"Siapa saya?" Saking sepelenya pertanyaan semacam ini, saya tidak pernah memberi porsi waktu yang lebih untuk menjawabnya. Setelah menginjak usia yang ke dua puluh, pertanyaan ini menjadi penting bagi saya mengingat angka 20 adalah gerbang menuju kedewasaan hidup yang menuntut saya untuk survive.Â
"Autentikkah atau palsukah diri saya?" Kira-kira demikianlah rumusan lanjutan atas pertanyaan itu. Atas pertanyaan itu, saya mencoba melihat siapa diri saya.
Tenggelam
Setelah 20 tahun ini, hal yang sungguh-sungguh tidak saya temukan adalah diri saya sendiri. Wujud dari kehilangan diri ini adalah ketidakmampuan diri saya mewujudkan dan menunjukkan diri yang autentik. Tingkah laku, perkataan, dan pikiran saya sepenuhnya tergantung pada lingkungan di sekitar saya. Saya dipenuhi oleh kepalsuan. Saya tenggelam.
Saya menyebut kondisi ini sebagai ketenggelaman diri. Tenggelam artinya segala sesuatu yang saya tunjukkan ke luar diri saya tidak mampu menunjukkan diri saya yang autentik, yang asli.Â
Pengaruh-pengaruh dari luar mendominasi segala sesuatu yang saya tunjukkan ke luar dari diri saya. Akibatnya, tindakan, perkataan, maupun pikiran saya tidak mewakili diri saya.
Ketenggelaman itu saya alami dalam banyak hal, entah itu dalam rutinitas, dalam formalitas, sistem, pekerjaan, kampus, keluarga, dan sebagainya. Di kampus, misalnya, saya lebih suka terlambat ramai-ramai bersama kawan-kawan saya, ketimbang masuk ke ruang kuliah lebih awal seorang diri.Â
Atau di asrama tempat saya tinggal, misalnya, saya lebih memilih untuk patuh pada pimpinan, meski hal itu bertentangan dengan prinsip-prinsip hidup yang saya pegang. Masih banyak contoh lain yang menunjukkan bagaimana keindividuan saya hilang di tengah-tengah kerumunan itu.
Apa yang tampak di sini? Apa yang saya tunjukkan ke luar adalah apa yang mentah-mentah berasal dari luar, bukan apa yang berasal dari dalam diri saya. Saya adalah saya yang palsu.
Minggu yang lalu, misalnya, saya ke Gereja setelah disuruh bapak asrama saya agar mesti beribadah. Saya pergi dalam keadaan mengantuk. Semalaman saya begadang. Kalau tidak karena itu, saya tidak akan pergi ke gereja dan memilih melanjutkan tidur saya.
Apakah secara individu saya tampak di sana? Saya kira hampir tidak, bahkan tidak sama sekali. Semua hal yang saya alami selama ini hanya terjadi dalam lingkup kolektif, yang mana saya hanyalah salah satu unit terkecil di dalamnya.Â