslimin, yang niscaya dan siap menentang segala bentuk upaya memapankan aturan, sistem dan otoritas yang cendrung menolak keterbukaan dan anti perubahan. Karena keterbukaan dan perubahan itu seringkali dipahami sebagai hal yang akan merugikan kepentingan-kepentingan primordial sempit yang sedang dinikmatinya, dimana landasan filosofinya dibangun di atas pilar-pilar epistemologis pemikiran yang berkarakter absolutisme, otoritarianisme dan diktatorisme.

Dalam konteks itu, maka "perlawanan" yang paling utama ditujukan kepada segala bentuk pemikiran, sikap dan prilaku muslim yang menentang dan mengingkari sunnatullah dan hukum-hukum kodrat, yang merupakan nilai-nilai fitrah universalitas Islam yang melekat (inherent) pada setiap entitas ciptaan. Karena semua itu adalah konstanta ilahiyah yang tak boleh atau haram diingkari. Nilai-nilai konstanta ini meliputi watak-watak determinisme, dinamisme, pluralisme clan liberalisme dalam semesta raya alam ciptaan Tuhan.

Penentangan dan pembangkangan terhadap sunnatullah ini, motive dan niatan dasar dari aktifitas sosial-politiknya cendrung akhirnya terfokus pada usaha membangun kemapanan hegemoni otoritarianistik di kalangan para pemilik "kuasa," "wewenang" dan "otoritas," demi kelanggengannya. Melalui suatu sistem social­politik yang bersifat simbolik-feudalistik dan otokrasi sentralistik (terpusat). Disini premis atas nama "Kepentingan Umat," "Kepentingan Nasional," dan "Keselamatan Negara" sering digunakan sebagai justifikasi untuk menunduk-taklukkan semua kekuatan dalam masyarakat yang dianggap menentang rezim otoritarianisme itu, baik dalam ranah berpikir maupun dalam sosial politik.

Sementara subjek "perubahan" yang menjadi sasaran dalam kesadaran teologis "Islam Protestan" ini adalah, perubahan menyangkut paradigma dan pola pikir atau mindset para muslimin, yang dalam jumlah mayoritas besarnya, cendrung melihat dan memahami Islam hanya dalam konteks "kata benda" yang melahirkan corak pandang keagamaan yang statis dan berbentuk simbolistis. Atau dengan perkataan lain, bukan dalam konteks kata sifat dan kata kerja. Sehingga dampak realitas sosial historis yang terbentuk dan kini hadir di hadapan kita dan menunjukkan kepada kita, bahwa masyarakat muslim di seantero dunia, dan khususnya di Aceh. Dimana tampak sedang mengalami kemacetan dan bahkan kematian intelektualitas dan spiritualitas, dalam hubungannya dengan kewajiban mengoptimalkan fungsi-fungsi indera, `akal, qalbu dan emosi, sebagai instrumen jasmani dan ruhani, yang semestinya terus digunakan secara dinamis dan kritis. Ini penting dioptimalkan dalam rangka mengamati, mencermati serta merumuskan harmoni tata kehidupan sosial bersama, dengan segala bentuk pencerahan, pembebasan dan pemecahan atas segala realitas permasalahannya, yang secara rasional dan adil berusaha menegakkan perdamaian.

Kegagalan dalam memaksimalkan fungsi-fungsi instrumental tersebut, kiranya menjadi alasan mendasar yang menyebabkan umat Islam kini sekedar menjadi bagian dari warga masyarakat dunia berkelas dua, tiga atau bahkan empat, yang terus menerus meratap, mengeluh, tertindas, menderita, kumuh, miskin, kotor, tidak disiplin, malas, dan etos kerja yang lemah. Sehingga angka kriminal dan kemampuan manipulasi cendrung terus meninggi. Dan seiring ini, kemunafikan yang saling memangsa dalam segala modus operandinya, juga menjadi semakin massif dilakoni umat, hampir di semua lini dan lapisan masyarakat, terutama di level-level elit agamawan, ilmuwan, penguasa dan politisi, yang dilakukan lebih dalam motiv dan orientasi ekonomi­-politik yang sempit, egosentris dan chauvinistik. Maka tak pelak, kecendrungan untuk saling menaklukkan dan memangsa tersebut, hanyalah suatu konsekuensi logis belaka yang tampak semakin menggejala dan tak terhindarkan, di kalangan sesama umat Islam sendiri.

Oleh karena itu, diskusi berikut di bawah ini hendak memberi gambaran clan pemahaman yang mendasar kepada pembaca, tentang mengapa gagasan "Islam Protestant" harus diambil-gunakan. Sejatinya, inilah teologi yang menjadi "pisau bedah" untuk coba mengkritisi dan mendekonstruksi segala bentuk status-quo, kejumudan clan kemacetan berpikir umat Islam. Sehingga kemudian berdampak merugikan bagi penegakan nilai-nilai esensial keadilan dan hak serta kewajiban dasar kemanusiaan, dalam kehidupan bersama, seperti yang kini telah dan sedang terus berlangsung di Indonesia, khususnya lagi di Aceh.

Tugas selanjutnya adalah melakukan rekonstruksi terhadap corak pemikiran Islam baru yang berwatak mencerahkan, mencerdaskan, membebaskan, memerdekakan dan merangsang tumbuhnya kreatifitas serta produktifitas dalam akidah keberagamaan umat dan dalam lakon prilaku kemuslimannya. Agar pemikiran dan lakon kegiatannya, selalu rela dan berkenan menebarkan rahmat-keselamatan bagi semua, dalam apapun bidang kegiatan yang sehari-hari digeluti oleh seorang muslimin/muslimat.

Oleh karena itu, simaklah dengan seksama, kritis dan argumentative terhadap muatan diskusi berikut ini yang menjadi latar dari munculnya teologi Islam Protestan, sebagai sebuah paradigma alternative, dalam rangka membuat dan mendorong umat Islam keluar dari belenggu lingkar-lingkar konfigurasi sempit pemikirannya, menuju lingkar-lingkar konfigurasi pemikiran yang terbuka dan meluas (expanding). Inilah basis awal yang akan mengantar pemikiran umat untuk bisa menjadi maju, terhormat dan menjadi saksi yang jujur dan adil di tengah pluralisme pemikiran dan perbuatan kemanusiaan.

III. Raison d’etre

Kalamullah yang dirujuk di atas mengawali renungan reflektif ini--yang di dalamnya sungguh mengandung berbagai implikasi transenden—merupakan suatu “prima causa” yang menandai perihal adanya dimensi metafisika di seberang semua realitas fisik-material dari yang ada dan maujud di alam ini. Ini penting dan wajib dicermati dan direnung-pikirkan, untuk kemudian dipahami dan diamalkan oleh setiap orang yang telah mewarisi atau memilih Islam sebagai ajaran agama dan pedoman hidup yang dianutnya. Pemahaman substansial mendalam itu hanya dapat diperoleh melalui sebuah perjalanan vertikal (mi'raj) intelektual. Yakni perjalanan pemikiran yang selalu mencoba menyingkap seluas mungkin tabir-tabir yang menghalangi pandangan, terhadap segala misteri dan rahasia alam, yang menjadi tanda tentang adanya dimensi absolute dari luasnya bentangan ketidak-tahuan dan ketidak-sadaran manusia.

Kemudian, perjalanan ini diniat-jalani demi pencapaian maqam-maqam religiositas yang terang dan mencerahkan, yang meneteskan kesejukan, kelembutan, harapan-harapan baru, dan hikmah kearifan, yang terbit dari cahaya terang keilmuan, wawasan pengetahuan yang luas dan inter-disipliner, di samping lahirnya pertimbangan akal sehat yang bijak, jujur, terbuka dan adil dalam menghadapi dan menyelesaikan segala persoalan kehidupan. Untuk selanjutnya meradiasikan kearifan yang merahmati dan mendamai-selamatkan kehidupan umat manusia, termasuk kafir sekalipun, tanpa harus melahirkan arogansi (keangkuhan), diskriminasi, sinisme, primordialisme primitif dan purbasangka.

Untuk tujuan itu, nasehat yang diberikan Allah tentang larangan mengolok­-olok antar individu dan kelompok manusia, kiranya penting menjadi pedoman yang dapat mencerahkan bagi konstruksi akhlak kehidupan keberagamaan seorang muslim (Baca Qs 49:11). Karena olok-olok yang menghinakan dan melecehkan itu hanya akan menjadi picu-picu konflik destruktif yang hanya akan merugikan kelestarian species dan kelangsungan kehidupan umat manusia. Konsep "survival of the fittest"nya Darwin harus ditempatkan ke dalam perspektif pemahaman Islami yang konteksnya ada dalam suruhan untuk 'fastabikhul-khairat" yang hanya berlomba untuk saling mempersembahkan kebaikan-kebaikan yang memberi manfaat yang banyak bagi kelestarian, kemuliaan dan keselamatan umat manusia, dunia dan akhirat.

Ketercerahan berpikir semacam ini hanya bisa dibangun di atas kontinum rasionalitas dan spiritualitas yang menerbitkan keimanan yang bersifat “haqqu1 yaqin.” Yakni sebuah keyakinan akan kebenaran inklusif dan universal, yang siap dipertanyakan, diuji, didebat dan dikritik oleh dan dari siapapun juga, terhadap setiap ajaran Islam yang diterima, dipahami dan diamalkan oleh setiap muslimin. Serta untuk kemudian membina mentalitas dan kepribadian ilmiah yang siap dan rela untuk berbuat baik dan memberi faedah kepada siapapun/apapun makhluk Allah yang ada dan hidup di bumi ini, tanpa kecuali.

Jika dipikirkan secara seksama, mendasar dan mendalam, maka pesan inti dari ayat tersebut, sungguh merupakan ajaran dasar bagi mewujudkan eksistensialisme manusia, yang di dalam Islam memuncak dalam peringkat "par excellent" yang disebut Insan Kamil. Sebuah peringkat yang hanya akan diperoleh melalui kesediaan untuk terus menerus melakukan proses tahalli, takhalli dan tajalli, yang secara intensif-sirkular merupakan suatu rangkaian kegiatan "belajar." Kegiatan belajar ini niscaya bergerak melingkar, meliputi dan melingkupi aneka kegiatan aktif dan dinamis entitas ruhani bersama elan vital intelektualitasnya, seperti:

(1). Menghidup-suburkan rasa ingin tahu (curiosity), isti'raf dan ijtihadul­-fikr yang selalu berusaha mencoba, untuk menyingkap serba misteri ketidak-tahuan diri, dengan intensif mencari, melalui metode-metode yang dapat dipertanggung jawabkan, untuk kemudian dapat menemukan informasi dan pengetahuan-pengetahuan baru yang shahih;

(2). Melihat dan mengamati dengan seksama, serta mempertanyakan esensi hakiki dari berbagai kenyataan yang terhampar luas di sekeliling dirinya, baik yang kongkrit material maupun yang immaterial, fenomenal, abstrak ataupun ghaib;

(3). Mendengarkan aneka bunyi, aspirasi, pikiran dan gagasan berbeda-beda yang berasal dan datang dari manapun dan siapapun, untuk menggugah inspirasi dalam memahami realitas yang multi bentuk dan aspek;

(4). Merenungkan akar-akar persoalan ontologisnya, yang kiranya menjadi alasan dan landasan teleologis penciptaan tentang maqasidusy-syar'iyyah (maksud dan tujuan) dari penetapan syariah dan sunnatullah, sebagai takdir-takdir aksiomatik atau konstanta, bagi shirah kehidupan masing-masing dari setiap entitas penciptaan, baik takdir yang bersifat “free will” maupun takdir yang “predetermination”;

(5). Mencari, mengamati, menemukan dan mengkaji (analisis) serba hubungan dialektika dan kausalita antar variable yang saling terkait, langsung atau tidak langsung, melalui metode-metode rasional-empirik untuk menemukan dan merajut benang merah keilmuan dan kearifan perennialisme dan universalisme, yang hakiki dan abadi;

(6). Mendiskusikan secara dialogis-­pluralis dalam konteks psycho-ilmiah yang bersifat tawa shaubil-haqq dan tawa shaubish­-shabri, terbuka, argumentatif dan progressif beserta kesiapan untuk menghargai perbedaan;

(7). Meneliti dan menemukan akar­-akar, asas-asas, prinsip-prinsip dan aksioma-aksioma akan segala eksistensi, serta tentang serba perubahan yang niscaya, dalam rangka menemukan solusi bagi apapun masalah dan persoalan yang kini dan kemudian harus dihadapi;

(8). Mengamalkan secara rela dan bertanggung-gugat dalam sikap, peri-laku dan peri-pikir yang bersesuaian dengan sunnatullah, yang merupakan hukum-hukum dasar, teori-teori, formula-formula, melalui metodologi, prosedur dan mekanisme rasional yang relevan, cocok, kompatibel dan operasional di lapangan;

(9). Serta akhirnya mengevaluasi kembali seluruh apa yang telah dilakukan dan dilaksanakan; untuk selanjutnya kembali mempertanyakan, terus menerus berpikir, mencari, meneliti dan menemukan lagi esensi-esensi dan substansi-substansi baru dalam realitas dan persoalan baru yang tumbuh, juga yang terus berubah dan bergerak dinamis menuju nyaris tak terbatas, dst...

Itulah sembilan langkah dinamis-progresif yang merupakan siklus gerak belajar yang melingkar dalam sebuah kontinuitas yang tak pernah berakhir (minal mahdi ilal-lahdi).Siklus gerak belajar ini wajib bagi setiap muslim yangmengaku beriman pada yang ghaib, yu'minuna bil ghaib, untuk mengamalkan dalam sejarah perjalanan hidupnya. Dari sini diharapkan kaum muslimin akan dapat terhindar dari kemacetan-kemacetan dan kebuntuan-kebuntuan aliran pikiran dan jalaran nalar intelektualitas rasionalnya. Karena kemacetan dan kebuntuan itu, sama dan sebangun dengan analogi "katak di bawah tempurung" yang bermakna mengurung diri dalam area berpikir yang sempit, picik dan tertutup.

Fenomena dengan semiotika "tempurung di atas kepala" ini merupakan awal dari lahirnya kemacetan dan kegelapan, yang akan sangat potensial untuk melahirkan corak berpikir militant dan ekstrim yang bersifat "hitam atau putih." Karena jika memasuki dunia pemikiran yang penuh warna-warni, yang mengeksplorasi kebenaran dari berbagai sumber, pendekatan dan perspektif, maka sering dianggap tidak punya pendirian yang tegas, dan masuk ke dalam grey area, yang kemudian dituding sebagai tidak jelas prinsipnya dan sering juga dipandang "tidak shaleh."

Namun, ketika seseorang telah masuk ke dalam wilayah pemikiran "hitam-­putih," justru telah memutlakkan sesuatu yang sebenarnya hanya relatif belaka. Maka Absolutisme Diri terjadi disini. Padahal kemutlakan atau absolutisme itu hanya milik Allah semata. Namun disini pula dirinya merasa “shaleh.”

Selanjutnya, dari sikap-pikir hitam-putih ini, potensial mendorong terbentuknya pola pikir dan budaya aksi para pemiliknya untuk bersifat memaksa, dan lantas akan dipenuhi dengan berbagai aksi kekerasan dalam segala bentuk, jenis dan modus operandinya. Orang-orang yang berbeda dengannya selalu ditumbalkan sebagai sesajian yang dipersembahkan sebagai bukti baktinya kepada Allah, Tuhan yang Maha Kuasa.

Karenanya, segala bentuk dan jenis kekerasan itu perlu secara dini, cerdas, kritis dan kreatif untuk dihindari oleh setiap muslim dan dalam konteks pendidikan Islam, melalui gerakan sirkular belajar, yang berlangsung sepanjang hidup. Karena ia menyadari dan berkeyakinan, bahwa ajaran Islam adalah ajaran yang memuliakan ilmu pengetahuan, pemikiran-pemikiran dan kesadaran-kesadaran ilmiah-rasional yang dihasilkannya. Sehingga setiap amalan dan perbuatan dalam pengabdian ketuhanan yang dilakukannya, diyakini hanya akan diterima Allah, jika mampu dan mau dijalankan secara rela, ikhlas clan tawaddu' dan senantiasa mengharapkan al-hidayah, al-inayah dan al-maghfirah, yang lahir dari kesadaran dirinya sebagai makhluk yang niscaya memiliki keterbatasan, kelemahan dan kesalahan.

Inilah jenis kepribadian muslim yang semestinya dibentuk oleh kerja=kerja strategis konsepsional dunia pendidikan Islam, agar kesadaran ilmiah-islamiyahnya mampu memberikan dan menguraikan serba alasan dan analisa-analisa serta metodologi dan strategi penerapannya, sampai akhirnya lahirlah kerelaan dalam mengabdi kepada Allah. Tanpa ada pemaksaan dalam bentuk apapun, yang manifestasi perwujudannya dapat terlihat secara sosiologis pada kesediaan dirinya untuk berbuat baik dan bermanfaat bagi semua, sesama makhluk Allah yang ada di muka bumi ini.

Maka dapatlah ditegaskan disini, bahwa gerak belajar yang sirkular ini, merupakan sunnatullah kehidupan umat manusia, yang niscaya harus terus-menerus berpikir, belajar dan bekerja, yang merupakan upaya setiap pribadi muslim, untuk mampu keluar dari ranah dan orbiter kegelapan (al-zhulumat) atau ketidak-tahuan dan ketidak-berilmuannya sang manusia. Selanjutnya mereka memasuki ranah dan orbiter kebenderangan (an-nur), yang diterangi cahaya ilmu pengetahuan dan flux kearifan yang memancarkan semangat cinta dan kasih sayang untuk sesama. Karena hanya di atas landasan kearifan ilmiah itulah peradaban Islam baru dapat dibangun oleh para muslimun/mukminun, setelah ajaran Islam diturunkan untuk rencana jangka panjang menciptakan manusia-manusia yang mampu menebarkan rahmat dan kasih sayang untuk siapapun dan dimanapun.[4] Maka segala bentuk realitas yang berkebalikan dari citra rahmat dan kasih sayang itu, adalah berarti bahwa ada penyimpangan dan kesalahan mendasar dalam memahami ajaran Islam.

Itulah konteks asbabun-nuzulnya, barangkali, ketika Allah memerintahkan nabi Muhammad untuk senantiasa berdo'a kepada Allah: "rabbi zidni 'ilman...warzuqni fahman" (Quran, 20:114), agar beliau dan umatnya bisa memperoleh pemahaman tepat terhadap berbagai misteri penciptaan dan kehidupan, yang kemudian dapat menerangi jalan kehidupan manusia, menuju keselamatan/kebahagiaan dunia dan akhirat.

Melihat betapa sentral dan pentingnya ilmu bagi dan dalam kehidupan manusia inilah, membuat Nabi SAW perlu menegaskan bahwa, menuntut ilmu itu adalah wajib bagi setiap muslim, dan kewajiban ini menjadi berlaku dan berlangsung seumur hidupnya (minal mahdi ilal-lahdi).

Keharusan belajar tanpa akhir ini, merupakan salah satu implikasi terpenting yang ditakdirkan Allah sebagai fitrah dan kodratnya manusia, yang sangat diperlukan dalam upaya meningkatkan kapasitas dan kemampuan manusia sebagai makhluk yang ditakdirkan niscaya memiliki serba kelemahan, kebodohan dan keterbatasan (definite), dalam menghadapi segala realitas penciptaanNya yang berisi penuh misteri. Dan sejarah telah membuktikan, bahwa penguasaan dimensi keilmuan, adalah unsur terpenting dalam kehidupan umat manusia kontemporer, yang penuh nuansa kemoderenan sekarang ini, dan yang membuat suatu bangsa menjadi maju, jaya, kaya, bersih, tertib, damai, sejahtera dan terhormat. Setidaknya itulah realitas perwujudan kehidupan syurgawi, yang telah harus dimulai sejak di dunia ini, karena soal bagaimana di akhirat nanti, itu wilayahnya pengetahuan Tuhan, maka Allahu'alam... !

Proses pengilmuan diri ini dapat secara kreatif dan produktif dilakukan setelah pada setiap individu manusia dibekali Allah dengan piranti-piranti indera, 'aqal, qa1bu dan nafsu. Ke-empat piranti ini merupakan energi potensial yang telah ada sejak azali dan masing-masing memiliki kebutuhannya tersendiri. Kebutuhan-kebutuhan itu adalah berupa observasi inderawi, untuk menemukan sebanyak mungkin informasi dan ilmu-pengetahuan, yang merupakan elan vital bagi hidupnya entitas 'aqal; pengasahan jiwa dan penajaman intuisi untuk dapat menemukan nilai-nilai kesejatian yang fitri, yang akan menghidupkan dan memperkaya kapasitas entitas qa1bu; dan keinginan untuk berprestasi dan unggul bagi kehidupan kreatif entitas nafsu.

Dengan pemenuhan segala kebutuhan (self fulfillment) dari masing-masing piranti manusiawi tersebut, diharapkan dapat kemudian mengubah energi potensial yang dikandungnya menjadi energi kinetik. Sehingga membuat manusia, pribadi-pribadi, mau dan mampu bergerak dinamis, membangun suatu ethos dan semangat kerja keras yang kreatif dan produktif, dalam kontinum kehidupan yang terus berkembang untuk memberi makna dan manfaat, tidak saja bagi dirinya sendiri (mikro), tetapi sekaligus juga untuk orang-orang lain (makro).

Jika ke-empat potensi itu dapat dijalin kerjasama kolaboratif-konstruktif, yang bersifat saling mengisi dan melengkapi, maka manusia diharapkan akan mampu menyingkap misteri alam penciptaan dan kehidupannya secara optimal. Untuk selanjutnya mampu membangun dan menjalankan kehidupan ini secara logic-rasional, ilmiah, taat azas, bertanggung-jawab dan bertanggung­-gugat, serta dapat pula meminimalisir dampak-dampak negative yang merugikan, baik secara mikro maupun makro. Di samping kemudian siap pula menghadapi berbagai persoalan, hambatan, tantangan dan godaan yang muncul disana-sini dalam peri kehidupannya, seiring berjalannya waktu.

IV. Ortodoxy dan Etos Kerja Islam

Sebetulnya, proses gerak belajar yang sirkular ini merupakan bagian dari orthodoxy ajaran dasar yang paling esensial dari substansi ajaran Islam, untuk mendorong terbentuknya suatu etos kerja kreatif-produktif, jujur dan professional. Hal ini merupakan akibat langsung yang dihasilkan dari sifat-sifat ajaran Islam yang rasional, holistik, sistemik, terukur, teratur, penuh nilai dan etika universal yang diciptakan Allah secara terencana dan penuh tujuan (teleologic). Untuk itu telah dilengkapi dengan adanya mizan, qadar, qudrah dan iradah dari masing-masing entitas alam kemakhlukan yang diciptakan dengan maksud dan tujuan yang telah diitetapkan. Karenanya, setiap konstanta mizaniyah dan qadariyah dari keteraturan dan keterukuran sistemik yang bertujuan itu, niscaya memiliki “divine dictum of reason.” Ini merupakan alasan-alasan suci penciptaan dan menjadi dasar pengetahuan yang harus dicari dan dipelajari, untuk kemudian menjadi formulasi konseptual yang memijarkan cahaya terang keilmuan. Yang berguna menerangi dan memandu kehidupan para muslim, yang sejatinya harus mengharungi dan menjelajah samudra ilmu dan pengetahuan yang maha luas, yang tak akan pernah selesai atau habis dibahas, dipelajari dan diteliti sampai kapanpun, tentang segala alam penciptaan.[5]

Dari kewajiban memaksimalkan kinerja dalam peran pencarian intelektual (intellectual search) ini, terkandung sebuah pesan penting yang menegaskan, bahwa ajaran Islam itu bukanlah ajaran yang tidak memiliki landasan filosofis, atau tidak memiliki alasan-alasan rasional yang jelas, atau yang hanya bersifat dogmatis, doktriner dan apalagi takhyul belaka, dimana kemudian semua itu dianggap sudah tidak boleh atau tidak perlu dipertanyakan apapun lagi. Karena dalam realitas keberagamaan masyarakat, secara tidak sadar atau sadar, banyak para agamawan muslim, yang cendrung menganggap Islam sebagai ajaran yang tidak perlu dipertanyakan lagi, dan menempatkan dirinya sebagai pemilik kebenaran satu-­satunya, sehingga memosisikan dirinya ibarat seorang Tuhan.

Maka amat penting untuk disadari, bahwa sesungguhnya agama Islam itu sama sekali bukan agama yang dogmatis. Tetapi Islam adalah ajaran yang siap digugat, siap dipertanyakan, siap diperdebatkan dan siap menantang manusia-manusia yang angkuh, takabbur dan merasa paling tahu tentang segalanya. Namun sikap percaya diri seorang muslim terhadap Islam yang semacam itu, untuk kemudian menyiapkan diri menjadi pribadi yang siap uji, belumlah dapat dimiliki, hatta setelah ia sendiri bisa benar-benar menemukan, merasakan, memahami dan menyakini bahwa ajaran Islam adalah ajaran yang sempurna (kaaffah), dan justru karena kesempurnaan ajarannyalah, ia menjadi siap dipertanyakan, digugat, dsb. Dimana dimensi rasionalitas menjadi azas fundamental dalam konstruksi pengetahuan ajaran Islam yang telah lebih dulu ditetapkan Allah di awal penciptaanNya. Sehingga, dalam dialektika yang berdasarkan pada rasionalitas itulah, umat Islam akan dapat memberi inspirasi dalam menanggapi, menjawab dan memberi solusi bagi apapun persoalan dan permasalahan kehidupan umat manusia yang terus tumbuh berkembang, dimana gerak pemikirannya pun harus terus menerus bergerak dan berjalan secara kreatif, kritis dan dinamis.

Namun masalahnya, kesiapan dan kepercayaan diri semacam itu hanya akan dapat diperoleh, jika intensitas dan kualitas dalam pengamalan proses-proses belajar yang sirkular tersebut dapat dikembangkan secara sadar dan serius. Dalam proses ini, kepercayaan diri yang dimiliki seorang muslim terhadap kesempurnaan Islam yang siap uji itu akan tumbuh secara pasti, walau ia tumbuh secara bertahap, tergantung pada jenjang-jenjang kadar, level, derajat dan kualifikasi dari kuat-lemahnya argumentasi, tinggi-rendah kesadaran rasional aqliyah, luas-sempit wawasan ilmu-pengetahuan, banyak-sedikitnya informasi/data dan kuat-­lemahnya apresiasi terhadap perbedaan-perbedaan yang ada/muncul. Dan itu semua juga akan menentukan tingkat kreatifitas dan produktifitas dari jenis aqidah keimanan dan kapasitas keilmuan kaum muslimin yang dimiliki. Sehingga semua produk dari pemikiran dan perbuatannya dapat diharapkan memberi dan menebarkan manfaat optimal bagi kemaslahatan sosial keummatan.

Sebenarnya, semua kapasitas ini niscaya diperlukan oleh siapapun, ketika dirinya adalah makhluk hidup, yang di dalam kehidupannya dituntut untuk terus harus memenuhi seribu satu macam tuntutan, kebutuhan dan keinginannya, baik kebutuhan/ keinginan dasar fisik-material maupun kebutuhan mental-psikologis dan spiritual yang berfokus pada orientasi eksistensialisme egositas masing-masing pribadi. Di samping di saat yang sama, manusia sebagai makhluk sosial, harus pula menghadapi seribu satu macam permasalahan sosial makro dalam komunitas-komunitas manusia yang harus dipecahkan secara bersama, untuk kemaslahatan bersama, dimana kualitas hasil pemecahannya sangat tergantung pada kapasitas, kapabilitas dan intensitas niat ­baik untuk membangun kerja sama yang dimiliki masing-masing pribadi yang terlibat di dalamnya.

Juga amat penting dipertimbangkan, faktor sejauh mana keluasan cakrawala dan horizon informasi yang dimiliki setiap pribadi itu, untuk selanjutnya sudi dan berkenan berdialog dan berdialektika dengan ragam pemikiran orang lain yang berbeda-beda. Sehingga seseorang sampai pada suatu terminal dan derajat kebenaran, dari hasil pemikirannya yang benar-benar telah teruji dan melewati lapis-lapis konstelasi kritik dan sanggahan (falsifikasi) yang kiranya telah diberikan para pencari dan pemikir lain yang juga dilakukan demi menemukan kebenaran dan kebaikan.

Dalam konteks belajar yang terus menerus dan pencaharian akan kebenaran itulah, para muslimin diharapkan dapat membentuk semangat kerja yang gigih, kreatif dan produktif, demi pencapaian derajat sejati dari kemanusiaan dan keberadaan eksistensialnya yang dapat memberi manfaat bagi orang-orang lain. Pada dimensi etos kerja yang coba memaksimalkan manfaat eksistensial inilah, menjadi salah satu ukuran dalam pandangan Islam yang mendasari baik-buruknya seseorang ketika ia hidup di dunia. Sebagaimana Nabi berpesan: khairun-nas man yanfa’u lin-nas.

V. Problem Epistemologi

Namun celakanya, hal yang sering kali menjadi masalah dalam kehidupan umat manusia adalah, ketika banyak orang hanya larut dalam alam, jalan dan buah pikirannya sendiri, tanpa mau tahu dan mendialogkan bagaimana jalaran nalar orang-­orang lain. Sehingga akhirnya seseorang menjadi tidak pernah paham tentang bagaimana seseorang yang lain bisa sampai pada suatu kesimpulan yang tampak berbeda dengannya. Maka tentulah aneh sebenarnya, jika seseorang tanpa melalui proses-proses berpikir untuk memahami cara berpikir orang lain, namun ia dapat SEGERA membuat kesimpulan, bahwa sesuatu yang berbeda dengannya adalah SALAH.

Itulah sebuah alur epistemologis yang sangat tidak masuk akal dalam mencari kebenaran dan pengetahuan. Sikap semacam ini sering berakibat pada tidak terbentuknya mentalitas dan sikap berlapang-dada, yang mampu dan mau untuk saling memahami, mengerti dan menghargai antar berbagai keragaman perbedaan pemikiran, penalaran dan penyimpulan tentang suatu hal yang lahir dalam realitas kehidupan manusia, yang dihasilkan oleh orang-orang lain. Tetapi masing-masing individu, hanya bersikukuh sekedar membenarkan dan mengagung-agungkan hasil dari corak pemikirannya sendiri, dengan guru dan sejumlah bacaan "referensi yang satu warna" yang hanya dibaca dan dipelajarinya. Akan tetapi kemudian, memaksakan pikirannya itu untuk harus diterima oleh semua orang-orang lain, tanpa lebih dulu menyediakan ruang-ruang yang luas untuk berdiskusi danberdialog dalam ruang perdebatan yang dinamis, kritis, konstruktif dan terbuka.

Dalam pola dan suasana berpikir yang monologis, tunggal, tideak saling memahami dan menghargai semacam itu, maka konflik-konflik yang muncul akibat adanya perbedaan pemikiran itu, dalam rentang sejarah manusia yang panjang, tampak telah banyak menunjukkan kenyataan yang sungguh tidak pernah mendatangkan rahmat. Tetapi justru menjadi laknat, menjadi ajang ”perang” yang bersifat kontra produktif, saling menjatuhkan, saling benci dan bermusuhan, serta saling mendahului mengklaim orang lain sesat atau kafir. Selanjutnya menjadi sumber-sumber dan bahan bakar bagi merebaknya berbagai bentuk kekerasan kemanusiaan. Kekompakan dan persatuan umat Islam yang sebetulnya menjadi kebutuhan mendasar (basic need) kita dalam gerakan membangun masa depan bersama yang lebih baik, juga menjadi hal yang mustahil untuk dicapai dan akhirnya menjadi utopis. Maka masa depan yang terbentukpun menjadi set back dan menjadi lebih buruk dari apa yang telah ada dan dicapai pada masa-masa sebelumnya.

Maka, tidak ada pilihan lain, kecuali bahwa pemerolehan dan pemeringkatan derajat atau maqam keilmuan dan keimanan kaum muslimin yang produktif dalam menebarkan rahmat dan manfaat bagi kemanusiaan itu, hanya dimungkinkan lewat proses-proses rasionalisasi, falsifikasi, kritik argumentatif, pembuktian-pembuktian yang verifikatif dan affirmative, yang bersifat majemuk, dan harus dihadapi secara terbuka, cerdas, kritis dan saling menghargai.Masalahnya tinggal lagi bagaimana kita menjadi kritis, selektif dan mampu menemukan "benang-merah" kebenaran, yang digali dan ditelusuri dari berbagai varian dan mazhab pemikiran orang-orang lain yang terlihat berbeda-beda. Untuk akhirnya, seorang muslim yang mencari ilmu itu dapat sampai pada suatu derajat dan maqam keilmuan yang bersifat ainul-yaqin (provable) dan haqqul-yaqin (reasonable), seraya kemudian ia dapat dengan sadar dan rela bersaksi: "...rabbana ma khalaqta haaza baathilan, subhaanaka./aqina 'azaaban-nuar." Serta dalam konteks sosiologis bersedia pula untuk secara cerdas, kritis dan terbuka memusyawarah­kan segala kebenaraqn yang telah diperolehnya. Untuk kemudian dapat menghasilkan kesepakatan dan konvensi-konvensi kemanusiaan dan kemasyara­katan, yang dimiliki oleh setiap orang yang terlibat, serta siap membela dan memperjuangkannya secara bersama-sama.

Maka, sungguh ayat-ayat Quran di atas menjadi pedoman dan rujukan utama yang mendorong bagi upaya kita untuk terus menerus mau mencari, menemukan dan mengamalkan kebenaran, keadilan, kebijaksanaan dan kearifan. Dimana setiap "pencari" sepenuhnya sadar dan mengakui, bahwa apapun capaian yang diperoleh sebagai hasil pencahariannya, semuanya masih bersifat relative, terbatas, dan selalu terbuka untuk didiskusikan, dipertanyakan, dikritik, dianalisis dan diperdebatkan kembali. Disini, etika keilmuan yang menekankan rasionalitas dan saling apresiatif terhadap perbedaan dan supportif terhadap segala suatu yang benar dari manapun datangnya, merupakan nilai dan sikap utama yang dapat menuntun dan membimbing kita dalam bermusyawarah merumuskan kebenaran-kebenaran yang valid dan shahih. Utamanya dalam hal mengurus dan mengatur segala persoalan dan urusan yang berada dalam ranah publik (public domain), menyangkut segala cita-cita dan kepentingan untuk membangun kebaikan, keadilan dan penghargaan atas nilai, kewajiban dan hak asasi manusia, demi terwujudnya kemaslahatan bersama. Karenanya, setiap orang juga diizinkan untuk agree to disagree, khususnya tentang segala hal yang ada dalam ranah pribadi (private domain).

Karena, menurut ajaran Tauhid, setiap orang akan hanya bertanggung-jawab secara sendiri-sendiri (nafsi-nafsi) atas segala perbuatannya masing-masing di hadapan Allah kelak, sesuai dengan wilayah tanggung-jawab dan amanah yang diterima oleh masing-masing pribadi, baik dalam kapasitasnya sebagai 'Abdullah, dalam artian sebagai individu yang otonom dan bertanggung-jawab secara personal, atas dirinya sendiri, yang mengakui dirinya sebagai hamba Allah. Maupun dalam kapasitas dirinya sebagai khalifatullah, yang mengimplikasikan manusia sebagai makhluk sosial, dalam artian bahwa setiap individu selalu membutuhkan orang-orang lain dalam memenuhi berbagai kebutuhannya, sehingga harus berinteraksi satu sama lain secara saling menguntungkan. Namun, dalam konteks khalifatullah ini, manusia masih terbebani amanah dan tanggung-jawab secara sosial dan memiliki tugas suci untuk menebarkan rahmat Allah kepada siapa saja dan lingkungan semesta alam.

Di samping itu, tanggung-jawab sosial itu juga harus dilihat dalam hubungan dengan orang-orang yang telah menerima tugas-tugas kepemimpinan, yang diamanahkan oleh sekelompok orang, saat mereka mempercayakan seseorang menjadi pemimpinnya, sesuai kesepakatan-kesepakatan yang telah dibuat bersama. Dalam konteks ini, pertanggung-jawaban yang harus diberikan menjadi bersifat publik, sosial dan tertuju ke hadapan orang banyak/masyarakat yang telah memberikan amanah kepemimpinan, berdasarkan mandat dan lingkup tugas dan kewajiban yang telah lebih dulu disepakati bersama. Maka pertanggung-jawaban personal dirinya menjadi berganda, pertama terhadap masyarakat yang dipimpin dan ke dua kepada Allah sebagai pencipta dan pemilik tunggal kemanusiaan. Akhirnya dapatlah disimpulkan, bahwa sama sekali tidak masuk akal, illogic, jika seseorang, sebagai ’abdullah maupun khalifatullah harus mempertanggung-jawabkan suatu pikiran atau perbuatan orang­orang lain. Sehingga tidak ada alasan seseorang harus gusar dengan pemikiran dan perbuatan orang lain, sejauh tidak berakibat merugikan siapapun.

Selanjutnya, semangat pesan-pesan qurani ini menjadi landasan filosofi yang menumbuhkan kesadaran otokritik yang introspektif dan retrospektif, berupa muhasabah menuju tazkiyah dalam konteks membangun kehidupan yang lebih baik dan mulia. Kesadaran semacam ini selalu berisi kesediaan dan kesetiaan untuk terus meninjau, mempelajari dan mengkaji kembali sejarah panjang peradaban kehidupan umat manusia, yang jatuh-bangun, bersama segala persoalan, benturan, pertikaian dan konflik-konflik, berserta segala akibatnya. Disini melekat watak-watak alamiah yang bersifat dinamis, membutuhkan adanya perubahan dan senantiasa bergerak mencari titik-titik temu, titik-titik keseimbangan baru dan menuju ke arah pencapaian derajat kesempurnaan relativenya, yang secara ketat niscaya harus terikat kepada dimensi-dimensi ruang dan waktu.

