Mohon tunggu...
Fristian Setiawan
Fristian Setiawan Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Sapere aude

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Toleransi, Bermanfaat atau Justru Berbahaya?

31 Desember 2021   22:00 Diperbarui: 31 Desember 2021   22:20 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Toleransi itu penting loh, ayo belajar toleransi, bertoleransi itu bekal bagi masa depan yang sangat berharga. Mungkin kalimat-kalimat tadi sudah tak jarang didengar oleh kita selama ini. Begitupun dengan saya. Kurang lebih selama 20 tahun ini saya diajari untuk selalu menerapkan prinsip toleransi dalam menjalin relasi dengan sesama. Mungkin Anda juga demikian. Dan memang, sekilas prinsip toleransi ini terasa penting bagi standar terciptanya relasi yang harmonis. Sebagai contoh, untuk menciptakan relasi yang harmonis antar umat beragama, perlu ditanamkan prinsip toleransi. Salah satu bentuk implementasi konkretnya adalah, ketika ada upacara ibadah agama tertentu, hendaknya golongan masyarakat dari agama lain bisa menghormati ibadah tersebut dengan tidak membuat keributan di sekitar tempat ibadah, atau justru saling mengingatkan kepada sahabat-sahabat yang berbeda agama ketika sudah waktunya mereka menjalankan ritual ibadahnya. Atau toleransi yang ditinjau dari sisi usia. Mungkin bagi anak-anak usia 3-6 tahun masih sangat wajar apabila ketika mereka buang air, masih harus diceboki oleh orangtuanya. Lain halnya dengan seorang bapak-bapak yang katakanlah usianya sudah mencapai 35-40 tahun, namun kebiasaannya masih suka diceboki ketika buang air. Meski demikian, kita cenderung tidak bisa menyalahkan anak kecil yang diceboki karena ada batasan 'toleransi'. Istilah yang biasanya muncul adalah, 'ya harus bisa ditolerir dong, namanya juga anak kecil'.

Namun pertanyaannya, apakah betul menanamkan prinsip toleransi ini penting dan bermanfaat bagi syarat terciptanya kehidupan yang harmonis nan rukun? Atau jangan-jangan, dengan adanya toleransilah justru permasalahan-permasalahan itu sejatinya tercipta? Mari kita dedah terlebih dahulu dari istilah toleransi itu sendiri. Apa itu toleransi? Toleransi menurut saya adalah sebuah prinsip hidup, atau pemikiran yang menganggap perbedaan itu merupakan kacamata yang harus digunakan agar kita dapat saling menghormati satu sama lain. Atau, bahasa lainnya adalah toleransi hanya akan lahir apabila ada perbedaan antar satu makhluk hidup (manusia) dengan makhluk hidup (manusia) lainnya. Jadi sampai sini jelas, kata kuncinya disini adalah perbedaan. Entah itu perbedaan agama, suku, ras, warna kulit, sifat, sikap, gaya hidup, dan lain sebagainya. Karena tanpa perbedaan, sejatinya tidak akan lahir istilah toleransi.

Dengan demikian, selama manusia menggunakan istilah toleransi, selama itulah manusia masih menggunakan perspektif perbedaan. Sadar atau tidak, masalah itu lahir karena ada perbedaan. Perbedaan sudut pandang akan melahirkan kubu-kubu tertentu yang berpotensi menghasilkan masalah antar kubu. Perbedaan gaya hidup akan melahirkan masalah kelas ekonomi. Perbedaan agama akan melahirkan konflik lintas agama. Dan seterusnya dan seterusnya.

Jadi, di satu sisi memang toleransi seolah-olah berguna untuk "mengatasi perbedaan". Namun di sisi yang lain justru perbedaan itu akan semakin diingat kuat dengan adanya istilah toleransi. Lantas apa jadinya bila kita mengganti istilah toleransi dengan istilah lain yang tidak mempostulatkan perbedaan? Tentu implikasinya masalah-masalah bisa diminimalisir semaksimal mungkin. Mari kita coba ganti istilah toleransi ini menggunakan istilah "human being perspective". Artinya, mari kita mulai berusaha melihat orang lain dari hakikat manusia dan kemanusiaannya semanusiawi mungkin. Apa maksudnya? Maksudnya, kita tidak lagi memaklumi kesalahan orang lain karena perbedaan yang melekat di orang itu dengan diri kita. Namun justru kita sudah bisa memaklumi kesalahan orang lain karena pada hakikatnya seorang manusia yang berkemanusiaan semanusiawi mungkin itu tidak akan pernah lepas dari kesalahan. 

Cobalah untuk menggeser kacamata perbedaan yang selama ini kita kenakan. Mulai gunakan kacamata hakikat manusia ini agar kita juga dapat belajar bahwa menjadi manusia itu merupakan proses menjadi suatu entitas yang mengkonkresi -bila meminjam bahasanya Whitehead- satuan-satuan aktual hingga mencapai suatu datum. Satuan-satuan aktual tersebut tentu tidak berisi hal-hal positif saja. Melainkan hal-hal negatif pun turut serta mengkonkresikan entitas kita sebagai manusia yang berproses. Inilah yang perlu kita sadari sejak dini. Bukan untuk menafikan perbedaan yang dimiliki manusia satu dengan manusia lain. Tapi justru untuk tidak mementingkan perbedaan tersebut sebagai suatu syarat agar kita dapat menghormati/memaklumi orang lain. 

Dengan melihat orang lain berdasarkan perspektif hakikat manusia dan kemanusiaan yang semanusiawi mungkin, niscaya kita dapat meminimalisir terjadinya masalah-masalah yang lahir akibat perspektif perbedaan yang selama ini dikenakan oleh manusia. Mari belajar menjadi manusia, mari belajar memandang kesalahan sebagai suatu keindahan yang dimiliki oleh setiap insan di dunia ini. Salam kebijaksanaan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun