Cerbung
Sudut pandang Bella
Sesuai perjanjian, aku menemui Dee di warung “Teko” dideretan City Walk Cikarang. Dee melambaikan tangan begitu melihatku, aku berjalan menuju ke arahnya, sambil menoleh kanan kiri. Aku tidak suka bila harus satu tempat dengan orang yang aku kenal. Karena terkenal tomboy, saat aku jalan di luaran dengan cewek dan bertemu anak kampus, aku sering mendapat pertanyaan ”Siapa Bells? Ceweknya yach” jujur aku risih. Aku tidak mau mendapat pertanyaan yang sama. Satu keadaan lain saat dulu bersama Kesha, bahkan saat orang bertanya ”Pacarnya ya?”aku akan mengiyakan. Terserah mereka menganggap itu pernyataan benarku atau jawaban iseng. Bisa dibilang sekarang aku lebih jaim. Whatever…
”Udah lama?” tanyaku
Dee menyeruput teh pocinya dengan nikmat, tidak sengaja aku mengerling ke arah lehernya yang sedang meneguk teh. Naluri lelaki yang ada padaku mulai bekerja. Sial, aku ingin berada disana, menciumnya dan menyematkan kepalaku di lehernya. Aku buru-buru menarik kursi lalu duduk, mengakhiri adegan konyol, menyadari diriku sekilas tertarik pada Dee.
”Baru bentar, 20 menit 17 detik”
Dia tidak terlihat marah walau harus menunggu. Kali ini dandanan Dee lebih enak dilihat dari pada pertama kali aku melihatnya. Dia memakai rok rimple pendek berwarna hijau dan atasan jaket kaos berwarna putih. Lagi-lagi pemandangan ini membuat jantungku berdesir, sepertinya aliran darahku melaju lebih cepat. Aku menggelengkan kepalaku sejenak, berharap dengan begitu aku bisa menetralisir keadaan otakku yang sepertinya tidak waras sejak memasuki warung ini.
”Mau pesan apa?”
”Terserah, pilihkan saja yang pedas, kalau pilihanmu enak mungkin lain kali aku lebih antusias menemanimu”
Dalam tempo terlalu pelan, jari telunjuk Dee mengatup bersama ibu jarinya membentuk kode Ok, sambil tersenyum dengan mata menyipit. Sekarang aku yakin bukan Dee yang sedang menggodaku, tapi Tuhan, Dia mencoba memberiku mangsa baru. ”Bells kontrol dirimu sendiri!” aku mencoba mengingatkan diriku sendiri. Aku berharap Dee masih tetap saja polos sehingga dia tidak bisa membaca apa yang terpampang di aura wajahku sekarang ini. Beberapa kali SMS Ben masuk ke inbox, dan mengganggu acara makan bersama Dee. Tentu saja mengganggu bagiku dan Dee tetap pada keceriaannya berbagi cerita ini dan itu. Aku tidak peduli apa yang sedang Dee ceritakan, yang tertangkap pada mata ku hanya gerakan mulut Dee saat berbicara, saat mengunyah dengan suara tak jelas masuk ke telingaku.
Pukul delapan malam, kami memutuskan mengakhiri pertemuan, Dee pulang ke rumahnya dan aku berniat pergi ke Kafe dimana Ben bekerja. Aku mengantar Dee sampai tempat dia memarkir mobilnya.