Istilah eksistensi mungkin tak terlalu terdengar asing bagi kita kaum intelektual. Istilah ini pada awalnya mulai dikenal di telinga publik sebagai sinonim dari kehadiran/keberadaan. Dalam dunia filsafat istilah ini mulai naik daun setidaknya setelah Jean Paul Sartre --sebagai salah satu filsuf eksistensialisme---berbagi pemikiran-pemikiran luar biasanya. Dalam kesempatan kali ini, penulis ingin membagikan pemikiran tentang bagaimana dampak dari eksistensi internet itu ternyata mempengaruhi krisis eksistensialisme seseorang.
Kita mulai dari pertanyaan seperti ini, "bisakah keceriaan yang Anda bagikan di Instagram itu sama persis Anda bagikan juga di kehidupan luar Instagram?" Atau, "bisakah kesedihan yang Anda bagikan di Instagram itu Anda tunjukkan juga persis di kehidupan luar Instagram?". Pertanyaan-pertanyaan itu tadi sebetulnya mengarah pada satu titik persoalan yang sama, yakni adakah aktivitas Anda di Instagram itu Anda lakukan karena Anda melakukan hal yang sama dari kehidupan di luar Instagram? Atau jangan-jangan selama ini Anda berperilaku demikian di Instagram hanya sekadar untuk memenuhi kebahagiaan semu yang dapat Anda rasakan dari keterlelapan Anda dalam Instagram sebagai salah satu model dunia digital? Karena belum tentu kesenangan-kesenangan yang Anda bagikan dalam Instagram itu sesuai dengan kesenangan yang memang Anda rasakan di dunia luar Instagram. Begitupun dengan kesedihan-kesedihan yang Anda bagikan di Instagram belum tentu sesuai dengan kesedihan yang Anda rasakan di dunia luar Instagram.
Jean Paul Sartre, dalam biografinya dicatat bahwa titik tolak filsafat eksistensialismenya adalah dari keberadaan orang lain --yang dikatakan sebagai tatapan mata dari yang lain (ma chute originelle, c'est l'existence de l'autre)---yang mengawali kejatuhannya dalam krisis eksistensialisme. Yang menarik adalah, Sartre kemudian dapat terlepas dari krisis eksistensialismenya tersebut dari aktivitasnya membaca dan menulis berbagai macam buku. Terungkap dalam kalimat "Melalui membaca, semakin kuat ia berimajinasi dan berkhayal. Melalui menulis, ia mempunyai kuasa penuh untuk menciptakan dunianya sendiri" (Khusna, 2020, h. 17).
Aktivitas Sartre dalam membaca dan menulis buku di zamannya bisa kita lihat sebagai sebuah pola manusia dalam mencari kesenangan/kebahagiaan semunya melalui hal-hal eksternal di luar dirinya. Di zaman sekarang, aktivitas membaca dan menulis tersebut dapat diganti dengan aktivitas berselancar dalam Instagram, atau media-media sosial lainnya. Jika di zaman Sartre hidup saja aktivitas membaca dan menulis buku bisa dijadikan pilihan untuk mendapatkan kesenangan semu itu tadi, --walau dengan opsi-opsi yang terbatas, setidaknya tidak sebanyak opsi yang dihadirkan Instagram---terlebih lagi di zaman sekarang Anda bisa merasakan kesenangan semu yang semakin semu yang dihadirkan Instagram melalui beragamnya opsi-opsi menarik yang dapat kita klik/akses.
Namun sebetulnya ada satu celah menarik yang dapat menjadi pintu masuk kritik atas filsafat eksistensialisme Sartre. Celah tersebut terletak dari upaya Sartre dalam "menghapus krisis eksistensialismenya" melalui aktivitas membaca dan menulis buku. Justru, aktivitas membaca dan menulis buku itulah yang sebetulnya menjadi poin utama Sartre dikatakan mengalami krisis eksistensial. Begitu juga dengan Anda di zaman sekarang, jika seringkali Anda berkata, "Saya menggunakan Instagram, saya bermain Instagram itu karena saya ingin terbebas dari krisis eksistensialisme yang saya rasakan di kehidupan luar Instagram". Sesungguhnya aktivitas menggunakan Instagram itu sendirilah yang menjadi ciri utama Anda mengalami krisis eksistensialisme.
Seperti yang ditulis dalam salah satu jurnal, bahwa manusia modern nampaknya semakin kehilangan unsur keinsaniannya karena telah menggantungkan dirinya pada eksistensi kebendaan yang bersifat relatif (Fauhatun, 2020, h. 4). Ini sejalan dengan pembahasan sebelumnya bahwa memang yang seringkali tak disadari manusia modern adalah, mereka beranggapan bahwa mereka dapat lepas dari krisis eksistensialisme dengan tenggelam dalam dunia Instagram maupun media sosial lainnya. Namun mereka tak sadar bahwa sebetulnya dunia Instagram sendiri merupakan sesuatu yang bersifat relatif, dalam arti tidak bisa memberikan kebahagiaan yang pasti dan nyata pada manusia. Juga sebetulnya, semakin manusia beraktivitas dalam Instagram dengan embel-embel agar lepas dari krisis eksistensialismenya, semakin besar terlihat bahwa manusia tersebut sedang mengalami krisis eksistensialisme.
Mengapa penulis katakan "sedang mengalami"? Karena bagaimanapun juga, krisis eksistensialisme tak akan bertahan selamanya. Krisis eksistensialisme yang dirasakan manusia merupakan wujud dari satuan-satuan aktual yang senantiasa mengkonkresikan hidup manusia tersebut menjadi suatu datum, untuk kemudian dapat mengalami kepenuhan (Sudarminta, 1991, h. 36-37), lalu terus berulang dari awal lagi hingga manusia tersebut meninggal dunia.
Satu hal yang perlu diingat adalah bahwa aktivitas-aktivitas Anda di Instagram atau apapun bentuk media sosialnya, sesungguhnya hanyalah transisi dari krisis eksistensialisme nyata ke dalam krisis eksistensialisme yang lebih kabur dari sebelumnya. Maka, upaya-upaya yang Anda lakukan untuk menghilangkan krisis eksistensialisme itu sesungguhnya sia-sia belaka. Biarkan krisis eksistensialisme menemukan pintu keluarnya sendiri. Jangan terlalu dipaksakan untuk keluar dari diri Anda dengan cara bermain Instagram setiap hari dst dst. Mulailah untuk dapat belajar bahwasanya kehadiran teknologi, kehadiran internet, kehadiran media sosial itu berguna untuk memberikan perspektif yang berbeda pada Anda dalam melihat dunia. Bukan justru kemudian menjajah Anda dalam ketidaksadaran lalu dibarengi dengan embel-embel "inilah caraku untuk terlepas dari krisis eksistensial".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H