Mohon tunggu...
Fristian Setiawan
Fristian Setiawan Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Sapere aude

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Membongkar Kata "Durhaka" Seorang Anak Terhadap Orang Tuanya

29 Februari 2024   13:04 Diperbarui: 29 Februari 2024   13:10 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

"Jangan jadi anak durhaka ya". Istilah tersebut mungkin kerap kali terdengar ketika ada seorang anak yang memperlakukan orang tuanya dengan tidak mengindahkan struktur norma yang berlaku di mana ia berada.

Sadar atau tidak, istilah tersebut pada dasarnya sangat erat dengan relasi kuasa. Pernahkah kita mendengar istilah sebaliknya diucapkan oleh seorang anak kepada orang tuanya? "Jangan jadi orang tua durhaka ya". Mungkin istilah tersebut terdengar lebih durhaka daripada seorang anak yang durhaka tanpa menyebut orang tuanya durhaka. 

Keputusan untuk memiliki seorang anak bukanlah keputusan "by request" dari anak tersebut. Dalam hal ini, orang tualah yang secara penuh harus menyadari betul tanggung jawabnya ketika memutuskan untuk memiliki anak dan ingin melihatnya hidup sebagai seorang manusia. 

Dalam salah satu akun di media sosial, ditemukan sebuah video yang berisi pesan bahwa "dua anak buang ayah ke panti jompo, berpesan tak usah dikabari jika wafat: langsung kubur". 

Penggunaan kata "buang ayah" saja sudah menunjukkan relasi kuasa. Seakan-akan perbuatan seorang anak yang menempatkan ayahnya di panti jompo adalah perilaku membuang orang tua. Lantas bagaimana dengan fenomena adopsi anak? Apakah orang tua yang memberikan anaknya untuk dirawat oleh orang tua lainnya bukan merupakan perilaku membuang seorang anak? Mengapa dalam setiap hal selalu yang disalahkan adalah anak? Bukan orang tua? 

Perlu disadari, sebelum membaca lebih jauh. Tulisan ini bukan dibuat dengan intensi mempersuasi setiap anak yang membaca agar menjadi anak-anak pembangkang terhadap orang tuanya. Lebih jauh, tulisan ini dibuat dengan harapan membuka cakrawala pemikiran setiap anak yang masih percaya dengan "kedurhakaan sistemik" ini. 

Kembali lagi ke topik kajian, saya menemukan setidaknya enam komentar dari video tersebut dengan jumlah like terbanyak menentang perbuatan yang anak tersebut lakukan. Berbagai macam komentar bernada mengumpat terlihat dalam komentar tersebut, mulai dari "dasar anak gak tau diri", "inilah anak-anak yang belum memahami azab", dan lain sebagainya.

Artinya, masih banyak orang-orang yang menyetujui perspektif "anak selalu salah, kalau orang tua salah, maka anaknya lebih salah". Fenomena ini tentu menjadi masalah, setidaknya inilah yang menjadi kegelisahan saya menyikapi upaya langgeng-nisasi relasi kuasa mulai dari media sosial.

Pernahkah Anda, sebagai orang tua berpikir "bagaimana jika anak saya tidak merasa bahagia setelah kami melahirkannya ke dunia ini?" Atau jangan-jangan selama ini Anda hanya mengikuti nafsu badani saja dengan implikasi memiliki anak yang entah akan mengalami kebahagiaan/tidak. 

Tentu solusi atas pertanyaan pertama adalah persiapan yang matang dari kedua orang tua baik dalam segi pikiran, mental, materi, dan kemampuan yang mumpuni dalam memanusiakan seorang anak.

Maka, saya memiliki perspektif menarik dalam menyikapi fenomena semacam ini. Perspektif pertama adalah melalui POV seorang anak. Jika kalian seorang anak yang sering putus asa dan merasa tidak berguna, atau berdosa karena mengalami hal yang serupa dengan yang dijelaskan di atas, ingatlah bahwa eksistensi kalian di muka bumi ini bukan atas tanggung jawab kalian. Melainkan orang tua kalian yang semestinya harus bertanggung jawab akan hal tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun