Menarik sekali menyikapi pertanyaan Prof. Johan Silas mengenai Zero Draft of the New Urban Agenda (NUA) yang dipersiapkan United Nations atau Perhimpunan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai keluaran dari kongres UN HABITAT III bulan Oktober mendatang di Ekuador. Apa yang baru dari NUA ini? Pertanyaan guru besar bidang perkotaan ITS Surabaya yang telah mengikuti perkembangan kongres ini mulai dari UN HABITAT I di Vancouver dan UN HABITAT II di Istanbul ini tentunya merupakan kritikan yang sangat tajam terhadap versi terbaru dari serangkaian dokumen komitmen multinasional terhadap pembangunan kota yang berkelanjutan.
Sebelumnya kita mengenal adanya dokumen Sustainable Development Goals, Paris Agreement on Climate Change, Sendai Framework for Disaster Risk Reduction 2015-2030, dan beberapa dokumen komitmen serupa yang telah secara formal disepakati melalui perjanjian lintas Negara. Di atas kertas dokumen-dokumen tersebut sangatlah ideal. Terlalu ideal malah sehingga akhirnya cenderung diulang-ulang. Bahkan Prof. Bakti Setiawan dari Universitas Gadjah Mada melihat bahwa yang menjadi pendorong utama dari terbitnya dokumen-dokumen komitmen tersebut adalah tidak lain alasan-alasan politis belaka. Karena faktanya komitmen negara-negara tersebut hanya sedikit sekali yang diaktualisasikan ke dalam pembangunan perkotaan baik melalui ratifikasi ke dalam regulasi maupun melalui inovasi dalam implementasi perencanaan dan perancangan kota.
Sebagai warga kota Bandar Lampung yang semakin sering menghadapi permasalahan lingkungan perkotaan tentunya penulis berharap banyak terhadap NUA yang akan diimplementasikan di Indonesia melalui pedoman Agenda Baru Perkotaan Indonesia. Belum lama ini beredar foto yang cukup viral di dunia maya terutama di kalangan warga kota Bandar Lampung tentang kondisi salah satu penggal Jalan Kartini yang penuh sesak oleh kendaraan bermotor. Foto ini cukup mengejutkan dan membuat miris hati warga kota Bandar Lampung yang melihatnya walaupun sebenarnya kondisi tersebut sudah mereka jalani sehari-harinya. Yang terbaru adalah kejadian ketika beberapa waktu yang lalu kota Bandar Lampung diterpa hujan yang cukup deras, yang mengakibatkan kembali terjadinya banjir yang menggenangi beberapa wilayah kota bahkan sampai di atas jalan fly-over! Untungnya, fenomena ini bukan karena genangan air yang sangat tinggi hingga mencapai ketinggian jalan fly-over tersebut, namun lebih disebabkan karena karakter struktur jalan yang lebih rendah di bagian tengah dan saluran pembuangan air hujan yang kurang memadai. Namun kondisi ini tentunya sangat mengganggu jalannya roda kehidupan warga kota dan sangat tidak sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan kota yang berwawasan lingkungan.
Parahnya, sudah menjadi rahasia umum bahwa kondisi seperti ini juga lumrah terjadi di banyak kota-kota lain di Indonesia. Bahkan juga di kota-kota lain di dunia. Dan NUA ini lahir sebagai respon terhadap fenomena global ini. Pada kongres UN HABITAT I tahun 1976 dikemukakan bahwa pada saat itu jumlah penduduk kota mencapai kurang lebih 30% dari total populasi manusia di dunia. Kemudian pada kongres UN HABITAT II tahun 1996, jumlah tersebut meningkat menjadi sekitar 45%. Dan saat ini jumlah tersebut melesat hingga mencapai sekitar 54% dimana Indonesia telah “berhasil” mencapainya lebih dahulu pada tahun 2008. Pertumbuhan penduduk kota ini diperkirakan akan terus meningkat hingga mencapai hampir 70% di tahun 2050. Kalau sudah begini, permasalahan-permasalahan lingkungan yang terjadi akibat kesalahan pengelolaan kota sudah barang tentu akan menjadi permasalahan serius bagi umat manusia di seluruh penjuru dunia.
Ada tiga prinsip utama dalam dokumen NUA yang diharapkan dapat menjadi prinsip pendekatan bersama terhadap permasalah kota global tersebut. Yang pertama adalah prinsip “leave no one behind” yang menyangkut pengentasan kemiskinan dengan menyediakan akses bagi semua, dan mengangkat budaya, keberagaman dan keamanan, serta mendorong peran serta dan kualitas kehidupan seluruh lapisan masyarakat tanpa terkecuali. Kemudian prinsip yang kedua adalah “achieve prosperity and inclusive urban proseperity and opportunities for all”, dengan mewujudkan kota yang berketahanan, pola konsumsi dan produksi seimbang, dan mengupayakan agar jangan sampai kota berkembang dengan mengkonvesi lahan pertanian dan akibatnya menurunkan produksi beras yang menganggu ketahanan pangan. Prinsip yang terakhir adalah “foster ecological and resilient cities and human settlements” yang diterjemahkan sebagai upaya menjaga ekosistem dan biodiversity di lingkungan perkotaan sambil meningkatkan proses adaptasi dan mitigasi terhadap dampak perubahan iklim sejalan dengan peningkatan ketahanan fisik dan ekonomi perkotaan.
Secara garis besar, NUA pun telah membahas banyak tema dengan isu-isu terkait di dalamnya. Tema kohesi sosial mencakup isu-isu seperti: kota inklusif, migrasi dan pengungsi di area perkotaan, kota yang lebih aman, dan budaya dan pusaka perkotaan. Tema yang lain yaitu tata kelola perkotaan mencakup isu-isu antara lain: peraturan dan regulasi perkotaan, tata kelola dan keuangan pemerintahan. Selanjutnya dibahas juga mengenai tema pengembangan spasial atau struktur ruang kota berkaitan dengan isu-isu perencanaan dan penataan ruang perkotaan, lahan perkotaan, keterkaitan kota dengan desa, dan ruang publik. Tema ekonomi perkotaan menyinggung tentang perkembangan ekonomi setempat, lapangan pekerjaan dan mata pencaharian serta sektor informal. Tema ekologi dan lingkungan perkotaan juga dibahas termasuk penyediaan sumber daya alam, urban resilience, dan perubahan iklim. Tema besar tentang permukiman perkotaan dan pelayanan dasar, transportasi dan mobilitas perkotaan, serta infrastruktur dan pelayanan dasar menjadi bagian yang tak kalah penting dalam NUA ini.
Dalam pembahasan isu-isu tersebut sebenarnya ada beberapa rumusan yang memang relevan dan kontekstual dengan apa yang terjadi di kota-kota di Indonesia. Seperti misalnya dalam tema pengembangan spasial perkotaan, ada rumusan yang menyatakan komitmen dalam perencanaan kota dan wilayah yang berdasarkan prinsip efisiensi penggunaan lahan, compactness, kepadatan yang cukup, dan konektivitas. Yang lain misalnya dukungan terhadap perencanaan dan penyusunan anggaran yang participatory, pengawasan berbasis masyarakat, dan penginisiasian bentuk kerjasama langsung antara institusi pemerintahan kota dengan elemen masyarakat. Fenomena ini yang mulai berkembang di kota-kota di Indonesia umumnya dan di Lampung pada khususnya dengan meningkatnya keterlibatan komunitas-komunitas warga dalam segala bentuk kepedulian terhadap kotanya. Satu lagi misalnya pengembangan kawasan kota metropolitan yang terdiri beberapa kota seperti yang sekarang diwacanakan antara kota Bandar Lampung dengan kota-kota lain di sekelilingnya, yang harus mensinergikan dan menginteraksikan kota-kota tersebut. Disini kalau kita menelaah kata “sinergi” dan “interaksi” berarti pendekatannya adalah timbal balik yang mana tiap kota mempunyai posisi tawar yang sama sebagai mitra kerja. Bukan lagi pendekatan kota pusat dan kota pendukung.
Namun sesungguhnya tidak sedikit juga pembahasan yang kurang sesuai dengan konteks ke-Indonesia-an. Misalnya pemisahan antara bentuk urban dan rural yang sesungguhnya karakter ruang kota-kota di Indonesia tidak se-definitif karakter ruang kota-kota Barat. Dan jika kita lihat pembahasannya yang mencakup banyak tema yang disebutkan di atas, dengan “hanya” dalam 175 paragrafnya, NUA memikul tanggung jawab yang sangat besar. Karena sesungguhnya banyak dari tema-tema di atas yang berkarakter lintas sektoral, sedangkan pendekatan NUA sebenarnya secara parsial yang ditekankan pada konteks permukiman dan perumahan sesuai dengan fokus utama kongres UN HABITAT itu sendiri. Kontradiksi ini yang menjadi ganjalan pertama dalam memahami pasal per pasal di zero draft ini. Prof. Bakti Sektiawan juga mengemukakan pokok permasalahan mendasar yang lain dari NUA ini yaitu keberpihakannya terhadap pembangunan yang capital-driven atau dengan kata lain terfokus pada pertumbuhan ekonomi. Sebagai contoh pada tema perencanaan kota, infrastruktur yang akan dikembangkan adalah infrastruktur yang memicu produktivitas ekonomi, meningkatkan pertumbuhan wilayah, dan menghubungkan kawasan urban, peri-urban, dan rural. Dengan rumusan seperti ini maka indikator pencapaian utamanya adalah perhitungan dalam angka-angka berupa pendapatan dan pengeluaran. Tidak ada bedanya dengan konsep yang ada sejak zaman Revolusi Industri dulu.
Saat ini dokumen Zero Draft of the New Urban Agenda ini sesunggguhnya masih sedang dalam tahapan “penggondokan”. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (KEMENPUPERA) Republik Indonesia telah melaksanakan rangkaian diskusi dan pembahasan bersama pakar dan praktisi perkotaan selama periode April-Mei 2016, yang bertujuan untuk merumuskan masukan yang relevan dengan kondisi perkotaan Indonesia. Adapun targetnya adalah menghasilkan rumusan final yang akan ditetapkan pada kegiatan PrepCom 3 UN HABITAT yang akan diselenggarakan di Surabaya pada tanggal 25-27 Juli 2016 yang akan datang. Besar harapan penulis agar NUA ini dapat disinkronisasi dengan kondisi yang riil di Indonesia khususnya dan juga di negara-negara lain pada umumnya. Namun “pekerjaan rumah” besar yang menanti selanjutnya adalah bagaimana implementasi, dan mungkin sebelum itu, adopsi komitmen ini ke dalam bentuk regulasi dan perencanaan kota kita yang masih carut-marut dan tanpa didasari oleh pemetaan dan pendataan yang menyeluruh dan lengkap. Alhasil belum tentu juga dengan dihasilkannya NUA ini di UN HABITAT III nanti, permasalahan transportasi dan mobilitas perkotaan serta bencana banjir di kota kita Bandar Lampung tercinta ini akan serta merta terpecahkan. Namun paling tidak kita sudah berkomitmen. Selanjutnya terserah Anda (baca: warga kota).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H