Kenapa manusia bertuhan? Sebuah celetukan yang terlontarkan oleh sohibku di sela perbincangan saat lagi nongkrong pada pinggiran jalan Titik Nol Jogja. Dengan spontan saya langsung menampar dia dengan hantaman yang lumayan keras tepat pada wajah imutnya. Berujung dengan umpatan khas Suroboyoan yang terlontar dikarenakan tamparan yang terasa nyeri dan panas tepat di pipinya. Dengan gaya sok-sok an ala anak kuliahan semester akhir, aku langsung menyeramahinya ala da'i-da'i kekinian. Dengan rasa pede tanpa merasa bersalah, dan senyum tipis sok manis aku mengatakan: Sakit kan? Begitulah manusia, manusia adalah makhluk yang lemah dalam segala hal. Dalam segi fisik manusia akan mudah merasakan kesakitan jika di tempa dengan sesuatu yang keras. Dalam segi emosional pun kita sangat lemah, kita sering dikalahkan dengan emosi, nafsu dan sebagainya.
Oleh karena itu kita sebagai manusia sangat layak membutuhkan sesuatu yang melampauhi kelemahan kita. Dimana kita butuh sesuatu yang transenden (dalam ilmu matematika disebut yang tak terhingga). Dapat dianalogikan dengan bilangan phi "" yang biasa kita bulatkan menjadi 3,14 dimana bilangan tersebut memiliki nilai pecahan yang tak dapat didefinisikan. Serta bilangan yang tak dapat dinyatakan dengan sembarang persamaan polinomial. Sehingga kita membutuhkan tempat yang layak untuk bersandar, tempat untuk berharap dan bergantung, yang secara religi dilambangkan dalam bentuk sujud. Karena sujud adalah tempat terdekat kita untuk berhubungan dengan Tuhan.
Tuhan itu laisa kamitslihi syaiun, Tuhan tidak seperti sesuatu yang menyerupai dirinya. Kembali kita analogikan dalam matematika pada konsep infinity "", Tuhan adalah titik puncak yang mana ketika kita menyebutkan sebuah angka tertinggi, dengan begitu masih ada angka lagi di atasnya. Terlintas teringat hadist yang pernah saya pelajari sewaktu menjadi santri di Pondok Pesantren Daru Ulil Albab Nganjuk. Hadist tersebut di riwayatkan oleh Abu Nu'aim dari Ibn Abbas yang artinya pikirkanlah tentang ciptaanku dan janganlah kau memikirkan tentangku (Dzat Allah), maka kau akan mengenaliku.
Maka dari itu, dalam logika kosmologi pembuktian tuhan, tidak mungkin dengan keteraturan dan keindahan alam semesta ini tidak ada penciptanya. Mungkin itu semua bisa divalidasi, tapi itu hanya sebatas asumsi. Sama halnya ketika kau berfikir tuhan itu tidak ada maka sebagaimana kau juga berfikir bahwa tuhan itu ada, keduanya sama-sama asumsi. Kalo toh ada yang dapat membuktikan tuhan dengan saintifik dan ia menemukannya, maka pasti ia bohong. Sebab tolak ukur Tuhan tidak bisa dinilai dengan analogi penambahan, pengurangan, perkalian bahkan pembagian. Ini sudah masuk ranah keimanan, yang kita semua meyakininya bukan karena hal tersebut bisa dilihat atau dibuktikan dalam pembuktian teorema. Jika kita meyakini dengan melihat pembuktian Matematika maka itu bukan Iman, melainkan Fakta.
Dalam Al-Qur'an surah Al-Baqarah dijelaskan La ikroha fiddin (dalam agama tidak ada paksaan), Qod tabayyana rusdu minal ghoyyi (sungguh begitu jelas terpampang antara yang jelas benar, dan yang sudah jelas salah). Sehingga kita tak perlu memaksa bahwa 1+1=2. Jika tidak mengatakan 2 maka masuk neraka. Jadi kebenaran tersebut sudah jelas untuk diakui dan tidak perlu kita paksakan untuk mempercayainya.
Kemudian diskusi kita terpaksa berhenti kala itu, karena gerimis hujan yang mulai berjatuhan pada sekitar jalanan Titik Nol Jogja, maka ketika itu juga kita menyelesaikan dialektika kita. Dan bergegas kembali ke kos-an masing-masing dengan meninggalkan beberapa pertanyaan dan membutuhkan jawaban yang belum tentu kebenarannya secara utuh kala itu. Dan kita sama-sama sepakat bahwa kebenaran yang Haqq hanya milik Allah, dan kesesatan milik setan, dan kita adalah korban dari kesesatan setan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H