"Jangan jadi anak durhaka ya". Istilah tersebut mungkin kerap kali terdengar ketika ada seorang anak yang memperlakukan orang tuanya dengan tidak mengindahkan struktur norma yang berlaku di mana ia berada.
Sadar atau tidak, istilah tersebut pada dasarnya sangat erat dengan relasi kuasa. Pernahkah kita mendengar istilah sebaliknya diucapkan oleh seorang anak kepada orang tuanya? "Jangan jadi orang tua durhaka ya". Mungkin istilah tersebut terdengar lebih durhaka daripada seorang anak yang durhaka tanpa menyebut orang tuanya durhaka.Â
Keputusan untuk memiliki seorang anak bukanlah keputusan "by request"Â dari anak tersebut. Dalam hal ini, orang tualah yang secara penuh harus menyadari betul tanggung jawabnya ketika memutuskan untuk memiliki anak dan ingin melihatnya hidup sebagai seorang manusia.Â
Dalam salah satu akun di media sosial, ditemukan sebuah video yang berisi pesan bahwa "dua anak buang ayah ke panti jompo, berpesan tak usah dikabari jika wafat: langsung kubur".Â
Penggunaan kata "buang ayah" saja sudah menunjukkan relasi kuasa. Seakan-akan perbuatan seorang anak yang menempatkan ayahnya di panti jompo adalah perilaku membuang orang tua. Lantas bagaimana dengan fenomena adopsi anak? Apakah orang tua yang memberikan anaknya untuk dirawat oleh orang tua lainnya bukan merupakan perilaku membuang seorang anak? Mengapa dalam setiap hal selalu yang disalahkan adalah anak? Bukan orang tua?Â
Perlu disadari, sebelum membaca lebih jauh. Tulisan ini bukan dibuat dengan intensi mempersuasi setiap anak yang membaca agar menjadi anak-anak pembangkang terhadap orang tuanya. Lebih jauh, tulisan ini dibuat dengan harapan membuka cakrawala pemikiran setiap anak yang masih percaya dengan "kedurhakaan sistemik" ini.Â
Kembali lagi ke topik kajian, saya menemukan setidaknya enam komentar dari video tersebut dengan jumlah like terbanyak menentang perbuatan yang anak tersebut lakukan. Berbagai macam komentar bernada mengumpat terlihat dalam komentar tersebut, mulai dari "dasar anak gak tau diri", "inilah anak-anak yang belum memahami azab", dan lain sebagainya.
Artinya, masih banyak orang-orang yang menyetujui perspektif "anak selalu salah, kalau orang tua salah, maka anaknya lebih salah". Fenomena ini tentu menjadi masalah, setidaknya inilah yang menjadi kegelisahan saya menyikapi upaya langgeng-nisasi relasi kuasa mulai dari media sosial.
Pernahkah Anda, sebagai orang tua berpikir "bagaimana jika anak saya tidak merasa bahagia setelah kami melahirkannya ke dunia ini?" Atau jangan-jangan selama ini Anda hanya mengikuti nafsu badani saja dengan implikasi memiliki anak yang entah akan mengalami kebahagiaan/tidak.Â
Tentu solusi atas pertanyaan pertama adalah persiapan yang matang dari kedua orang tua baik dalam segi pikiran, mental, materi, dan kemampuan yang mumpuni dalam memanusiakan seorang anak.
Maka, saya memiliki perspektif menarik dalam menyikapi fenomena semacam ini. Perspektif pertama adalah melalui POV seorang anak. Jika kalian seorang anak yang sering putus asa dan merasa tidak berguna, atau berdosa karena mengalami hal yang serupa dengan yang dijelaskan di atas, ingatlah bahwa eksistensi kalian di muka bumi ini bukan atas tanggung jawab kalian. Melainkan orang tua kalian yang semestinya harus bertanggung jawab akan hal tersebut.