Mohon tunggu...
fadil muhammad nasrudy
fadil muhammad nasrudy Mohon Tunggu... -

seorang gila yang sangat gila

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lucky

8 November 2014   21:23 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:18 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Lima ribu rupiah dan esok masih tanggal tiga. Dicobanya merogoh semua uang yang ada disaku namun hanya kertas undian yang belum jelas pusatnya berada di sana. Dicobanya beberapa kali meski akhirnya hasilnya tetap sama; ia tetap berharap mungkin akan ada keajaiban. Hingga untuk kesekian kalinya tak ada yang terjadi dan akhirnya ia menyerah.

Lima ribu rupiah dan esok wiliam akan datang. Wiliam; seseorang berambut gondrong dengan otot yang menyembul dari bajunya yang kesempitan. Bekas luka yang ia dapat di wajahnya setelah berkelahi dengan sesama tahanan menambah kegarangannya sebagai seorang mantan narapidana; Ia adalah bawahan mikel seorang rentenir terkenal kota lilikis.

Lima ribu rupiah dan minggu depan adalah bulan puasa. Dia membayangkan hanya akan sahur dengan air wudhu dan kalau beruntung dapat takjil dermawan saat berbuka puasa di masjid. Barang-barang akan naik dan ia tak akan sanggup meskipun hanya satu liter beras. Apalagi bawang merah akan menjadi sangat mahal dan garam mungkin juga akan naik; sedang msg yang dipasardisebut vitsin hanya akan membuatnya semakin bodoh.

Uang lima ribu itu dipandanginya di sebuah toko koran depan pasar. Ditatapnya lembaran tersebut sambil sesekali melirik ke arah surat kabar yang terpampang di depan toko. Tiga ribu rupiah harga satu koran dan tidak mungkin ia hanya membeli lembaran iklan lowongan kerjanya. “Lima ribu rupiah untuk dua buah” itulah ciri khas toko tersebut.

“Satu koran hari ini”ucapnya sambil menyodorkan uang lima ribunya. Setelah itu ia menerima tiga puluh enam halaman koran ternama di kotanya. Dibukanya lembar demi lembar mencari halaman berjudul lowongan kerja.

“Maaf, kami tidak memiliki uang kecil" ucap pelayan itu sambil sedikit membungkukkan badan dan dengan senyum yang coba dibuat-buatnya.

“Saya minta koran jenis yang lain saja” tanggapnya beberapa saat kemudian sambil memalingkan pandangannya dari koran itu.”yang itu” tunjuknya pada koran merek lain yang tidak kalah populer di kota itu. Diambilnya dua koran itu lalu keluar dari toko sambil memegangnya dengan erat seakan tak ingin ia lepas.

Didapatnya halaman yang kepalanya terpampang tulisan LOWONGAN KERJA yang besar. Halaman itu hanya berisi kotak-kotak penyedia lowongan kerja dan pasti membuat orang yang tidak butuh apa-apa dari sana sangat bosan untuk membaca apalagi memulai dari halaman itu. “Dibutuhkan seorang sarjana minimal S1; perempuan dan mahir bekerja”itulah syarat iklan lowongan kerja dibaris pertama yang dibacanya. Ia seorang laki-laki dan baru tamat SMA. Mungkin karena zaman telah berubah SMA yang dulu sangat terpandang kini hanya menjadi buangan.

“dibutuhkan seorang pria lulusan minimal SMA; berusia antara 20-23 tahun; mampu bekerja di atas ketinggian”itulah iklan kedua yang dibacanya. Ia adalah seseorang yang berusia 27 tahun dan tentunya iklan itu tidak cocok untuknya karena ia adalah salah seorang dari ribuan ataupun jutaaan orang yang takut akan ketinggian.

Dua halaman lowongan kerja untuk satu surat kabar telah habis dibacanya. Tak satupun iklan yang cocok untuk seorang laki-laki lulusan SMA yang takut ketinggian; tidak berpenampilan menarik; tidak memiliki ijazah dan hanya memiliki akta kelahiran apalagi uang untuk menyogok sang pemberi kerja.

Kini hanya surat kabar kedua yang tersisa; surat kabar pilihan terakhir bagi pembeli karena memang hanya dua jenis surat kabar yang ada di kota itu. Mungkin surat kabar ini memiliki perkerjaan yang cocok; surat kabar kecil untuk orang-orang kecil, terpinggirkan, dan kurang berpendidikan.

Dibacanya beberapa baris dan memang tak perlu menjadi sarjana untuk melamar di pekerjaan-pekerjaan itu namun yang dibutuhkan memang lebih banyak wanita; mungkin untuk menjual di toko karena pembeli akan lebih tertarik pada perempuan dibanding laki-laki.

“Laki-laki,berusia 27 tahun, tidak perlu berpenampilan menarik, tidak perlu bekerja ketinggian, dapat langsung bekerja tanpa administrasi” itulah syarat yang sangat ingin ia baca pada sebuah kotak lamaran kerja, satu saja dan ia akan sangat senang. Namun hingga baris terakhir tak pernah ia dapat, hingga diulangnya berkali-kali tak kunjung muncul juga dan akhirnya ia menyerah. Uang lima ribunya terbuang sia-sia.

Matahari telah menggantung setinggi tiang dan ia belum juga mendapatkan pekerjaan. Akhirnya dengan berat hati ia meninggalkan taman; menuju masjid dan menaati perintah tuhan. Air wudhu tak mampu membuat pikirannya jernih. Doa-doanya tak mampu membuat beban hidupnya lepas dan tak sedikitpun meringan meski air mata sedari tadi menetes dari pelupuk matanya.

“Kemana lagi aku harus mengadu jika bukan padamu, namun engkau seakan berpaling dan tak sedikitpun menatapku. Aku memohon padamu ringankan beban ini” doa itu telah lima kali ia ulang. Dan akhirnya doanya berakhir setelah doa itu ia hafal mati. Setelah itu ia bangkit lalu berjalan keluar masjid; sesekali ia berbalik berharap dari tempatnya tadi duduk turun sekarung uang yang akan membuat hidupnya membaik.

Digerbang masjid didapatnya sebuah dompet kulit berwarna coklat. Dipungut dan dibukanya dompet itu dan betapa goyah imannya mendapati lembaran-lembaran uang seratus ribuan serta selembar cek bernilai satu miliar rupiah. Disana juga terdapat lembaran ktp bernama penduduk firah. Dibacanya alamat tempat tinggal dan biodata lainnya ternyata orang itu adalah pendatang di kota ini.

“Copet, tolong ada copet” teriak seorang wanita muda histeris sambil menunjuk ke arahnya.

Ia yang kaget dan tak tahu apapun segera berlari otomatis secara reflek. Tak pernah ia tahu apa yang akan terjadi hingga ia tertangkap setelah terjatuh saat tersandung sebuah batu. Kerumunan massa yang sedari tadi mengejarnya dengan sigap megebukinya agar ia tak dapat lagi melarikan diri. Darah mulai bercucuran dari tubuhnya beberapa saat sebelum seseorang meredakan amarah massa. “kita adili saja dipengadilan.” Ujarnya sambil terus menahan beberapa tangan usil yang masih ingin mengambil jatah. Lucky yang sudah tidak sadarkan diri tak tahu lagi apa yang mereka bicarakan.

Ia terbangun di dalam tahanan dan menurut kabar dari sesama tahanan ia dinyatakan bersalah atas tuduhan pencopetan dan itu sudah terbukti dan kasusnya telah selesai meskipun ia belum sadarkan diri.FR

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun