Beberapa hari belakangan dia mulai mengirim SMS lagi padaku, dan itu membuatku limbung lagi, boleh dibilang begitu. Pasalnya dia bilang dalam pesannya bahwa dia ingin melipat waktu. Jujur aku merasa senang mendengarnya, tapi aku tak mau perasaan itu berkembang lebih dari yang seharusnya, aku membalasnya dengan lelucon, tak lucu memang tapi dari pada garing?
Aku menyuruhnya melipat pakaian saja, dan sedikit mengingatkannya, kalau ditanggal-tanggal akhir Maret inilah dia bertemu dengan ceweknya yang sekarang padahal dulu dia masih berstatus sebagai pacarku. Ditanggal-tanggal inilah dia mulai menyematkan jarum-jarum penghianatan dibalik selimut yang sedang ku rajut dengan bunga-bunga matahari, jelek sekali….
Justru karena itulah dia menyesal dan berharap melipat waktu sehingga penghianatan itu tidak akan terjadi. Dia membuatku teringat kembali masa-masa dulu dan itu menyakitkan. Lebih menyakitkan lagi karena hanya beberapa hari berikutnya dia tak lagi berpendapat begitu, kembali cuek dan menghempaskan harapanku bahwa mungkin ku bisa membisikkan kata selamat ulang tahun ditelinganya, dan memberinya hak “ I’m yours “ sepenuhnya padanya selama 24 jam. Dan seharusnya aku cukup tahu kalau dia begitu mudah berubah pikiran, seharusnya aku tidak usah merasa senang, seharusnya aku tidak usah menanggapi pesan-pesannya karena seperti sebelumnya semua cuma bullshit, bahkan mungkin dia Cuma mengigau dalam tidurnya saat mengirim pesan itu. Dia yang memulainya lagi tapi seharusnya ku juga tau kalau dia juga yang akan mengakhirinya lagi.
Aku menyesal kenapa aku mengiriminya email itu, dimana isinya seolah aku begitu berharap dia ingin kembali padaku. Aku menyesal mengiriminya pesan dimana akhirnya justru balasan ini yang ku terima :
“ Gue cuma berharap lo ga usah kirim SMS macem-macem ama gue, gue nggak mau dia berpikir macem-macem tentang gue “
Heh….
Aku tertawa getir, seharusnya aku tahu kalau dia begitu egois, egois dari sisiku tentunya. Bukan dari sisi ceweknya sekarang, dia bahkan akan terlihat terlalu mengenyampingkan egonya hanya karena tak mau menyakiti hatinya. Dalam hal apapun akulah satu-satunya orang yang ia relakan untuk jadi korban keegoisannya. Dengan satu alasan klasik bahwa aku tegar, beda dari cewek-ceweknya selama ini, dan juga ceweknya kali ini. Aku tidak tahu apakah aku harus bersyukur dengan kelebihanku kali ini atau justru mengutuk diriku sendiri kenapa aku tak terlahir sebagai cewek lemah saja agar dia bertahan disampingku, takut melukaiku dan tak bisa meninggalkan aku.
Ah sudahlah aku tak mau mengingat segala pujiannya tentangku kalau tujuan akhirnya hanya untuk meninggalkan aku. Aku bukan wonder women seperti yang mungkin ia harapkan. Aku juga bisa sakit hati, karena aku manusia biasa, tidak lebih.
Dalam keadaan kesal aku kembali memilih salah satu solusi yang pernah terlintas, yach sesuai permintaanya, aku tak akan mengirimkan SMS apapun tak terkecuali ucapan ulang tahun, apalagi telephon, jangan harap. Sudah jadi SMS person dari dulu dan itu juga berlaku padanya bukan cuma sekedar masalah irit tapi lebih cenderung ke kepribadianku sendiri, aku jenis orang yang cepat sekali kehabisan bahan bicara apabila harus ngobrol dengan siapapun dan itu membuatku kurang pandai bergaul, aku lebih senang menyendiri. Tapi fakta bahwa aku lumayan mempunyai banyak teman dekat dan baik hati sangat menguntungkan apalagi di masa down seperti ini.
April 9th 2009 05.18 p.m
Aku kembali ke ruang kerjaku setelah terlebih dulu ganti baju dan bersiap-siap pulang saat aku melihatnya melintas kearah tempat parkir, dia juga mau pulang. Aku kembali bukan untuk lembur atau karena ada pekerjaan yang belum selesai atau bahkan mengambil barang yang tertinggal. Aku hanya ingin memasukkan sedikit file di foldernya lewat network, aku tak bisa tidak melakukan satu-satunya hal yang aku bisa tanpa harus menyakiti hati siapapun, termasuk ceweknya. Tapi aku juga tak ingin ia merasa bahwa aku melupakannya, aku tak mau ia merasa aku tak peduli, aku tak mau dia merasa kehilangan hal yang mungkin sedikit diharapkannya, Itu juga kalau dia merasa….
Ini bukan salahnya, hanya salahku sendiri, aku selalu ingin jadi yang pertama dalam hal apapun mungkin termasuk dosa tadi itu, aku jadi yang pertama juga, bahkan dulu ku pernah bersemboyan Vini, Vidi, Vici, semboyan Viking yang menakutkan, terkesan egois, tapi anehnya justru dengannya aku selalu mengalah. Itu kelemahanku, selalu mengalah pada orang yang aku sayang sekalipun merekalah yang melukaiku. Aku benci harus selemah ini, tapi aku lebih benci karena sampai sekarang pun aku tak bisa merubahnya, aku tetap ingin menjadi orang pertama yang mengucapkan selamat ulang tahun padanya, walaupun aku tahu, ucapanku akan ia terima paling akhir mengingat bahwa tiga hari kedepan libur kerja. Itu berarti ia baru akan membuka ucapanku tanggal 13, itu berarti satu tahun sudah kita putus, anehnya aku masih juga menetap disini, dikubangan luka bernanah yang ku buat tetap basah.
Aku belum juga berhenti menikmati perihnya, aku masih membiarkan hatiku berlubang-lubang tak karuan dan tak menjahitnya, agar ia tertutup. Aku masih tetap merindukannya, menyayanginya dengan topeng benci, membiarkan ruang hatiku kosong tanpa mencoba mencari pengganti yang sepadan, sekalipun bukan berarti ku mengharapkannya kembali. Atau justru karena aku membiarkannya kosong sehingga aku tak jua melupakannya? Aku tak tahu pasti mana sebab akibat yang lebih mengarah kebenaran, dan itu bukan masalah lagi, Aku cukup senang bahwa waktu tetap berjalan dan memberiku kesempatan untuk melangkah ke depan.
Entahlah………. I keep d’ bleeding love n only time which could answer everything.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H