Semua ini berjalan sesuai dengan tingkat kemampuan dan perkembangan berpikir masing-masing manusia dan kelompoknya, dalam coba menerjemahkan, memahami, menyadari dan mengamalkan pesan-pesan ilahiyah, baik yang terkandung dalam teks-teks al-Quran, maupun yang terdapat di alam mikrokosmos entitas individual manusia itu sendiri. Dan yang ada di alam makrocosmos, bersama masyarakat manusia yang hidup dalam jagat semesta raya ini, bersama segala fenomena sosialnya. Hemat saya, itulah inti dari pesan ilahiyah yang terkandung dalam ayat 190-191 surah Ali-Imran di atas.

Jadi, pada hakikatnya, sejarah umat manusia adalah wujud nyata hasil realisasi pembumian ide dan penghayatan terhadap pengamalan, gagasan, penafsiran dan pemikiran manusia. Namun tidak satupun dari realitas yang muncul dan tumbuh dalam sejarah umat manusia itu, dapat kemudian disimpulkan sebagai suatu kebenaran yang telah final, berakhir dan selesai, dalam artian sebagai hal tidak lagi membutuhkan perubahan, penelitian dan penela’ahan ulang. Maka secara hakiki pula, manusia diwajibkan untuk terus mempelajari dan menilai kembali, terhadap apapun yang telah terwujud, telah dipikirkan, telah diputuskan dan telah dilakukan. Karena manusia telah ditakdir untuk tidak mungkin dapat terbebaskan dari segala bentuk kesalahan, kelemahan, kekurangan, keluputan dan keterbatasan. Semua sifat ini telah secara inherent melekat menjadi kodrat alami kesejatian manusia, sehingga tak seorangpun berhak mengklaim dirinyalah yang paling benar dan menganggap sempurna.

Oleh karenanya, pikiran, pendapat, sikap dan prilaku arogansi, takabbur, klaim kebenaran, aneka bentuk pengkultusan (deification) dan tindakan sakralisasi atas segala sesuatu yang berupa makhluk, menjadi sesuatu yang by nature haram hukumnya. Itulah inti dari substansi ajaran dan pesan muhasabah dan tazkiyah yang terkandung dalam ayat 103-105, surah al-Kahfi tersebut di atas.

VI. Khatimah: Kontekstualisasi Esensi Islam Protestan

Saya meyakini, bahwa dimensi pemahaman kritis, dinamis, terbuka dan relatif atas ajaran Islam, merupakan pesan mendasar esensial dari substansi samudra kandungan ajaran quran yang maha luas dan tak terbatas. Dari sini mengantarkan saya untuk mengembangkan sebuah paradigma pemikiran dan pemahaman baru, sebagai alternatif dalam menjawab tantangan-tantangan kontekstual, yang lantas saya beri nama: "Islam Protestant." Melalui pemahaman "Islam Protestant" ini esensi pekerjaan yang ingin dijalankan adalah“memprotes,” "melawan," "menentang" dan "mengugat" terhadap segala bentuk absoluditas manusia, penunggalan (penyeragaman) pemikiran, penutupan kebebasan alamiah, pemapanan status quo, penolakan terhadap perubahan dan pensakralan dari segala produk pemikiran dan pekerjaan manusia. Karena hal itu merupakan perbuatan musyrik dan bersifat menentang sunnatullah dan hukum kodrat, dari segala konstanta yang telah ditetapkan, saat penciptaan entitas semua makhluk yang ada di alam semesta raya ini.

Secara kontekstual, perlawanan atau penentangan "Islam Protestan" itu ditujukan terhadap realitas yang menunjukkan kecendrungan sebagian besar manusia, disadari atau tidak, yang suka mengkultus, mendewakan, memuja-muji dan mensakralkan sesuatu yang selain Allah. Ini termanifestasi dalam aneka prilaku penyembahan, pemujaan dan bentuk-bentuk deifikasi lainnya terhadap misalnya, undang-undang, aturan-aturan, sistem, fatwa, status dan simbol-simbol yang semuanya merupakan produk manusia. Dampak sosial-politik dari sikap-sikap itu adalah, timbulnya penolakan dan resistensi terhadap tuntutan perubahan dan terjadinya penghinaan dan bahkan permusuhan terhadap bentuk-bentuk perbedaan. Sehingga mereka itu mendewakan egoisme dan semangat hegemoninya, untuk seterusnya memantapkan dan melestarikan otoritas kekuasaan dalam artian luas, yang tidak dalam konteks kekuasaan politis saja. Tetapi juga otoritas hukum, keilmuan, sosial, ekonomi dan keagamaan. Sehingga akhirnya ia bertindak seolah ingin menggantikan posisi, fungsi dan peran Tuhan (Allah), sebagai penguasa absolut yang berhak untuk otoriter dan mengayomi elitisme untuk legitimasi sosialnya.

Sementara itu, fenomena realitas sosial politik yang sejak tiga dekade lalu hingga akhirnya kini merebakkan krisis multi dimensi, adalah juga menjadi konteks yang melatari pemikiran alternative: "Islam Protestan." Salah satu krisis mendasarnya yang paling bertanggung-jawab terhadap segala krisis dan konflik yang bertaburan hari ini adalah faktor kemacetan intelektualitas dan rasionalitas serta hilangnya kemampuan berpikir kreatif-alternatif, seperti yang kini sedang mengitari realitas eksistensi umat Islam, di Aceh khususnya. Kondisi ini adalah juga menjadi latar belakang dan raison d'etre yang mendorong pencarian jawaban dan jalan keluar dari segala problema keummatan itu, melalui pemahaman ulang terhadap konsep teologi Islam dan penjabaran detilnya, hingga sampai pada tahap penemuan metodologi penerapan yang tepat, yang mengedepan partisipasi dan kebersamaan.

Agaknya perubahan pemahaman orthodoxis teologi dari sumber-sumber rujukan utama (alquran dan hadits) dan penjabaran orthopraxisnya menjadi metodologi penerapan dan pengamalan, yang membawa umat pemeluknya ke arah pencapaian visi-misi ajaran Islam, melalui elaborasi substansi kandungan secara rasional, radikal, sistemik dan secara substansial mengadopsi nilai-nilai universal, adalah sesuatu yang penting dan sangat perlu untuk dilakukan. Ini menjadi counter atau antisipasi terhadap realitas kontekstual yang kini menunjukkan, bahwa berbagai kegiatan kependidikan Islam dan dakwah keagamaan, yang sesungguhnya terus saja berlangsung sepanjang abad dan sama sekali tidak pernah berhenti, hanya berlangsung pada level normative dan simbolis belaka. Sehingga dampaknya terwujud dalam bentuk kenyataan sosial, yang menunjukkan betapa umat Islam secara makro semakin hari semakin terpuruk dalam berbagai permasalahan fisik-material (ekonomi/kebersihan/ kesejahteraan/kelestarian alam) dan immaterial-ruhaniah (menyangkut intelektualitas, mentalitas, moralitas dan tatanan sosialnya). Di samping itu, umat Islam tampak semakin terpecah-pecah dan terkungkung dalam semangat individual dan kekelompokan, yang menghancurkan kekompakan dan persatuan umat, di sampingsemakin mengikis kesadaran altruistik manusia sebagai makhluk sosial.

Pertanyaannya adalah, mengapa umat Islam terus menerus terlihat semakin mundur realitas sosial yang mampu dihasilkannya, padahal mereka memiliki Quran sebagai kitab pegangan dan menjadi pedoman yang maha benar dan maha lengkap? Kecuali itu juga terlihat, bahwa kerelaan menebarkan rahmat dan manfaat kepada orang lain juga semakin melemah. Moralitas dan intelektualitas juga semakin rusak, lemah dan busuk, padahal kegiatan pembinaan, pendidikan, pengajian dan dakwah keagamaan berjalan terus sepanjang abad?

