Setelah mengetahui penghulu Banjar yang luar biasa keilmuannya dari segi tauhid, fikih, dan tasawwuf, maka tidak mengherankan jika banyak bertebaran pondok pesantren, madrasah, majelis ta'lim, dan masjid-masjid di Kalimantan Selatan. Darah daging beliau pula banyak mencetak ulama yang luar biasa. Nama-nama seperti Syaikh Sarwani Abdan Bangil dan KH Zaini bin Abdul Ghani Sekumpul adalah buktinya. Dengan demikian, Tanah Banjar dikenal sebagai daerah yang agamis dan kental ke-Islamannya.
Dengan segudang kehebatan Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari, sayangnya ada satu hal yang jarang disadari oleh masyarakat Banjar. Sebuah fakta bahwa Datuk Kelampayan adalah seorang sarjana di bidang astronomi. Hal ini dibuktikan oleh beliau ketika membetulkan arah kiblat beberapa masjid di Batavia, seperti Masjid Luar Batang sebelum pulang ke Banjarmasin. Nalar matematis beliau membuat Gubernur Batavia berdecak kagum dan memberikan beliau hadiah. Beliau juga mampu mengukur kedalaman air laut dengan akurat. Setidaknya, ada tiga kitab tentang ilmu falak yang beliau tulis selain dari keilmuan pokok agama lainnya. Tiga kitab tersebut adalah Risalah Ilmu Falak (tentang gerhana matahari dan bulan), Risalatul Qiblah (tentang perhitungan arah kiblat), dan Kur al-Ardhi wa Khath al-Istiwa (Peta Bumi dan Garis Katulistiwa).
      Maka dengan kepiawaian ulama kita di bidang falakiyah, yang menjadi pertanyaan, kenapa di Banua Banjar tidak memiliki observatorium? Ya, gedung bulat tempat memperhatikan benda-benda angkasa berteropong raksasa. Dengan adanya observatorium, tentu akselerasi pengembangan ilmu pengetahuan modern juga bisa lebih cepat. Observatorium juga dapat menarik minat anak-anak untuk belajar sains. Padahal, peradaban-peradaban Islam seperti di Andalusia, Baghdad dan Samarkand ratusan tahun lalu sudah memilikinya. Disaat negara-negara lain mulai mengembangkan kemajuan sains untuk memperkuat kedaulatan negaranya, maka Indonesia harusnya sudah mulai membangun dengan adanya modal historis. Dengan sejarah Datuk Kalampayan, kita bisa memajukan ilmu pengetahuan sains yang berlandaskan kearifan lokal berupa nilai agama Islam.
      Sebenarnya jika kita menilik, sains dan agama harusnya bisa menjadi selaras dalam kehidupan, bukan sebagai dua entitas yang harus dipetentangkan. Agama menjadi landasan kebenaran yang kemudian ilmu pengetahuan membuktikan kebenaran tersebut. Memisahkan keduanya akan menjadikan peradaban Islam menjadi terbelakang. Hal ini sudah dibahas di dalam kitab terbitan majalah al-Manar oleh Syekh Rasyid Ridha dan Amir Syakib Arsalan, yang berjudul 'Limadza Ta'akhkhar al-Muslimun wa Limadza Taqaddama Ghairuhum?' (mengapa umat Islam mundur sedangkan non-Islam maju?) Kitab tersebut berasal dari pertanyaan seorang alim dari Negeri Sambas (sekarang bagian dari Kalimantan Barat), yakni Maharaja Imam Baisuni Imran. Pertanyaan yang singkat tersebut seolah melampaui pemikiran di zamannya.
      Namun ketika penulis mengamati kondisi koleksi museum kita yang begitu-begitu saja, jumlah koleksi ensiklopedia di perpustakaan kita yang masih kurang lengkap, fokus visi pembangunan para pemimpin kita yang masih kurang memperhatikan pendidikan, sepertinya harapan itu masih harus menunggu bertahun-tahun lamanya. Katalisator pembangunan juga masih diukur dari berapa dalam kerukan tanah hasil tambang, bukan dengan meningkatnya kesadaran akan ilmu pengetahuan. Peran ulama kita juga sangat penting, dengan momen haul Datuk Kelampayan yang setiap tahun kita peringati. Hendaknya juga menyisipkan urgensi membangkitkan ilmu falak disela-sela pembacaan manaqib. Hal itu jauh lebih bermanfaat, dibandingkan terus mengisahkan 'keajaiban' Datuk Kelampayan memunculkan buah kasturi di Negeri Arab.
(Penulis adalah Sarjana Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Lambung Mangkurat, Demisioner Kepala Departemen Keagamaan Badan Eksekutif Mahasiswa ULM periode 2018, demisioner anggota LDK Unit Kerohanian Mahasiswa Muslim (UKMM) ULM, Â anggota Angkatan Muda Masjid As-Sa'adah 2016-2017, Komisi D FSLDK 2020-2021, Founder media dakwah @majaliskita)
Referensi :
Azra, Azyumardi. (2013). Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII: Akar Pembaruan Islam Indonesia. Jakarta: Kencana.
Djaelani, M. Anwar. (2016). 50 Pendakwah Pengubah Sejarah. Yogyakarta: Pro-U Media.
Halidi, Jusuf. (1968). Ulama Besar Kalimantan Sjech Muhammad Arsjad Al-Banjary. Surabaya: Penerbit al-Ikhsan.
La Eda, Maulana. (2020). 100 Ulama Nusantara Di Tanah Suci. Jawa Tengah: Aqwam.