Suasana Jogja yang nyaman terusik dengan adanya aksi klitih. Aksi tersebut merupakan aksi pembacokan atau penusukan kepada para pengandara motor. Aksi ini mirip dengan aksi begal, namun yang membedakan aksi ini dilakukan tanpa tujuan yang jelas. Jika aksi begal dengan jelas pelaku bertujuan untuk merampas barang milik korban secara paksa dan dengan menyakiti korban. Namun dalam aksi klitih ini, pelaku hanya sekedar menyakiti tanpa mengambil barang milik korban. Aksi ini biasanya terjadi pada malam hari ketika hari sudah gelap. Tetapi kejadian akhir-akhir ini, klitih dilakukan sore hari dan bahkan siang hari ketika tidak gelap dan tidak sepi. Selama ini korban dari aksi ini kebanyakan adalah laki-laki. Pelaku dan korban dalam aksi klitih ini, adalah remaja yang berumur belasan tahun dan masih menempuh pendidikan di SMP dan SMA.
Dari beberapa kasus yang terjadi sebagian besar motif pelaku melakukan aksi tersebut karena mereka ingin bergabung dengan sebuah geng. Kemudian keberanian untuk membacok atau menyakiti seseorang menjadi persyaratan yang harus terpenuhi jika ingin bergabung dalam geng tersebut. Selain itu ada juga yang melakukan hal itu karena hanya ingin membuat gaduh masyarakat dan menjadi kepuasan tersendiri setelah melakukan aksi yang menyakiti orang lain tersebut.
Aksi klitih yang terakhir terjadi di Jogja adalah aksi yang menyebabkan satu korban meninggal dan enam orang luka-luka. Korban adalah siswa SMA yang pulang dari berwisata. Aksi tersebut terjadi di jalan Imogiri-Panggang. Pelaku menggunakan pedang atau parang dan clurit sebagai senjata. Pelaku juga menggunakan cadar ketika melakukan aksi klitih yang membabi buta hingga menelan korban jiwa tersebut. Kini kasus tersebut masih dalam proses penyelidikan.
Maraknya aksi klitih membuat masyarakat resah dan takut untuk keluar rumah, terutama pada malam hari. Oleh karena itu pihak kepolisisan menindak lanjuti dengan melakukan razia di daerah Jogja. Sasaran dalam razia ini adalah para remaja di Jogja. Dari razia tersebut kepolisian telah beberapa kali berhasil menangkap remaja-remaja yang membawa senjata tajam. Meskipun sudah dilakukan razia, namun aksi tersebut ,asih tetap terjadi hingga sekarang.
Jogja yang terkenal nyaman dan aman, kini menjadi tidak aman oleh remaja yang tidak bermoral dan kurang kerjaan. Pandangan orang mengenai kota Jogja yang terkenal dengan masyarakatnya yang ramah kepada sesama orang Jogja maupun bukan, kini menjadi berubah. Remaja yang menempuh pendidikan seharusnya mengerti dan mampu membedakan mana perbuatan yang baik dan buruk serta mana perbuatan yang positif dan tidak merugikan orang lain. Dari kasus ini, istilah “Jogja, kota pelajar” menjadi terasa aneh terdengar ketika para pelajar justru membuat onar. Apakah ini sebuah kegagalan dunia pendidikan dalam membentuk karakter pelajar yang mengerti moral dan etika dalam kehidupan bermasyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H