Dampak dari populisme bisa bervariasi. Keinginan gerakan populisme kiri tidak sama dengan gerakan populisme kanan. Pada gerakan populisme kiri umumnya dikaitkan dengan peningkatan belanja pemerintah dan welfare state yang lebih luas. Selain itu, adanya dorongan untuk meregulasi dunia usaha. Sedangkan gerakan populisme kanan memiliki kecenderungan sebaliknya yaitu mengurangi belanja negara dan mengurangi jaminan sosial. Juga gerakan populisme kanan menginginkan gaya pemerintahan dengan kebijakan laissez-faire.
Melihat kecenderungan populisme kiri dan kanan, benang merahnya adalah masalah ekonomi. Meningkatnya prevalensi populisme di Eropa tidak bisa dilepaskan dari menurunnya pertumbuhan ekonomi sejak dekade 1970an. Ini antara lain juga disebabkan karena berkurangnya sumber daya manusia yang memasuki lapangan kerja. Penyebabnya tidak lain karena angka fertilitas di Eropa cenderung menurun. Hal yang sama terjadi di Amerika Serikat.
Catatan yang menarik adalah dampak populisme di Amerika Serikat terkait dengan kemenangan Donald Trump. Kalau semua janji-janjinya dilaksanakan maka akan terjadi belanja infra-struktur yang masif serta tarif tinggi dikenakan bagi produk-produk impor. Juga Trump yang didukung oleh para koleganya para anggota Kongres dari partai Republik, akan menurunkan pajak bisnis bagi orang-orang kaya termasuk dirinya. Selain itu, adalah pengampunan pajak bagi korporasi yang membawa pulang penghasilan dari  keuntungan operasional di luar negeri kembali ke Amerika Serikat.
Dampak utama bagi masyarakat internasional jika gerakan populisme menguat adalah terhadap para imigran. Penanganan para imigran dari Timur Tengah yang membanjiri Eropa akan berubah bahkan terhenti sama sekali jika Angela Marker tidak terpilih kembali sebagai Kanselir Jerman. Sementara itu, pihak partai Demokrat yang minoritas di Kongres dan Senat Amerika Serikat jika Trump akan merealisasikan janjinya membangun tembok sepanjang perbatasan Amerika Serikat dan Meksiko. Kelompok Islam di Amerika Serikat sebagaimana keinginan Trump boleh jadi akan mengalami perlakuan yang tidak menyenangkan.
Walau begitu, kita tunggu pada 20 Januari 2017 saat Donald Trump dilantik jadi Presiden Amerika Serikat, apakah semua keinginan, janji, dan retorikanya akan direalisasikan. Trump kelak akan berhadapan dengan kompleksnya urusan politik di Washington, apalagi politik Dunia bukan masalah hitam-putih. Spektrumnya luas dan kompleks.
Lepas dari pro dan kontra terhadap populisme, maka catatan penting adalah keinginan gerakan populisme melawan elite politik yang korup dengan lembaga-lembaga yang mapan. Kita semua mengikuti bagaimana Dilma Rousseff dari Brazil yang dimakzulkan, dan sekarang Park Geun-Hye yang dalam penyelesaian proses pemakzulan. Oleh karena itu, yang akan membendung gerakan populisme adalah institusi yang demokratis, partai dan para politisi yang lebih responsif kepada kebutuhan masyarakat luas.
Bagaimanapun populisme adalah simtom dari demokrasi yang bermasalah. Jika masalah sosial dan ekonomi bisa ditanggulangi maka dengan sendirinya simtom tersebut akan pudar. Sementara itu, keberhasilan dari pemerintahan populisme tolak ukurnya adalah bagaimana mensejahterakan masyarakatnya. Tahun 2017 nampaknya akan terjadi persaingan antara yang pro dan kontra terhadap populisme, khususnya di Eropa dan Amerika Serikat. Kita tunggu dan amati saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H