Tragedi kecelakaan pesawat Indonesia AirAsia QZ8501 sudah lama berlalu. Barangkali masyarakat sudah melupakan nasib pesawat nahas tersebut. Yang tersisa barangkali kesedihan keluarga para korban.
Sekadar untuk menyegarkan ingatan, pada hari Minggu 28 Desember 2014, pesawat Indonesia AirAsia QZ8501 terbang dari bandara Juanda, Surabaya hendak menuju bandara Changi, Singapura. Namun, pesawat tersebut tidak pernah sampai di Singapura. Rupanya, pesawat tersebut mengalami kecelakaan di sekitar selat Karimata lepas pantai Kalimantan Tengah. Kecelakaan itu sendiri telah menewaskan 162 orang. Â Dunia penerbangan kaget mendengar kecelakaan tersebut. Berbagai pertanyaan muncul yang intinya adalah apa yang menjadi penyebab kecelakaan tersebut? Apakah human errorsebagai penyebabnya? Atau penyebabnya adalah karena terjadi masalah pada mesin pesawat tersebut?
Semua instansi terkait dengan sigap bekerja keras untuk melakukan pencarian pada pesawat nahas tersebut. Di antaranya adalah Badan SAR Nasional (Basarnas), Â Kemenhub, TNI, KNKT, dan instansi lainnya.
Walau tragedi kecelakaan pesawat Indonesia AirAsia sudah berlalu beberapa tahun, ternyata masih terjadi pembicaraan, pembahasan, dan diskusi seputar dana yang digunakan untuk pencarian pesawat dan para korban dari pesawat tersebut. Ignasius Jonan, Menteri Perhubungan saat itu menyebut angka Rp 1 trilyun yang telah dihabiskan untuk pencarian dan evakuasi terkait kecelakaan pesawat nahas tersebut. Angka yang berbeda diungkapkan oleh Bambang Soelistyo yang Kepala Badan SAR Nasional (Basarnas), bahwa dana yang dipakai hanya Rp. 570 juta. Perbedaan yang cukup signifikan. Hanya saja, ada pertanyaan lain yang terkait dengan pencarian dan evakuasi tersebut.
Dalam hal ini pertanyaan tersebut adalah siapa yang seharusnya menanggung semua biaya tersebut? Apakah memang menjadi beban pemerintah? Bagaimana dengan pihak Indonesia AirAsia sendiri, apakah tidak ikut menanggungnya? Apalagi, sebagaimana lazimnya, pesawat itu diasuransikan secara penuh sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku. Sayang sekali, aspek ini seperti dianggap sepele. Padahal ini yang teramat penting.
Indonesia AirAsia:
Indonesia AirAsia adalah maskapai penerbangan yang relatif berusia muda. Â Sebagai maskapai penerbangan yang berbiaya rendah (low-cost airline) pusatnya adalah di Tangerang. Dengan salah satu hub utama di bandara Internasional Soekarno-Hatta. Maskapai penerbangan ini mempunyai hubungan dengan Malaysia AirAsia.
Satu catatan menarik, sebagaimana banyak maskapai penerbangan Indonesia lainnya dilarang terbang ke negara-negara Uni Eropa. Larangan terbang ini dicabut pada Juli 2010. Sementara, AirAsia Indonesia masuk kategori 1 oleh Otoritas Penerbangan Sipil Indonesia. Untuk aspek kualitas keamanan. Â Catatan lainnya adalah bahwa pada 2011, maskapai penerbangan yang seluruh armadanya adalah Airbus mendominasi pasar Internasional di Indonesia sampai dengan 41.5 %.
Awalnya, AirAsia Indonesia yang lebih dikenal sebagai Indonesia AirAsia, adalah Awair (Air Wagon International) yang didirikan pada 1999 oleh Gus Dur atau Abdurrahman Wahid. Gus Dur memiliki 40 % saham, yang setelah terpilih menjadi Presiden Rapublik Indonesia melepas semua saham-sahamnya.  Mulai 2001 Awair mulai beroperasi sebagai associatedari AirAsia. Â
Pada 1 Desember 2005, Awair berubah namanya menjadi Indonesia AirAsia. Adapun kepemilikan saham 51% dimiliki oleh PT Fersindo Nusaperkasa dan AirAsia Berhad memiliki 49% Â Struktur kepemilikan ini mengikuti UU yang berlaku di Indonesia, yang mana asing tidak boleh memiliki saham mayoritas dalam maskapai penerbangan yang berbadan hukum Indonesia.
QZ8501: