"Kita tak bisa seperti ini, kita terus diinjak di negeri sendiri! Jika kita terus menerus seperti ini kapan kita akan bebas dari mereka, mereka yang menjarah kekayaan alam kita dan seolah olah berkuasa atas tanah ini. Bisa-bisa kita yang malah tersingkir dan terusir bahkan dari tanah kita sendiri." Jengkel calon raja itu seraya menunjukkan raut tak sukanya kepada sang raja yang tak lain adalah ayahnya sendiri, Senopati Soewiryo ing Ngalam Kerthabhumi. Sang raja pun yang awalnya membahas para kompeni Belanda itu pun mengurungkan niatnya untuk meminta dukungan sang putra mahkota, Gusti Raden Mas Adjie Soetjipto Kerthabhumi agar menjadi penjembatan hubungannya dengan Belanda. Melihat kejengkelan dari putra mahkota terhadap para penjajah itu pun membuat sang raja semakin bimbang akan menyampaikan niat awalnya yang malah akan bekerja sama dengan para penjajah Netherland untuk menarik pajak upeti yang lebih besar dari rakyat, pedagang asli maupun pedagang pendatang yang berjualan di daerah kekuasaan kerajaan.Â
Suasana tegang bercampur dengan rasa jengkel dari Gusti Raden Mas Adjie pun tercipta di dalam ruang singgasana sang raja, merubah suasana malam yang tadinya syahdu dan damai. Akibatnya terjadi keterdiaman dari sang raja, Senopati Soewiryo ing Ngalam Kerthabhumi yang sebenarnya memiliki pendapat yang sangat berbeda dari anaknya, Gusti Raden Mas Adjie. Melihat keterdiaman dari ayahnya, Gusti Raden Mas Adjie menyahut kembali "Melihat dari diamnya ayah, sepertinya ayah memiliki pendapat yang berbeda dengan hamba, apakah benar ayah?" Sang raja pun yang menginginkan agar perdebatan ini cepat usai pun angkat bicara "Benar Raden, ayah sebenarnya ingin meminta bantuanmu untuk menjadi penjembatan hubungan antara ayah dan para Netherland itu, akan tetapi tampaknya Raden tidak sependapat dengan ayah, bolehkah ayah tahu mengapa seperti itu?" Gusti Raden Mas Adjie yang mendengar hal itu semakin membuat amarah serta rasa jengkelnya yang tadinya sempat teredam menjadi tersulut kembali "Mohon maaf ayah, jika ayahanda memerintahkan demikian, hamba tidak berkenan untuk melaksanakan perintah tersebut, karena seperti yang ayahanda ketahui bahwa kaum mereka memandang dan memperlakukan kita seperti kaum hina yang rendahan, seolah olah derajat merekalah yang paling tinggi disini, seolah olah merekalah yang menjadi penguasa dari kerajaan ini. Selain itu ayah, apakah ayah tidak pernah tersentuh sedikitpun hatinya melihat rakyat kita menderita, kesusahan, dan kelaparan akibat dari ulah para kompeni bejat yang tak beradab seperti mereka itu?!" Sontak mendengar nada keras dari anaknya, Senopati Soewiryo pun langsung membalas dengan tak kalah sengitnya "Kau Raden, kau yang tak memikirkan nasib kerajaan kita ini!! Kerajaan kita sedang berada di ujung tanduk, jika kita tak bekerja sama dan meminta bantuan dari para kompeni itu, kerajaan kita terancam akan musnah Raden!!" Gusti Raden Mas Adjie yang tak terima mendengar ucapan dari ayahnya sontak saja menyahut dengan nada rendah namun penuh dengan kata kata sarkas "Mohon maaf ayahanda, sebenarnya siapa di sini yang tak bisa berpikir? Hamba atau malah ayahanda sendiri? Mengapa ayah menjadi seperti ini, semena mena dan tak tau aturan. Apakah karena harta yang ditawarkan oleh para kompeni itu? Tak bisakah ayah berpikir sedikitpun, bahwa kerajaan ini berdiri atas kemauan dan persetujuan dari seluruh rakyat kita? Jika kita merusak kepercayaan mereka terhadap kita, maka kita sendiri yang akan hancur ayah!" Senopati Soewiryo yang mendengar kata kata sarkas dari pangeran pun terdiam selama beberapa saat, sebelum akhirnya ia memutuskan untuk membicarakan hal ini kembali esok saja "Kembalilah ke ruanganmu Raden, malam semakin larut, tak etis rasanya jika terus menerus berdebat sampai tengah malam nanti." Mendengar keputusan dari sang ayah, Gusti Raden Mas Adjie pun langsung menyahut "Baiklah jika itu yang ayahanda inginkan, hamba akan menunggu sampai ayah memanggil hamba kembali untuk membicarakan masalah ini." Setelah melihat kepergian anak pertamanya, Senopati Soewiryo memijit pangkal hidungnya. Ia merasa bingung harus dengan cara apalagi meyakinkan anak pertamanya yang sekaligus adalah putra mahkota itu. Nampaknya Gusti Raden Mas Adjie tidak akan pernah setuju dengan semua rencananya tentang para kompeni tersebut.Â
Malam pun berlalu dan pagi telah tiba, kegiatan Gusti Raden Mas Adjie Soetjipto Kerthabhumi pagi ini adalah mengunjungi para warga dan memberikan beberapa bantuan yang diambil dari lumbung pertanian kerajaan, akan tetapi saat sampai disana ada banyak sekali rakyat yang sedang mengangkuti karung goni berisi rempah serta padi untuk keluar dari lumbung pertanian kerajaan. "Ada apa ini? Mengapa kalian semua mengangkuti karung karung sebanyak ini keluar dari lumbung? Siapa yang menyuruh kalian?" Mendengar seruan itu, rakyat yang sedang beraktivitas itupun langsung menghentikan aktivitasnya sejenak, sebelum salah satu diantara mereka menjawab "Mohon maaf Gusti Raden, kami diperintahkan oleh Bangsawan Belanda yang baru saja tiba kemarin untuk memindahkan karung karung ini menuju ke gudang penyimpanan milik Netherland." Gusti Raden Mas Adjie yang mendengar hal itu pun sontak langsung membludakkan amarahnya "Kurang ajar! Berani beraninya dia menjarah lumbung milik kami, dan kalian juga, mengapa kalian mau dibodohi dan disuruh suruh oleh para kompeni tak tau adab itu!" Semua rakyat diam sampai salah seorang dari mereka yang merupakan orang yang sama dengan yang menjawab pertanyaan pertama dari Gusti Raden Mas Adjie pun menjawab "Mohon maaf sekali lagi Gusti Raden, izinkan hamba menyampaikan sesuatu, terapi sebelum itu, hamba ingin bertanya, apakah Gusti Raden dapat menjamin keselamatan kami semua disini berserta seluruh keluarga kami di rumah apabila menyampaikan hal ini kepada Gusti Raden?" Gusti Raden Mas Adjie yang mendengar hal itu langsung mengganggukkan kepalanya kemudian berkata "Baik jika itu yang kau inginkan, aku akan menjamin keselamatan kalian semua disini juga keluarga kalian" Melihat kesungguhan dari Gusti Raden Mas Adjie akhirnya rakyat itupun kembali menyampaikan "Hamba harap Gusti Raden dapat mempercayai perkataan hamba dan semua orang yang ada disini menjadi saksi dari perkataan Gusti Raden Mas juga hamba. Sebelumnya untuk pertanyaan Raden Mas mengapa Bangsawan Belanda itu berani menjarah lumbung milik kerajaan, izin menyampaikan bahwa hal ini diperintah langsung oleh Bendara Raden Mas Seto, dan hal itu disetujui langsung oleh Yang Mulia Paduka Senopati Soewiryo ing Ngalam Kerthabhumi maka dari itu para kompeni itu dapat memindahkan karung karung milik lumbung kerajaan ke gudang penyimpanan milik mereka. Dan untuk pertanyaan Gusti Raden Mas Adjie yang kedua, mengapa kami mau bekerja dengan para kompeni itu, kami bukan bekerja karena kami mau dan ingin, akan tetapi kami dibayar dan diutus oleh Bendara Raden Mas Seto untuk bekerja dibawah para kompeni itu." Mendengar kesaksian dari salah satu rakyatnya membuat kemarahan dari Gusti Raden Mas Adjie memuncak, ia langsung berbalik tanpa sepatah kata untuk menemui sang adik yakni Bendara Raden Mas Seto untuk meminta kejelasan dan maksud dari perintahnya tersebut. Setelah cukup lama mencari sang adik, yang tak lain adalah Bendara Raden Mas Seto akhirnya Gusti Raden Mas Adjie bertemu dengannya. Gusti Raden Mas Adjie terlibat perdebatan yang cukup sengit dengan Bendara Raden Mas Seto, mereka berdua beradu argumen