Tentu disini harus disadari bahwa keadaan itu memperlihatkan adanya kesalahan mendasar menyangkut struktur berpikir teologis umat yang bersifat "jabariah" atau fatalistik yang memahami agama dalam konteks kata benda yang bersifat statis dan sangat simbolis. Sehingga ajaran Islam tidak ditempatkan sebagai ruh ideologis dan tidak menjadi kekuatan intrinsic-rasional transenden dalam menjawab aneka persoalan kekinian yang bertaburan di negeri ini, dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Khususnya dalam usaha menerjemahkan, memahami dan menerapkan syari'ah Islam, yang diliputi semangat hegemoni yang mengungkung kemerdekaan dan otonomi berpikir umat. Padahal kedatangan Islam secara fungsional merupakan gerakan perlawanan terhadap realitas kemusyrikan dan penyembahan lata dan uzza yang melahirkan berbagai bentuk simbolisasi, otoritasi, hegemonisasi yang kemudian melahirkan aneka kekerasan dan kebiadaban. Selain kemudian tidak menjadi sumber inspirasi substansial bagi upaya-­upaya penyelesaian semua problema umat manusia.

Dalam alur berpikir melawan terhadap gejala dan realitas semacam itulah, istilah "Islam Protestan" ingin ditempatkan. Memang penamaan ini bukanlah suatu yang baru dalam khasanah pemikiran Islam. Namun, ketika kata protestan dilekatkan bersama kata Islam, segera saja banyak para muslim yang mungkin tersinggung, marah dan kemudian secara halus ataupun kasar melahirkan umpatan atau caci-maki dan fitnah. Padahal, semua sikap itulah yang justru bertentangan dengan ruh agama Islam yang berisi ajaran perdamaian dan kasih sayang, melalui sikap saling menghargai dan menghormati, terhadap segala bentuk perbedaan.

Perlu diketahui bahwa secara substansial, isi gagasan ini sama sekali tak ada hubungan historis dengan istilah protestan yang dipakai dalam konteks sejarah agama Kristen. Makna kata protest yang saya maksudkan disim hanya dalam konteks makna etimologis dalam artian semangat perlawanan dan penyanggahan, yang ditujukan terhadap segala bentuk pemikiran dan sikap hidup yang bersifat tunggal, monologis, statis, tertutup, sempit, jumud, anti kemajemukan, anti perbedaan dan anti-perubahan. Karena sikap-sikap dan pemikiran yang semacam itu adalah sesuatu yang saya anggap menentang sunnatullah penciptaan manusia, yang secara kodrati dalam diri manusia melekat sifat-sifat majemuk, berbeda-beda, dinamis, dialogis, dialektis dan tumbuh berkembang.

Maka wajib kiranya direnungkan, betapa kandungan substansial ayat yang disebut di awal tulisan ini adalah amar (perintah) bagi setiap muslim untuk terus menerus berpikir, mencari dan mengeksplorasi khasanah keilmuan material dan immaterial dari semesta jagat penciptaan Allah, langit dan bumi bersama segala isi dan fenomena serta pemahamannya, demi menemukan tanda-tanda kebesaran dan keagungan Allah. Temuan-temuan kebesaran dan keagungan itu akan secara 'aqliyah menyadarkan intelektualitas para pencari kebenaran, kebaikan dan meneguhkan fondasi keimanan para penemunya tentang eksistensi Allah dengan segala sifat yang melekat pada zatnya. Serta segala hukum yang diqadarkan terhadap seluruh alam makhluk yang diciptakanNya, yang semua itu kemudian menjadi jalan dan tuntunan bagi umat manusia yang beriman.

Dengan demikian, logika transcendental Tauhidiyah yang menegaskan "laisa kamislihi syaiun" dapat diterima secara logis dan masuk akal. Sementara seluruh entitas keagungan yang dimiliki Allah itu, selalu menentang segala bentuk profanitas beragama, yang hanya sekedar menonjolkan penampakan keberagamaan yang sangat bersifat permukaan, hanya seputar asesoris kulit-kulit terluar belaka dan terpuruk dalam simbolisme kering yang melupakan substansi isi dari makna dan fungsi kehadiran agama bagi manusia.

Selain hal esensial itu, kita juga melihat bahwa realitas sejarah rezim sosial­-politik Indonesia yang sangat menghegemoni jagat pemikiran umat Islam dan mengerdilkan diri dalam pola pikir "oposisi biner" yang eksklusif, bersifat hitam­-putih, saling menyalahkan orang lain dan membenarkan diri sendiri. Selanjutnya berakibat pula pada pematian terhadap segala bentuk kreatifitas untuk mencari alternative (pilihan-pilihan). Kemudian, dari situasi pemikiran itu, individu-individu atau kelompok-kelompok umat Islam memasung dirinya dalam model identifikasi diri yang bersifat "solitaire." Disini konstruk kesadaran kesederajatan pupus dari pergaulannya dengan sesama manusia lainnya. Secara praktis, umat kemudian masuk ke dalam bingkai ideology "homo homini lupus" yang saling menaklukkan, memusuhi dan bahkan saling membinasakan.

Dengan akibat-akibat semacam itu, text-text al-Quran yang Maha Sempurna dan memiliki kandungan makna yang maha luas dan dalam, tidak lagi mampu secara kreatif dan produktif diijtihadkan, dipahami oleh para mukminin, dalam rangka upaya menemukan jawaban-jawaban atas segala pertanyaan yang terus bermunculan seiring perkembangan pemikiran manusia, beserta segala persoalan yang lahir dan tumbuh di dalamnya. Padahal, kreatifitas memahami secara lintas perspektif adalah sesuatu yang sangat dibutuhkan, khususnya ketika umat sedang terpuruk dalam kemiskinan, kekumuhan dan kehinaan. Ruang-ruang diskusi dan dialog kemudian ditutup rapat, untuk menolak segala bentuk perbedaan yang ada dan muncul dalam kehidupan beragama, berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Lantas muncullah kaum elitis yang menduduki posisi tengah-atas piramida social, yang berasal dari berbagai kalangan dan kelompok, yang menolak adanya dinamika dan perubahan. Dan dengan berbagai alasan, secara sistematis cendrung mempertahankan status quo secara kukuh. Sebab perubahan dilihat sebagai ancaman bagi eksistensi dirinya saat ini. Maka tumbuhlah berbagai bentuk ketakutan terhadap hilangnya berbagai kenikmatan, otoritas, kewenangan, popularitas dan hegemoni, jika perubahan menjadi kenyataan. Khususnya perubahan yang memuat niat dan semangat menegakkan kebenaran, keadilan, kejujuran dan kesederajatan.

Di samping itu, tumbuh dan berkembang pula varian kehidupan beragama snouckian yang cendrung sangat simbolistik dan terpasung dalam semangat parochial (kerahiban), yang disertai budaya berpikir berpola tunggal yang tumpul, macet, picik dan jumud. Kebenaran Islam ditunggalkan ke dalam satu corak pandang atau jenis pemikiran atau mazhab penafsiran. Padahal, secara tak sadar, ketika seseorang atau sekelompok orang menunggalkan kemungkinan dalam penafsiran akan kandungan makna yang dikandung al-Quran hanya dalam menurut dirinya, maka sama artinya is telah menyempitkan samudra ilmu yang terkandung dalam al-Quran, yang sesungguhnya maka luas, bersifat indefinite, tak terbatas.

Tegasnya, maka tidak ada seorangpun umat Islam yang dapat memahami isi kandungan al-Quran secara persis dan mutlak, kecuali Allah sendiri. Karena yang tunggal dan mutlak itu hanya ada dalam keniscayaan Allah dengan konsep Tauhidnya. Jadi, ketika segala kalam ilahi yang tertulis dan tidak tertulis itu masuk ke dalam benak pemikiran manusia, segera saja segalanya menjadi relatif dan subjektif dalam tingkat kesahihan kebenarannya.Karenanya, manusia hanya bisa coba berusaha keras untuk mendekatinya saja, tanpa boleh disertai klaim-klaim benar sendiri, dan tertutup untuk semua kritik dan perdebatan. Maka saat coba mendekati kebenaran Islam itulah, para muslim hadir dengan aneka jenis varian dan mazhab pemikiran dalam mengajukan kebenaran yang dipahaminya setelah melalui proses-proses berpikir interpretative terhadap makna dan kandungan substansial Islam, sesuai dengan latar pendidikan, derajat kemampuan, disiplin keilmuan dan realitas sosiologis masing-masing yang juga beragama walau berbeda-beda. Oleh sebab itu, adalah sudah by nature jika pluralitas kemakhlukan merefleksi dalam pluralitas tafsir yang kemudian muncul dalam memberi nama Islam dengan label-label tambahannya yang terkadang ekstrim (baik kiri maupun kanan) dan eksklusif.

Padahal Islam sebenarnya ibarat "lampu kristal" yang memancarkan cahaya dari banyak facet. Barangkali Allah senang dan ridha atas semua jenis varian dan mazhab pemikiran itu, utamanya jika dilakukan dalam konteks niat baik mencari kebenaran dan untuk mendapat jalan keluar terhadap berbagai persoalan yang muncul dalam realitas social kehidupan suatu komunitas masyarakat.

Semua realitas fenomenal itu telah berlangsung selama khususnya rezim Orde Baru berkuasa, yang telah sukses mempola tata-pikir umat, adalah faktor yang merupakan sebab utama diperlukannya varian mazhab Islam Protestan. Dan sebenarnya, alasan mendasar turunnya Islam dan muatan inti dari sejatinya ajaran Islam adalah juga ajaran protes yang melawan terhadap segala bentuk kejumudan, kepicikan, keberhalaan dan ketakberadaban bangsa Quraisy yang terjadi saat turunnya Islam. Maka, ajaran Islam tentunya juga bersifat membebaskan para pemeluknya dari segala bentuk penghambaan dan pemberhalaan diri dan pikirannya terhadap segala sesuatu yang berasal dari apapun alam kemakhlukan.

Itulah raison d'etre atau asbabun-nuzul dari diperlukannya Islam Protestan saat ini. Dengan demikian, adalah sama sekali berbeda dasar filosofi dan substansinya dari corak keberagamaan Kristen Protestan. Meskipun pemakaian terminologi protestan disini sama-sama memiliki semangat penentangan dan penolakan terhadap realitas kehidupan beragama yang membawa pemeluknya menjadi bodoh, picik dan tak beradab. Sehingga agama tidak lagi digunakan secara memadai dan rasional dalam menjawab segala permasalahan social-politik-ekonomi dan kebudayaan umat manusia.

Namun penulis sangat menyadari bahwa setiap pemikiran manusia selalu berada dalam rentangan relatifitas, jauh dari segala bentuk pemutlakan (absolutisme), berupa klaim-klaim kebenaran tunggal. Oleh karenanya, senantiasa memberi peluang kepada setiap orang untuk menolak atau menerimanya. Apalagi bahwa setiap orang akan hanya bertanggung-jawab terhadap apa-apa yang diucapkan dan dilakukannya. Sehingga tidak pada tempatnya jika kemudian seseorang memaksa kebenaran dan kehendaknya kepada orang lain.

Wallahu’alam bish-shawaab....

***

Banda Aceh, 9 Agustus 2008

[1] Sungguh inilah salah wujud fungsional kehadiran suci Theomorphic Ethic dari makhluk manusia, dimana ia kemudian mampu merasakan kehadiran eksistensial Tuhan dalam setiap detik perjalanan sejarah hidupnya, seperti apa yang diungkapkan oleh Ibn ‘Arabi sebagai al-hadrat al-ilahiyya(the Divine Presence). Untuk bacaan lebih lanjut tentang the Divine Presence ini, baca misalnya, William C. Chittick, Ibn Arabi’s Metaphysics of Imagination, The Sufi Path of Knowledge, (New York: SUNY Press), 1989, hal. 3-30.

[2] Dalam konteks religiositas historis antar tiga periode, masa lalu (al-madhi) sebagai turats al-qadim, masa kini (al-hali) sebagai realitas kontemporer (al-waqi’), dan masa depan (al-mustaqbal) sebagai turats al-gharbi itu, Hasan Hanafi melihat adanya energi hidup dan daya dobrak untuk membangun sebuah kesadaran berpikir dan berperilakukritis-progresif yang hendaknya dimiliki oleh setiap generasi.. Ini diperlukan untuk membebaskan para pemeluk agama dari keterjebakan dirinya dalam turats masalalu yang sering digunakan untuk melanggengkan otoritas keagamaan kaum feodalis, konservatif dan kapitalis yang dilatari kepentingan-kepentingan sempit politik praktis, dengan menjadikan ajaran agama pada masa lalu sebagai rujukan baku dan tak boleh lagi diperdebatkan. Untuk memahami lebih lanjut tentang upaya pembebasan umat dari belenggu ini, baca misalnya, Hasa Hanafi, Islamologi1:dari Teologi Statis ke Anarkis, (Jogjakarta: LKiS, 2007).

[3] Dalamkonteks bagaimana proses berpikir dan produk perbuatan manusia yang dapat menjamin terciptanya peradaban shalih, kiranya diperlukan suatuKecerdasan Transendental,dimana kemampuan ini hanya dapat diperoleh melalui 1. Olah akal-budi secara bersih danseimbang; 2. Membangun dan menjaga kesadaran secara penuh dan terus menerus; dengan Al-Quran dan HaditsNabi senantiasa dijadikan sumberbacaan yang dibaca secara kritis dan substansial, dalam rangka mencari inspirasi dan pencerahan keilmuan dan wawasan yang dapat mendorongterbentuknya keimanan verifikatifyangkuat danmewujud dalamvisi-misi kekhalifahan, kesadaran yang sangat menghargai orang lain dan terbitnya prilaku yang memberi faedah bagi orang-oranglain. Untuk bahasanlebih lanjut menyangkutKecerdasan Transendental, baca misalnya,Syahmunaharnis & Harry Sidharta, Transendental Quotient, Kecerdasan Diri Terbaik, (Jakarta: Penerbit Republika, 2006), khususnya hal. 162-166.

[4] Spiritualisasi ilmu pengetahuan yang melahirkan kasih sayang, merupakan pesan inti ajaran Quran yang senantiasa memerintahkan para muslimin dan mukminin untuk terus berpikir, mengamatidan mencerahkan diriuntuk memaksimalkan manfaat dirinya bagi sesama, Untuk kajian ini, baca misalnya William C. Chittick, The Sufi Pabt of Love: Spiritual Tewachings of Rumi, (New York: SUNY, 1983),hal. 19-41,

[5]

Refleksi diri yanglogis umat manusia seiring perkembangan ilmu pengetahuan manusia, secara totalberawal dari pencermatan dirinya atasdimensi pengetahuan yangbersemayam dalam jagat semesta raya ini. Disinilah relevansi perintah quran untuk senantiasa berkenan berpikir, siang dan malam, tentang bagaimana alamini diciptakan. Dan dalam mengetahui “bagaimananya”itulahmanusia akanmemperkaya dirii dengan ilmu –pengetahuan. Pengakuan dan kesadaraninisecara tak sadar muncul dalam khasanah sains dunia Barat, untuk itu baca misalnya,hans Georg Gadamer, Truth aqnd Method, (New York: Continuum, 1986), hal. 3-41.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun