Mohon tunggu...
Firmina Wenni
Firmina Wenni Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sebuah Humanisme yang Dalam Adalah Ateisme

27 Mei 2017   16:05 Diperbarui: 27 Mei 2017   16:21 557
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

        Setiap makhluk hidup di dunia punya sifat yang identik terhadap dirinya. Tumbuhan akan selalu dengan sifat tumbuhannya, hewan akan selalu dengan sifat hewannya dan begitu pun manusia yang akan selalu bersamaan dengan sifat kemanusiaannya. Sifat kemanusiaan ini yang terkadang membuat manusia ingin mengenal isi dan rahasia diri lebih dalam. Kuatnya rasa ingin tahu manusia yang menyebabkan mereka menganggap diri mengetahui segalanya. Itulah humanisme. Dilihat dari hal ini, sebagian besar orang berpendapat bahwa humanisme sebagai istilah lain dari ateisme. Mengapa demikian? Apa sekiranya yang membuat humanisme sangat intim dengan ateisme? Alasannya adalah temuan ilmu hasil pemikiran dan logika manusia. Inilah yang membuat semakin dalam sifat humanisme itu, maka semakin eratlah ia dengan ateisme.

       Humanisme adalah suatu pikiran atau paham yang berfokus hanya pada konsep berperikemanusiaan. Humanisme erat kaitannya dengan kehidupan dan bagaimana seseorang memahami dirinya dan rasa ingin tahu tentang sebuah realita dunia. Karena rasa ingin tahu yang sangat mendalam, hampir semua ilmu yang ditemui di dunia ini pun bertentangan dengan sebuah kepercayaan akan Tuhan. Contoh sederhananya adalah penciptaan bumi. Tentunya kita tahu dan percaya bumi diciptakan Tuhan. Namun, dalam ilmu pengetahuan dan ateisme, bumi sama sekali tidak diciptakan. Bumi telah ada terbentuk sejak dahulu.

       Dalam buku “Philoshophy of Humanism” karya Corliss Lamont, “humanisme adalah suatu jumlah total dari sebuah realitas berupa materi dan bukan pikiran sebagai pembentuk alam semesta dan bahwa entitas supernatural tidak nyata. Ini berarti bahwa manusia tak memiliki jiwa supernatural dan abadi; dan pada tingkat alam semesta, kosmos kita tak memiliki Tuhan yang supernatural dan abadi.” Dalam buku ini, paham humanisme diartikan sebagai suatu kecintaan manusia terhadap diri yang menyebabkan tak terbukanya lagi kepercayaan diri terhadap Tuhan dan keabadianNya.

       Paham humanisme membawa kita pada ateisme semakin terdorong dengan adanya teori Dawin pada tahun 1963 yaitu “Natural Selection” yaitu manusia dapat mempertahankan diri karena mampu melawan kekuatan seleksi dari alam. Siapapun yang kuat bertahan mengatasi proses tersebut, maka akan bertahanlah pula eksistensinya. Hal ini tentunya sangat mempengaruhi cara dan pola pikir sebagian orang untuk mengabaikan keyakinan terhadap Tuhan. Sebagai bukti, di Eropa pada awal abad ke-20 dan Amerika pada pertengahan abad ke-20 telah terjadi penurunan terhadap pencerahan keyakinan pada Tuhan kerena teori ini.

      Dalam uraian di atas, kita dapat simpulkan bahwa humanisme sangatlah erat dengan ateisme yang membuat manusia berpaling dari sang pemilik kepercayaan. Temuan ilmu dan dunia yang semakin maju pun sangat berpengaruh pada pola pikir manusia yang menjadikannya semakin mencari kebenaran dunia dan seluruh rahasia penciptaannya. Menggali diri memang tak pernah salah. Manusia yang mencari sifat kemanusiaan pun tak salah karena ia adalah manusia. Tapi akan salah jika menggali dan mencari sifat sejati kemanusiaan dan mempertanyai hal yang di luar diri seorang manusia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun