Hmm, kira kira apa yang anda pikirkan mengenai saya ketika anda membaca judul di atas? Mungkin ada yang berfikir bahwa saya adalah orang yang pelit? Tidak mau berbagi? Atau orang yang plin plan, karena sebelumnya saya pernah memuat tulisan yang berjudul “ memberi itu menyenangkan “?
Dalam kasus ini, bukan lagi pemberian kue yang saya bahas, bukan juga pemberian sumbangan pada masjid yang sedang direnovasi, tapi pemberian lain yang seharusnya tidak boleh dilakukan. Ceritanya bermula pada waktu mid term exam minggu kemarin, pada hari selasa, kebetulan hari itu adalah ujian untuk mata kuliah yang menurut kebanyakan teman teman cukup sulit untuk dimengerti. Kami sebenarnya pun sudah menyiapkan untuk menghadapi ujian ini jauh jauh hari, tapi tetap saja ada kekhawatiran yang cukup beralasan untuk menghadapi ujian hari itu, mengingat dosen untuk mata kuliah tersebut dikenal cukup sulit diterka dalam membuat soal yang mungkin akan dikeluarkan di ujian.
Singkat cerita, pada hari itu kelas kami dibagi menjadi dua grup yang menempati ruangan berbeda. Separuh dari teman saya mendapatkan pengawas yang cukup mengejutkan, yakni dosen kami sendiri. Dipastikan mereka tidak akan bisa berkutik, harus tuma’ninah dan sebisa mungkin mengisi lembar jawaban dengan penuh tanpa bisa berfikir untuk “ kerjasama “ dengan teman teman yang lain. Untungnya, saya dan sebagian teman yang lain mendapatkan pengawas yang dipastikan akan banyak memberikan “kelonggaran “ dalam menyelesaikan soal soal ujian. Empat puluh lima menit ujian berjalan, beberapa teman sudah mulai tampak gelisah. Kami pun sudah paham dengan suasana tersebut. Mulailah kertas corat coretan saya dan satu teman saya yang lain beredar ke beberapa orang, tentunya berisi jawaban dari soal soal ujian yang bisa saya kerjakan. Pengawas kami pun cuek saja dengan apa yang kami lakukan. Saya pikir, itu akan sedikit membantu mereka, khusus untuk mata kuliah yang cukup sulit ini. Dan saya harap, mereka tidak akan menyalin jawaban itu dengan sama persis, agar dosen kami tak bisa “mencium” hasil “gotong royong” kami. Akhirnya, waktu ujian pun berakhir, kami keluar dengan sesungging senyum puas dibibir, karena berhasil mengerjakan sebagian besar soal dan “merata” di kelas. Tinggal menunggu hasilnya saja.
Keesokan harinya, tepatnya sore hari jam 5 sore, sebelum berangkat ke kampus, handphone saya berdering, saya pikir teman saya yang nelpon. Setelah saya angkat, ternyata panggilan dari kampus. Tanpa basa basi, si penelepon pun langsung mengutarakan maksudnya, bahwa saya harus menghadap dosen yang saya ceritakan di atas, segera, pada hari itu juga. Saya pun langsung berfikir, jangan- jangan hasil ujian kemarin sudah dikoreksi, dan beliau mencium gelagat yang kami lakukan.
Akhirnya saya pun datang menghadap, telat 15 menit dari waktu yang ditentukan. Ternyata, di ruangan dosen sudah berkumpul teman teman saya yang ikut bergotong royong pada ujian kemarin. Dan benar dugaan saya, dosen kami curiga dengan jawaban jawaban kami yang mirip. Setelah diinterogasi satu persatu, diketahui juga bahwa sumber jawaban itu dari saya. Dan tanpa ampun, pemberi maupun penerima jawaban harus mendapatkan sanksi. Kami pun membuat pernyataan bahwa kami mengakui tindakan kami tersebut. Dari aturan main yang sudah dibuat, sanksi untuk mencontek dalam ujian adalah “ failed “, kami mendapatkan nilai nol. Sebelum meninggalkan ruangan, saya mencoba negosiasi dengan dosen dan memberikan beberapa pertimbangan agar sanksi kami diringankan, paling tidak jangan sampai fail. Sampai hari ini, ketika pekerjaan teman teman yang lain dibagikan, kami masih belum tahu bagaimana hasilnya, karena nilai ujian kami yang bergotong royong tidak juga dibagikan.
Dari sini, saya mulai sadar, bahwa tidak semua pemberian itu menyenangkan, walaupun pada awalnya terlihat baik dan disenangi. Yang paling tidak menyenangkan sebenarnya bukanlah karena gagalnya ujian kami, tapi karena setelah kejadian itu, saya merasa ada yang lain dengan teman teman saya. Mereka seperti merasa tidak enak dan bersalah, karena ikut membuat saya jadi gagal dalam ujian karena memberikan jawaban kepada mereka. Bahkan beberapa kali, mereka meminta maaf melalui sms, email maupun mengucapkannya langsung. Padahal, saya sendiri sudah tidak menganggap itu sebagai masalah.
Tapi inilah Indonesia, saya sendiri sebenarnya ingin semua jujur dalam mengerjakan ujian tersebut. Akan tetap, rasa solidaritas dan kesetiakawanan kami karena interaksi yang terjadi setiap hari begitu besar, membuat keinginan saya untuk jujur tersebut belum bisa diwujudkan , kalah dengan rasa kesetiakawanan kami. Kami sadar hal ini salah, tentunya kami juga akan belajar dari pengalaman ini. Dan kami pun berharap masalah kejujuran ini akan menjadi poin penting dalam pendidikan di sekolah, terutama dari tingkat dasar, pada saat pembentukan kepribadian anak anak bangsa dilakukan, agar pengalaman kami ini tak akan lagi terulang.
Salam,,
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H