Hari minggu ini mungkin akan menjadi akhir pekan yang paling sulit aku lupakan. Semalaman suntuk aku nonton film, dan baru tidur pukul 07.00 pagi. Tiba-tiba, kawan kosku mengetuk pintu kamarku keras-keras. Begitu aku tengok jam di ponsel, ternyata masih pukul 07.30.
Dengan kepala pusing, terpaksa pintu aku buka karena sepertinya ada sesuatu yang penting dan mendesak. Ternyata dia cuma butuh kawan ngopi sambil mengabarkan berita soal pertemuan Prabowo dan Gibran di Solo.
Seorang penulis masyhur pernah berkata, kita tetap butuh teman, seburuk apapun orang itu. Dan kukira seburuk-buruknya teman adalah mereka yang membangunkan tidurmu untuk mengajak diskusi.
"Kacau bro, bener-bener kacau, relawan Gibran dukung Prabowo!"
"Bangsat! lebai amat luh," aku berkata.
"Lho ini serius, Bung. Ganjar sulit harapannya kalau Jokowi dan Gibran sampai dukung Prabowo."
"Sok tahu!"
Sampai sekarang aku memang nggak begitu serius memandang pertemuan mereka di angkringan Solo. Bahkan aku masih bisa berpikiran sehat, anggap saja itu bagian dari usaha Prabowo yang kadang-kadang perlu juga diapresiasi.
Dua kali kalah dalam Pilpres tentu bukan pengalaman indah. Dan rupanya Prabowo belajar dari sana dengan mengubah strategi. Cara yang diambil dengan menyusup ke lingkaran Jokowi. Tinggal pura-pura baik dan terlihat loyal, siapa tahu kecipratan dapat dukungan.
Itu memang ciri khas gaya orde baru. Yang punya banyak kaki. Bisa bersikap bengis, namun yang ditampilkan dimana-mana tetap wajah tersenyum. Apapun akan dilakukan untuk mengekalkan kekuasaannya. Bahkan hampir lengser saja masih sempat-sempatnya menculik aktivis.
Gara-gara itulah Prabowo kemudian dipecat. Dia mungkin mengira bisa mendapat promosi jabatan karena mengganggap telah berjuang mengamankan kondusifitas negara. Tapi ternyata rakyat yang menang. Prabowo oleh Dewan Kehormatan Perwira dinyatakan bersalah telah melakukan pelanggaran HAM berat, lalu dia melancong ke Jordania.