Jackie Chan, nama seorang pemain film legendaris yang sangat terkenal di dunia ini. Salah satu film terbarunya, yang berjudul "Ride On" menarik perhatian saya pada saat iklan film tersebut masih ditayangkan di bioskop. Tak lama setelah hari itu, film "Ride On" tayang di Bioskop Indonesia. Saya tertarik menontonnya karena memang film-film Jackie Chan merupakan film favorit saya sejak kecil. Namun ada sedikit interpretasi yang berbeda jika dibandingkan dengan saya pada saat kecil. Dulu, saya hanya melihat film-film Jackie Chan dari sisi hiburan, dan ketegangannya. Berbagai macam aksi dilakukan seolah Jackie memiliki sembilan nyawa. Tak seperti sekarang, saya bisa melihat film "Ride On" dari sudut pandang yang lebih besar.Â
Dalam film Ride On, Master Luo (Jackie Chan) memerankan sosok yang altruistik. Master Luo disebut selalu memperhatikan orang-orang di sekelilingnya, tanpa peduli dengan kesusahan yang ia sedang alami. Bahkan dalam salah satu dialognya, Master Luo sendiri yang menyebutkan bahwa "Jika melihat orang lain senang, saya juga ikut senang", kira-kira seperti itu intinya. Namun yang menarik adalah, dibalik sikap altruisme yang Master Luo tunjukkan. Ternyata Master Luo juga memiliki sisi egoisnya sebagai manusia.
Master Luo "memanfaatkan" kuda kesayangannya untuk dapat bermain film dengannya sebagai seorang 'pemain pengganti'. Meski terkesan tak berperi kemanusiaan, sebetulnya Master Luo sangat menyayangi kudanya. Â Terbukti dari caranya memberi makan setiap hari, berbicara layaknya seorang ayah dan anak, dsb. Mirisnya, film-film yang dimainkan oleh Master Luo dan kuda kesayangannya tersebut merupakan film-film dengan adegan yang berbahaya. Tak jarang Red Hare (nama kuda kesayangan Master Luo) mendapatkan latihan keras layaknya seorang murid kungfu oleh Master Luo. Semua itu dilakukan Master Luo demi kehormatan, dan kebanggaan menjadi seorang pemain pengganti. "Semangat seorang pemain pengganti", begitu kira-kira ungkapannya saat ditanya mengapa mau melakukan adegan-adegan berbahaya dalam filmnya?Â
Di pertengahan film, Xiao Bao, anak Master Luo sempat menegur keras ayahnya perihal keegoisannya terhadap kehormatan dan kebanggaan sebagai seorang pemain pengganti. Bao menegur sang ayah karena Bao khawatir Red Hare akan sakit jika terus menerus dipaksa berlatih keras oleh ayahnya. Di sisi lain, Bao juga mengingatkan bahwa Red Hare sebetulnya hanya seorang anak yang ingin membuat ayahnya bahagia. Jadi Red Hare belum tentu benar-benar menyukai adegan-adegan berbahaya yang selama ini diperankan olehnya.Â
Fenomena ini sebetulnya dapat kita lihat juga di kehidupan sehari-hari. Seringkali kita mengaku bahwa kita lebih senang melihat orang lain bahagia, daripada mengutamakan kebahagiaan kita sendiri. Namun tanpa sadar kita mungkin lupa bahwa di sisi lain kita sering memanfaatkan berbagai macam cara untuk mendapatkan tujuan pribadi kita. Entah untuk kehormatan, kebanggaan, kesenangan, apapun alasannya yang pasti kita luput dari semangat altruisme di awal tadi.
Ini sesuai dengan apa yang dijelaskan oleh Jean Paul Sartre dalam filsafat eksistensialismenya. "Manusia dikutuk untuk bebas", begitu kira-kira salah satu adagium terkenal milik Sartre. Bagaimanapun kita berusaha menjelaskan bahwa kita altruis, tidak ada halangan yang bisa membatasi untuk kita menerobos pagar-pagar altruistik tersebut. Karena pada dasarnya kita bebas untuk melakukan apapun yang kita mau, selama kita siap menerima konsekuensi dari tindakan kita tersebut.Â
Manusia tidak memiliki batas untuk dapat bersikap egois, meski berlawanan dengan sikap altruis yang digaungkan sejak awal. Bukan berarti bahwa egois itu salah, tulisan ini tidak bermaksud memberi nilai terhadap kedua terminologi ini. Yang perlu kita sadari adalah, bahwa jangan terlalu cepat mendaku altruistik selama kita masih berperan sebagai manusia. Karena bagaimanapun juga, jika dilihat dari kaca mata yang lebih luas, tidak mungkin ada manusia yang secara utuh benar-benar altruistik. Kecuali jika altruisme ini hanya dilihat dari sudut pandang yang parsial (baca: per kejadian).
Lantas, pertanyaan yang dapat kita refleksikan sekarang adalah; bagaimana kita bisa menyadari bahwa hari ini kita masih hidup sebagai manusia? Apakah kita sudah cukup "bebas" sebagai seorang manusia? Sudah siapkah kita dalam menerima segala konsekuensi dari kebebasan yang kita miliki? Tak lupa, mengapa kita bisa bebas? Semoga kita semua terpancing untuk merefleksikan hakikat dari manusia dan kemanusiaan yang kita miliki masing-masing. Altruis/egois, lagi-lagi hanya sebuah konsep kecil yang menjadi penyusun-penyusun dari besarnya puzzle teka-teki hakikat dan definisi manusia secara utuh. Jangan lupa merenung, salam kebijaksanaan!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H