Mohon tunggu...
Frizka KurniaRahman
Frizka KurniaRahman Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

saya mahasiswa unand ilmu sejarah

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Bahasa Isyarat : Mengakui Pentingnya Komunikasi Inklusif

18 Desember 2024   11:20 Diperbarui: 18 Desember 2024   11:19 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesadaran akan keberagaman dan kebutuhan setiap orang sangat penting untuk menjadi lebih inklusif. Meskipun demikian, komunitas Tuli terus menghadapi berbagai masalah yang sering angdiabaikan. Salah satu masalah penting adalah pengakuan dan dukungan bah asa isyarat sebagai bahasa utama mereka. Bahasa isyarat merupakan bagian penting dari identitas budaya komunitas Tuli selain menjadi alat komunikasi. Oleh karena itu, diperlukan upaya nyata untuk meningkatkan kesadaran dan inklusi bagi penyandang disabilitas Tuli. Pengakuan bahasa isyarat, penghapusan stigma, dan pembentukan masyarakat yang lebih inklusif akan dibahas dalam ulasan ini.

Bahasa isyarat merupakan bagian penting dari budaya dan identitas komunitas Tuli. Itu juga digunakan untuk berkomunikasi. Banyak negara belum menerima pengakuan resmi. Banyak negara belum memberikan pengakuan resmi terhadap bahasa isyarat, yang menghalangi akses komunitas Tuli ke sekolah, pekerjaan, dan layanan publik. Bahasa isyarat merupakan bagian penting dari identitas dan budaya komunitas Tuli. Pengakuan ini adalah bagian dari hak asasi manusia. Kita menghormati hak komunitas Tuli untuk berkomunikasi dalam bahasa mereka sendiri dengan mendukung bahasa isyarat. Salah satu hambatan utama bagi integrasi komunitas Tuli adalah kurangnya akses terhadap penerjemah bahasa isyarat di berbagai aspek kehidupan. Misalnya, ketidakhadiran penerjemah dalam layanan kesehatan dapat menyebabkan kesalahpahaman yang berbahaya.

Bahasa isyarat baik itu secara verbal maupun nonverbal, mencerminkan identitas dan budaya. Misalnya di Indonesia dikenal Bahasa Isyarat Indonesia (Bisindo) dan Sistem Bahasa Isyarat  Indonesia (SIBI). Keduanya dirancang dengan tujuan yang sama: membantu penyandang Tuli berkomunikasi secara efektif. Namun, meski keberadaannya sudah dikenal sejak lama, bahasa isyarat masih sering dianggap sebagai bahasa kelas dua, atau kalah berharga dibandingkan bahasa lisan. Aksesibilitas sangat penting untuk memastikan bahwa penyandang disabilitas pendengaran tidak dirugikan. Sayangnya, mereka masih menghadapi banyak kendala dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya,  penerjemah bahasa isyarat jarang digunakan untuk siaran televisi, konferensi, atau acara publik. Di bidang pendidikan, guru yang memahami bahasa isyarat masih terlalu sedikit sehingga proses belajar mengajar  bagi Tuli  belum optimal. Dalam konteks ini, penting bagi pemerintah dan lembaga publik untuk lebih memperhatikan penyediaan akses lintas platform terhadap bahasa isyarat. Menyediakan penerjemah bahasa isyarat di acara-acara resmi, menambahkan subtitle pada konten media, dan memastikan materi pendidikan ramah terhadap Tuli adalah langkah-langkah kecil yang dapat membawa manfaat besar. Aksesibilitas adalah hak, bukan kemewahan.

Seiring berkembangnya teknologi, berbagai inovasi telah membantu memfasilitasi komunikasi antara teman Tuli dan teman dengar. Aplikasi terjemahan bahasa isyarat, panggilan video (videocall) dengan kemampuan terjemahan real-time, dan teknologi berbasis kecerdasan buatan  semakin populer. Namun teknologi tersebut tidak akan maksimal tanpa  kesadaran dan dukungan  masyarakat luas. Pemanfaatan teknologi ini juga harus dibarengi dengan kebijakan yang menjamin inklusivitas di semua sektor. Pemerintah dapat bekerja sama dengan pakar teknologi untuk mengembangkan platform yang mendukung bahasa isyarat dan membuatnya lebih mudah diakses oleh semua orang.

Sayangnya, bahasa isyarat masih sering diremehkan. Beberapa orang percaya bahwa Tuli harus dipaksa berkomunikasi secara verbal menggunakan  alat bantu dengar atau terapi wicara. Pandangan ini tidak hanya merugikan Tuli, tetapi juga mengabaikan hak mereka untuk menggunakan bahasa yang nyaman dan sesuai dengan identitas mereka. Bahasa isyarat adalah kekuatan, bukan kelemahan. Prasangka ini hanya dapat dihilangkan melalui pendidikan dan kampanye kesadaran. Media mempunyai peran besar dalam mengubah perspektif ini. Menampilkan bahasa isyarat di  televisi, media sosial, dan film dapat membantu menormalkan penggunaannya di  masyarakat.

Membangun masyarakat yang kohesif bukan hanya tanggung jawab para Tuli atau keluarganya, namun tanggung jawab kita semua. Upaya  mempelajari bahasa isyarat merupakan upaya nyata yang bisa dilakukan siapa saja, bahkan dari tingkat dasar sekalipun. Hal ini  membuka ruang komunikasi yang lebih luas dan memungkinkan Tuli merasa lebih diterima. Selain itu, dunia usaha dan organisasi  perlu menjadi lebih inklusif dengan menyediakan lingkungan kerja yang ramah bagi Tuli. Misalnya, dengan menyediakan juru bahasa isyarat atau melatih karyawan untuk lebih memahami komunikasi visual.

Menyadari pentingnya bahasa isyarat adalah bagian dari perjuangan  hak asasi manusia. Ini bukan hanya tentang komunikasi, ini tentang membangun dunia di mana setiap orang diikutsertakan dan dihargai sepenuhnya, terlepas dari kemampuannya. Bahasa isyarat adalah bahasa persatuan, dan inilah saatnya kita semua menggunakan tangan kita untuk membangun masyarakat yang lebih inklusif.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun