Peristiwa keteledoran aparat pengamanan saat pemeriksaan saksi sidang kasus narkoba di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tahun 2004, seorang Hakim bernama Cicut Sutiarso mencurigai benda yang ada di pinggang sebelah kanan saksi pada saat akan melakukan pemeriksaan di ruang sidang perkara a quo . Kecurigaan tersebut membuahkan hasil dengan didapati sepucuk pistol beramunisi lengkap.Â
Disusul tahun 2005 tewasnya seorang Hakim di Pengadilan Agama Sidoarjo akibat luka tusuk sangkur seorang perwira TNI AL berinisial M.I. dalam pembacaan putusan perkara perceraian dengan istri perwira tersebut. Rentetan peristiwa hukum di atas dapat menjadi salah satu dasar atau alasan urgensi pemerataan pengadaan X-ray Security dan Walk Through Metal Detector di seluruh lingkungan peradilan Indonesia.
Regulasi yang mengakomodir dan mengarah pada pengadaan tersebut di Indonesia sebetulnya sudah baik, namun selayaknya misi untuk mewujudkan suatu visi maka butuh sebuah inovasi atau cara bagaimana memaksimalkan suatu norma hukum sebagaimana dalam konteks pidana disebut Politik Hukum Pidana.Â
Norma pada Pasal 4 ayat (2) Perma. No. 5 Tahun 2020 tentang Protokol Persidangan dan Keamanan dalam Lingkungan Pengadilan kemudian Pasal 219 ayat (1) KUHAP secara tegas expressis verbis berbunyi, "Siapapun dilarang membawa senjata api, senjata tajam, bahan peledak atau alat maupun benda yang dapat membahayakan keamanan sidang dan siapa yang membawanya wajib menitipkan di tempat yang khusus disediakan untuk itu".
Menurut Sudarto, salah satu pengertian dari Politik Hukum adalah suatu usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat. Mulder berpendapat bahwa "strafrechtspolitiek" berbicara mengenai garis kebijakan untuk menentukan upaya yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana.Â
Secara umum dapat didefinisikan bahwa politik hukum pidana adalah suatu upaya untuk mencegah kejahatan melalui penegakan hukum pidana yang rasional, memenuhi rasa keadilan dan berdaya guna.
Winda Gustina S.H., Panitera muda Pengadilan Negeri Kelas I.A kota Padang menjelaskan bahwa X-ray Security dan Walk Through Metal Detector pernah digunakan namun tidak secara aktif atau hanya pada persidangan perkara tertentu seperti perkara pembunuhan atau perkara yang berpotensi terjadi kegaduhan.Â
Bagi penulis pernyataan semacam ini mengurangi gairah penegakan hukum di Indonesia. Sudarto mengatakan bahwa upaya pencegahan kejahatan dengan politik hukum pidana pada hakikatnya bernuansa upaya kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy) untuk meraih kesejahteraan sekaligus perlindungan masyarakat pada era modus operandi kejahatan yang beragam. Jadi, dalam definisi "social policy" mengandung "social welfare policy dan social defence policy".
Peluang terjadinya kejahatan tidak "depend on case". Sebut saja pelaku pengeboman atau teroris merupakan musuh negara yang sewaktu-waktu dapat mengancam objek vital negara tersebut dan berpotensi melukai fisik dan psikologis warga negara yang tengah berada di sekitarnya.Â
Berdasarkan ketentuan Pasal 28I ayat (4) UUD. RI. Tahun 1945 bahwa "Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah". Sehingga penulis menilai tidak ada alasan untuk pengadaan X-ray Security dan Walk Through Metal Detector diberlakukan secara pasif.
Pemberlakuan secara aktif merupakan wujud kewajiban negara dalam melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia sebagaimana cita-cita bangsa pada alinea-4 pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.