Kelangkaan BBM akhir-akhir ini meresahkan banyak pihak. Masyarakat menjadi panik, sehingga melakukan aksi borong yang mengakibatkan antrian panjang pada setiap SPBU. Kelangkaan BBM juga menjadi isu penting pembicaraan antara presiden SBY dan presiden terpilih Joko Widodo. Menaikan harga BBM merupakan kebijakan yang tidak populis dimata masyarakat, barang siapa yang menaikan harga BBM maka ia tidak populer.
Kelangkaan BBM, ditengarai akibat adanya peningkatan konsumsi di masyarakat dan keterbatasan anggaran untuk mensubsidi. Tingginya kepemilikan mobil pribadi kota-kota besar dan bertambahnya kendaraan bermotor menjadi penyebabnya. Bertambahnya kendaraan bermotor berdampak pada kemacetan. Dengan kemacetan, jumlah konsumsi BBM menjadi jauh lebih tinggi. Kepemilikan mobil pribadi yang cukup tinggi di kota besar bermula dari program pemerintah yang mengeluarkan kebijakan mobil murah. Penerapan kebijakan ini berdampak pada jumlah mobil baru sangat baik, tidak hanya di kota tetapi juga masuk di desa-desa. Mereka yang mampu membeli mobil mura dengan kisaran Rp. 95- 120 juta adalah mereka yang memiliki uang, atau setidaknya mereka yang memiliki pendapatan 7-10 juta/bulan. Jika mereka (yang memiliki uang) yang mendapatkan subsidi BBM apakah negara sudah berbuat adil? menurut saya tentu tidak, kelompok orang yang selalu mendapat subsidi dari negara pada dasarnya adalah mereka yang memiliki uang, orang-orang yang kaya dengan berlimpah harta, sedangkan masyarakat bawah, yang miskin tidak mendapatkannya.
Melihat kenyataan tersebut, mestinya pemerintah dapat mengabil kebijakan yang berpihak pada rakyat bukan pada sekelompok orang kaya, yang sudah sejak lama mendapatkan subsidi yang sedemikian besar dari negara. Pemerintah semestinya mengalihkan subsidi pada masyarakat miskin yang tidak mampu dengan cara tidak menaikan BBM yang menjadi kebutuhan masyarakat bawah.
Saya menyarankan, pemerintah dapat membuat klasifikasi kebutuhan BBM pada masyarakat, setidaknya pemerintah dapat merancang kebutuhan BBM pada tiga kelompok masyarakat dengan regulasi yang berbeda. Misalnya Pretamak untuk kelas menengah atas pemilik mobil pribadi wajib menggunakan; Premium untuk kendaraan umum (truk, bus, trevel, taxsi dan lainnya) kendaraan bermotor; Solar untuk petani, nelayan dan pedangan. Pemilik mobil pribadi menggunakan Pretamak tanpa subsidi harga sesuai dengan pasar, Premium dan solar disubsidi kisaran 30%-50%, dengan harga pokok yang ditentukan pemerintah. Pelaksanan di lapangan perlu dilakukan kontrol yang ketat, jika mobil mengisi premium dikenai sangsi berupa tuduhan pencurian, dan SPBU tidak menjual ke pengecer agar tidak disalah gunakan, sedangkan petani dan nelayan dalam proses produksi dapat menggunak solar, dan dapat membeli dengan mengcer.
Kebijakan ini tentu akan banyak membatu pemerintah yang dihadapkan pada depisit anggaran, sekaligus juga tetap tidak memberatkan masyarakat menengah bawah, mengalihkan penggunaan mobil pribadi ke mobil umum, mungurai kemacetan, menguragi emisi gas buang. Mudah-mudahan bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H