Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang "TPPO" tidak hanya dialami oleh anak-anak dan perempuan, tetapi juga dialami oleh pekerja laki-laki, termasuk mereka yang berprofesi sebagai awak kapal dan/atau anak buah kapal "ABK".
Kasus TPPO di Indonesia yang dialami oleh para ABK Warga Negara Indonesia, salah satu yang terbesar adalah kasus 203 ABK WNI yang bekerja atau dipekerjakan di atas kapal penangkap dan pengangkut ikan berbendera asing di perairan Trinidad and Tobago dan perairan Abidjan, 2013 silam.
Para ABK WNI tersebut (termasuk Penulis), telah direkrut dan diberangkatkan oleh dua perusahaan keagenan awak kapal, yakni PT Karlwei Multi Global "KARLTIGO" dan PT Bahana Samudera Atlantik, dengan kontrak kerja selama 2 (dua) sampai 3 (tiga) tahun, dengan besaran upah bulanan antara USD150 sampai dengan USD180.
Tetapi naas, selama bekerja, para ABK WNI tersebut sama sekali tidak mendapatkan upah. Bahkan mereka ditelantarkan di atas kapal sebelum akhirnya mereka dipulangkan ke Indonesia secara bertahap.
Setibanya di Tanah Air, para ABK berjuang untuk menuntut hak-haknya. Sebanyak 56 (lima puluh enam) orang (termasuk penulis) diantara 203 orang membentuk organisasi yang dinamakan FSPILN (Forum Solidaritas Pekerja Indonesia Luar Negeri).
Perjuangan tersebut bergulir hingga 2 (dua) tahun, dari mulai melakukan aksi unjuk rasa ke berbagai instansi pemerintah, hingga menuntut pimpinan perusahaan di pengadilan, yang kemudian membuahkan hasil diterimanya hak restitusi bagi 56 orang tersebut sebesar Rp1,1 Miliar dan pimpinan perusahaan dihukum kurungan penjara selama 1 tahun lebih. Sementara hingga detik ini sisa dari 56 orang tersebut (147 orang) lainnya sama sekali belum atau tidak mendapatkan hak-hak mereka, baik hak gaji, apalagi hak restitusi.
Maka berdasarkan pengalaman penulis selaku mantan ABK yang menjadi korban TPPO, penulis menyarankan kepada pemerintah selaku pembuat kebijakan bersama DPR RI agar kiranya dapat merevisi ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana perdagangan Orang "UU PTPPO" terkait pasal Restitusi.
Dalam UU PTPPO, Pasal 1 ayat (13) menyatakan bahwa "Restitusi adalah pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian materiil dan/atau immateriil yang diderita korban atau ahli warisnya."
Kemudian, dalam ketentuan Pasal 50 ayat (4) dijelaskan bahwa "Jika pelaku tidak mampu membayar restitusi, maka pelaku dikenai pidana kurungan pengganti paling lama 1 (satu) tahun."
Nah, yang menjadi konsen penulis adalah ketentuan Pasal 50 ayat (4) di atas, yang menurut hemat penulis perlu untuk direvisi atau diperbaiki, sehingga kira-kira dapat diubah menjadi "Jika pelaku tidak mampu membayar restitusi, maka pelaku dikenai pidana kurungan pengganti paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun."Â dan ada penambahan ayat pada Pasal 50, yakni ayat 5, yang kira-kira berbunyi "Terhadap korban perdagangan orang yang pelaku tidak sanggup membayar restitusi, maka restitusi diberikan kepada korban dan menjadi tanggungjawab pemerintah."