Mohon tunggu...
Fristian Setiawan
Fristian Setiawan Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Sapere aude

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Meneropong Ulang Makna "Bucin" di Tengah Era Dromologi

24 Desember 2021   23:54 Diperbarui: 25 Desember 2021   00:04 417
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bucin, sebuah terminologi yang seringkali dianggap biasa saja, bahkan terkadang menjadi suatu keharusan bagi sepasang kekasih yang ingin dikategorikan sebagai pasangan yang romantis. Namun, sebetulnya apa itu bucin? Bagaimana kita memaknai bucin hari-hari ini? Haruskah setiap pasangan menerapkan prinsip bucin dalam relasi terhadap pasangannya? Kita akan membahas hal-hal tersebut dalam tulisan ini. 

Sebelum kita membahas apa itu bucin dan bagaimana seharusnya kita memaknai bucin hari-hari ini, mari kita lihat terlebih dahulu hubungan antara bucin dengan dromologi. Dromologi adalah sebuah konsep pemikiran yang dicetuskan oleh salah seorang filsuf asal Prancis bernama Paul Virilio. Konsep ini tercatat dalam salah satu buku Virilio yang berjudul Speeds and Politics (2006) dan memiliki arti tentang sebuah kondisi dimana orang-orang bergerak secara independen dan "terpenjara" dalam sebuah dunia yang serba cepat (Virrilio, 2006, p. 8). Atau jika disederhanakan, artinya kurang lebih bahwa agaknya manusia yang hidup di zaman post-modern ini sudah tak lagi mempertimbangkan aspek kebenaran dari suatu informasi, karena manusia sudah terlalu terobsesi dengan kecepatan. 

Lalu mungkin sebagian dari kita bertanya, apa salahnya terobsesi dengan kecepatan? Terobsesi dengan kecepatan sesungguhnya tidak menjadi masalah selama dalam kecepatan, manusia masih bisa mengimbanginya dengan merefleksikan aspek-aspek kebenaran dari setiap informasi yang diterimanya, salah satunya dalam memaknai terminologi bucin itu sendiri. 

Relasi antara dromologi dengan terminologi bucin dapat dilihat dari semakin berkembangnya teknologi informasi komunikasi hari-hari ini. Media sosial, sebagai bentuk nyata perkembangan teknologi informasi komunikasi tak bisa dipungkiri sudah menjadi lahan yang tepat bagi pertumbuhan informasi-informasi palsu, dan informasi-informasi yang memiliki ideologi tersembunyi. Melalui media sosial, terminologi bucin berkembang pesat dan mungkin sudah dipahami oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Inilah yang menjadi masalah. Mari kita periksa sebetulnya apa yang dimaksud dengan bucin dan bagaimana seharusnya kita memaknai ulang terminologi yang satu ini ditengah kecepatan yang kian hari kian melesat menembus batas-batas ruang kehidupan manusia.

Bucin terdiri dari dua kata, 'budak' dan 'cinta'. Budak bisa berarti anak, atau bisa juga berarti hamba (menghamba, diperhamba, dsb). Kemudian cinta, cinta itu artinya segala sesuatu yang berkaitan dengan memberi. Memberi waktu, memberi tenaga, memberi biaya, dan memberi hal-hal lain kepada orang yang kita cintai. Mungkin sebagian dari kita meragukan hal ini. Apa betul cinta itu artinya memberi? Mari kita buktikan dengan contoh imajiner. Orangtua yang memutuskan pilihannya untuk menikah, itu didasari oleh cinta. Cinta ini bisa dilihat dari pasangan lelaki dan wanita yang sama-sama memberikan waktunya untuk mengikuti serangkaian proses upacara pernikahan, dan pasangan lelaki yang harus siap memberi nafkah kepada istri dan juga calon anak-anaknya kelak, lalu pasangan wanita yang harus siap memberikan tenaga dan waktu untuk mengurus buah hatinya, lalu kedua orangtua tersebut harus bekerja sama sebaik mungkin agar bisa memberikan kehidupan yang terbaik bagi buah hatinya kelak ketika dia beranjak semakin dewasa, dsb dsb. Dari contoh-contoh tadi, satu kata kunci yang sama adalah tentang memberi. Bagaimana seseorang dapat mencintai dengan baik itu bisa diukur dari seberapa banyak pemberian yang sudah dia lakukan baik itu soal materi, kognisi, afeksi, dan konasi kepada orang yang dicintainya.

Sampai sini jelas bahwa cinta itu pada dasarnya identik dengan pemberian. Sekali lagi yang perlu ditekankan adalah, pemberian disini tidak harus selalu berupa uang atau hal-hal material lainnya. Pemberian kasih sayang berupa perlindungan ketika orang yang dicintai berada dalam masalah, pemberian kasih sayang berupa kepedulian ketika orang yang dicintai ingin mencurahkan isi hatinya, pemberian tenaga ketika orang yang dicintai membutuhkan bantuan dalam mengerjakan sesuatu, dsb dsb. Pertanyaannya, selama ini kita menggunakan terminologi bucin untuk menggambarkan apa? Seorang anak yang sedang mempelajari apa itu cinta, atau seorang hamba/budak yang sedang diperhamba/diperbudak oleh cinta itu sendiri? Jika kita memakai terminologi bucin untuk poin yang pertama (mempelajari apa itu cinta), itu baik. Namun ketika yang dimaksud adalah poin kedua, ini berbahaya. Inilah yang justru akan semakin mengaburkan manusia dari apa itu sebetulnya yang dimaksud dengan cinta.

Ketika cinta digambarkan melalui perbudakan, sesungguhnya kita sedang mengkhianati arti cinta itu sendiri. Cinta harus digambarkan melalui sifat memberi. Memberi pengertian, memberi toleransi (kapan-kapan kita akan membahas tentang toleransi juga), dan memberi hal-hal lain kepada orang yang kita cintai tanpa menuntut balik orang tersebut untuk memberikan hal yang sama pada kita. Karena, dalam perbudakan sesungguhnya ada tuntutan, sedangkan cinta, tak pernah mengenal tuntutan. Ketika cinta itu menuntut, sesungguhnya kita sedang tidak mencintai dan dicintai, kita justru sedang menjalani relasi perbudakan yang diberi embel-embel cinta/cinta yang manipulatif.

Maka dari itu, berhati-hatilah dalam memaknai setiap kata yang kita konsumsi sehari-hari. Sadarilah makna dan tujuan diciptakannya kata itu. Jangan sampai kita terjebak dalam hegemoni yang beredar, justru sebaliknya, kita harus bisa meragu, membongkar/melakukan redefinisi terhadap setiap kata tersebut. Salam kebijaksanaan!!

Daftar Pustaka

Virrilio, P. (2006). Logistics of habitable circulation. M. Polizzotti (Eds.), Speeds and politics (p. 8). London, England: Semiotext.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun