Cerbung Sudut pandang Ben “Aku tidak akan melakukannya, kalau kau tidak mengizinkan” Keputusan Ory tergantung pada izinku, tapi hal ini justru membuatku terbebani. Bagaimana mungkin aku mengizinkannya menikah, bagaimana mungkin aku menyepakati kata berpisah. Aku sendiri sempat berharap, hanya mautlah yang boleh memisahkan kami. Orang waras pasti akan menilai kalimat itu sebagai ungkapna lebay, tapi orang kasmaran aku yakin, akan sependapat denganku, kalau kalimat itu romantis. “Aku menikah bukan berarti berpisah denganmu, kita masih bisa berhubungan” “Ya….dengan cewek menjijikan bergelayut dilenganmu?” Posesif, yah itulah aku, aku tidak mau ada orang yang lebih dekat dengan Ory selain aku, entah dari sudut pandang Ory, orang itu ada dihatinya atau tidak. Pokoknya tidak boleh. Kami pernah berkelakar bersama Bella ditengah malam buta, membahas hubungan lesbian dan gay serta semua aspek didalamnya. Mencoba memahami pandangan orang dari sudut lain. Fakta mengerikan yang aku ketahui dari Bella, banyak cewek yang takut dengan kaum gay, bukan karena gay mencintai sesama lelaki, tapi karena sifat gay yang cenderung posesif dan suka nekat, melakukan hal-hal yang irasional, semacam membunuh target yang membuatnya cemburu. Aku Cuma berjanji padanya saat itu, kalau aku tidak akan senekat itu, tapi kalau Ory benar-benar harus pergi dan menggandeng orang lain, mungkin lebih baik aku bunuh diri. Konyol memang. “Apa yang sedang kau pikirkan?” Aku tersentak dari lamunanku, Ory mendapati pandanganku kosong. “Memikirkan hal apa yang bisa aku lakukan tanpanmu” Ory menenggak kopi di cangkirnya sampai habis, lalu seperti buih yang mulai beterbangan, serentetan fakta bahwa aku bisa tanpanya dia sebutkan berurutan tanpa jeda, sampai aku berpikir, dia bukan sedang berbicara dari hati ke hati. Lebih seperti presentasi yang dia siapkan untuk meeting bulanan membahas laporan keuangan. Semua yang dikatakannya benar, tapi dia melupakan bahwa hal itu sudah berlalu lebih dari empat tahun. Dalam satu detik manusia berubah, empat tahun sudah bisa dikalkulasikan menjadi berjuta-juta detik, dan itu berarti, kalau keadaan saat itu dan saat ini ditarik ulur menjadi perbedaan dengan satuan jarak. Aku yakin, jaraknya sudah melebihi jarak Indonesia – Amerika. “Bunuh aku, kalau kau berpikir tidak ada yang berubah selama empat tahun” tantangku “Apa Cuma cara itu yang bisa membuatmu tenang?” Perlahan tangan Ory meraih pisau buah yang berada tidak jauh dari tangannya, dan nyaliku menciut, aku benar-benar takut Ory tega melakukan hal itu padaku. Ory mengitari meja menuju ke arahku, dan lututku bergetar menahan takut, aku tidak mungkin melawan kalau Ory yang melakukan. Itu pasti. Tidak berapa lama kemudian posisi Ory sudah ada dibelakangku, tengkukku meremang, lututku lemas. Dan “Jleb…..!” aku sontak menutup mukaku, sementara pisau itu, berdiri tegak menghujam apel yang tadinya aku genggam, kalau tanganku masih disana, mungkin saat ini darah ku sudah bercucuran. “You’ll move when i disappear” Ory membisikkan itu ditelingaku. Aku merasa dibodohinya, seharusnya aku membiarkan tanganku terluka dan Ory akan mengambil kesimpulan bahwa aku tidak bisa hidup tanpa dia. Sebelum aku sempat berkata-kata Ory sudah berlalu ke ruang tamu, mengambil kunci mobilnya dan pergi. Tidak ada penjelasan apapun. -to be continue- Seperti inikah kisahku berakhir?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H