Burung besi jenis Airbus A320-200  yang berangkat dari bandara  Juanda Surabaya menuju Changi, Singapura pada  hari Minggu 28 Desember 2014,  telah mengalami nasib  yang nahas.  Pesawat yang diterbangkan oleh Kapten Irianto, mayoritas penumpangnya adalah warga Indonesia.
Pesawat yang membawa 162 orang tersebut lepas landas dari bandara Juanda, Surabaya  pada jam 05.35 menuju bandara Changi, Singapura. Pesawat terbang dengan ketinggian 32.000 kaki dan dijadwalkan tiba di bandara Changi, Singapura pada  jam 08.36 waktu Singapura.  Pada jam 06.01 pilot mendeteksi adanya gangguan melalui tanda peringatan . Gangguan tersebut terdapat pada sistem rudder travel limiter (RTL) yang terletak pada ekor pesawat.
Menurut Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), dari hasil investigasi  terhadap kotak hitam milik pesawat Indonesia AirAsia QZ8501, terdapat sejumlah faktor yang menjadi penyebabnya. Ketua KNKT  Soerjanto Tjahjono,  Ketua Tim Investigasi KNKT Mardjono Siswo Suwarno, dan Ketua Sub Komite Kecelakaan Pesawat Udara KNKT Kapten Nurcahyo Utomo memberikan penjelasan sehubungan dengan kronologi jatuhnya pesawat seperti telah dijelaskan di atas.
Aspek asuransi sesungguhnya bukan hal yang baru bagi maskapai penerbangan manapun. Ini memang merupakan suatu kewajiban mutlak bagi setiap maskapai penerbangan yang mengoperasikan pesawatnya. Â Namun yang menarik dalam kasus tragedi Indonesia AirAsia QZ 8501, jumlah biaya yang telah dikeluarkan harus diklarifikasi mengingat terdapat dua angka berbeda dari dua sumber yang berbeda pula. Dalam hal ini pihak Kementerian Perhubungan menyebutkan angka Rp 1 trilyun, sedangkan dari pihak Basarnas jumlahnya hanya Rp 570 juta.
Namun, yang paling utama adalah adanya informasi bahwa pihak Indonesia AirAsia yang menolak untuk mengganti biaya pencarian dan evakuasi sejumlah Rp 1 trilyun. Konon alasan penolakan tersebut karena pihak Indonesia AirAsia berpendapat bahwa tugas SAR adalah tugas public sesuai Undang-Undang No. 29/2014. Penolakan ini tertera dalam surat Indonesia AirAia tertanggal 10 Februari 2016 dan 7 April 2016.
Sesungguhnya penolakan pihak Indonesia AirAsia tidak berdasar sebab kalau merujuk kepada UU Penerbangan No. 1/2009 mewajibkan asuransi bagi setiap maskapai penerbangan yang beroperasi di Indonesia. Kewajiban tersebut mencakup pesawat yang dioperasikan, tanggung jawab kerugian kepada personil pesawat yang dioperasikan, dan tanggung jawab kerugian kepada pihak kedua yang dalam hal ini adalah penumpang yang diangkut dalam pesawat. Selain itu, juga meliputi tanggung jawab kerugian kepada pihak ketiga dan kegiatan investigasi insiden dalam kecelakaan pesawat udara.
Yang tidak kalah menarik adalah adanya argumentasi pihak Indonesia AirAsia yang menyebutkan bahwa biaya SAR bukan yang dimaksud dengan biaya investigasi insiden. Argumentasi ini juga salah besar karena kegiatan investigasi insiden hanya dapat dilakukan setelah Basarnas menemukan kerangka pesawat dan telah diangkat dari dasar laut untuk menemukan black box pesawat untuk kemudian KNKT melakukan investigasi insiden. Dalam hal ini kegiatan yang dilakukan oleh Basarnas terpisah dari kegiatan KNKT adalah dua kegiatan terpisah namun terkait dalam menghasilkan laporan akhir kecelakaan.
Sementara itu, dalam cakupan asuransi, pihak Indonesia AirAsia telah melaksanakan kewajiban penutupan asuransi sesuai dengan UU melalui PT Asuransi Jasa Indonesia yang kemudian direasuransikan ke Jardine Lloyd Thompson (JLT).  Akan halnya biaya pencarian sejumlah Rp 1 trilyun hanya 10 % dari batasan polis asuransi Indonesia AirAsia yang mana cakupan polis asuransi tersebut juga mencakup biaya pemakaian Emergency Center, pemakaman, kunjungan keluarga korban yang semuanya terdapat dalam  Combined Single Limit atau CSL Polis Asuransi. Pada hakekatnya CSL Polis Asuransi telah dengan jelas dan rinci menyebutkan tanggungan asuransi untuk mengangkat kerangka pesawat dan biaya lainnya.
Kasus tragedi pesawat QZ8501 semakin menarik karena munculnya pertanyaan, apakah kelalaian maskapai penerbangan merupakan tanggung jawab APBN? Jelas sekali bahwa kelalaian pesawat tidak seharusnya menjadi tanggung jawab APBN berpegang kepada lima faktor penyebab kecelakaan pesawat yang dalam hal ini disebabkan oleh tiga faktor maintenance pesawat dan dua faktor ketidakmampuan awak pesawat dalam mengendalikan pesawat sebagaimana terdapat dalam laporan KNKT. Kelima faktor tersebut masuk dalam kategori gross negligenceatau kelalaian besar sehingga menimbulkan liability yang berarti menjadi tanggung jawab maskapai penerbangan.
Jadi, dalam kasus ini pemerintah Indonesia bisa menggugat pihak Indonesia AirAsia mengingat tragedi  QZ8501 bukan kecekaan murni akibat cuaca melainkan kelalaian dari maskapai penerbangan. Lagi pula dana asuransi telah dialokasikan sesuai mekanisme asuransi dan juga dana asuransi tersebut diperoleh dari transaksi komersial secara berulang.