Kerabat saya itu hanya satu dari sekian banyak orang yang empatinya seakan mati saat bermedsos. Acara  berkabung pun dijadikan konten. Cengar-cengirlah, senyam-senyumlah, tertawalah,  bahkan yang parahnya ngedance  tepat di depan sosok yang sudah terbujur kaku.
Pernah saya memberi kritik pada postingannya 'tidak wajar' tersebut, tetapi saya malah disemprot balik.
"Skip aja, Kak, kalau nggak suka. Keluarganya aja nggak protes!"
Benar. Untuk menghindari hal-hal aneh seperti itu, cukup dilewatkan saya. Tidak perlu  dilirik. Tetapi kalau  terlalu sering melihat ini, emosian juga kan?
Beretika saat Melayat
Berdukacita atas kematian seseorang merupakan hal yang wajar. Apalagi bila orang tersebut merupakan keluarga atau teman dekat kita. Orang-orang dari berbagai belahan bumi memiliki caranya masing-masing dalam mengekspresikan kesedihan.Â
Di Taiwan, misalnya. Ada istilah yang disebut Putri Berbakti, yaitu orang-orang yang disewa sebagai pengganti keluarga yang berduka. Orang-orang tersebut akan menari, maratap, serta menghangatkan hati para pelayat dan keluarga yang ditinggalkan.
Pada masa Dinasti  Zhou, Tiongkok, terdapat Kitab Etiket dan Kitab Ritus yang merupakan bagian dari ajaran Konfusius. Dalam kitab tersebut, ditetapkan  tentang aturan-aturan perkabungan mulai dari lamanya masa berkabung, makanan, perilaku yang pantas, kondisi hidup, dan pakaian. Orang-orang yang berkabung tidak boleh menyelenggarakan segala macam hiburan.
Orang-orang pada masa Ratu Victoria, tidak boleh menghadiri pesta selama masa berkabung. Bagi anggota keluarga yang ditinggalkan,mesti mengenakan pakaian hitam selama berbulan-bulan.
Masyarakat  Suku Dani di Lembah Baliem  akan memotong jari-jari mereka untuk mengungkapkan betapa sedihnya ditinggalkan oleh orang yang dicintai dan dihormati.Â
Bahkan adat istiadat pun  menjadikan berkabung sebagai sebuah tradisi . Artinya, ada seperangkat aturan dalam adat  yang mengatur tata perilaku masyarakatnya ketika berdukacita. Hal ini dimaksudkan untuk menciptakan masyarakat yang teratur serta beradab.