mengenai benar tidaknya dan apa akibatnya jika mereka meminta bantuan kepada Belanda. Pertikaian diantara mereka berdua pun tak terelakkan lagi, hunusan pedang dari Bendara Raden Mas Seto menjadi penanda dimulainya pertengkaran antara Gusti Raden Mas Adjie dengan Bendara Raden Mas Seto menjadi bukti dari betapa sengitnya perdebatan mereka berdua. Para prajurit yang mendengar denting pedang di taman belakang kerajaan langsung berlari menghampiri sumber suara, dan alangkah kagetnya mereka melihat sang putra mahkota, yakni Gusti Raden Mas Adjie yang biasanya bersikap tenang dan tak pernah tersulut emosi sampai bertarung pedang dengan Bendara Raden Mas Seto. Para prajurit pun berusaha untuk memisahkan mereka berdua, namun beberapa dari mereka malah terluka. Sebagian prajurit yang berjaga dan tidak ikut memisahkan akhirby memanggil Yang Mulia Paduka Senopati Soewiryo ing Ngalam Kerthabhumi beserta anak bungsunya yakni Bendara Raden Mas Soemarto untuk memisahkan mereka berdua. Sesampainya Yang Mulia Paduka Senopati Soewiryo ing Ngalam Kerthabhumi dan Bendara Raden Mas Soemarto disana, mereka berdua langsung memisahkan pertengkaran antara kedua saudara itu. Yang Mulia Paduka pun memerintahkan kedua anaknya untuk mengikutinya ke singgasana. Setelah tiba di ruang singgasana milik Yang Mulia Paduka mereka berdua diperintahkan untuk menjelaskan sedetail mungkin sebab mereka berdua bisa bertikai sampai menghunuskan pedang. Mengalirlah cerita dari kedua belah pihak, dan akhirnya diputuskan bahwa mereka berdua diberi hukuman pengasingan. Gusti Raden Mas Adjie yang diasingkan ke Desa Welarung yang merupakan desa terjauh sekaligus paling terpencil dari keraton dan Bendara Raden Mas Seto ke Desa Beriam, desa yang katanya memiliki pemandangan paling indah di keraton. Gusti Raden Mas Adjie diasingkan ke Desa Welarung selama 2 tahun penuh, selain untuk hukuman, Gusti Raden Mas Adjie diasingkan kesana pun memiliki alasan, ia diutus oleh Yang Mulia Paduka untuk membereskan beberapa masalah disana.Â
Hari keberangkatan Gusti Raden Mas Adjie ke Desa Welarung pun tiba, ia berangkat sekitar pagi hari dan diperkirakan akan tiba di desa dua hari kemudian. Gusti Raden Mas Adjie berangkat dengan 2 pengawal beserta 1 dayang istana. Setelah seharian berjalan rombongan Gusti Raden Mas Adjie pun beristirahat sejenak di dekat mata air, disana terlihat pemandangan indah menjamu mata Gusti Raden Mas Adjie beserta para pengikutnya. Sambil beristirahat mereka mencari perbekalan untuk perjalanan mereka, seperti air yang mengambil dari mata air di sana juga buah buahan yang dapat dimakan selama perjalanan. Tibalah Gusti Raden Mas Adjie beserta rombongannya ke Desa Welarung, tidak ada penyambutan istimewa untuk mereka di sana karena sebenarnya kedatangan mereka ke desa memang tidak diberitahukan kepada siapapun, hanya ada sedikit ramah tamah dari kepala desa disana. Rombongan dari Gusti Raden Mas Adjie pun diberi sebuah rumah yang letaknya di perbatasan antara Desa Welarung dan hutan dibelakangnya. Di desa Welarung Gusti Raden Mas Adjie mendapatkan banyak sekali kejanggalan kejanggalan yang menurutnya sudah terlalu parah. Dari mulai permintaan upeti demang kepada semua rumah diimana seharusnya upeti dibayarkan oleh setiap kepala desa dari hasil sumbangan warga dan sisanya dari dana desa serta jumlah pajak dan upeti yang melebihi batas maksimum dan sangat memberatkan rakyat di sana. Dari sanalah Gusti Raden Mas Adjie mendapati bahwa lebihan dari pajak serta upeti upeti tersebut digunakan oleh para kompeni dan sisanya dipakai oleh demang. Melihat hal tersebut Gusti Raden Mas tentu tidak bisa diam saja dan tutup mulut, ia mulia mengirimkan surat surat berisi kejanggalan kejanggalan yang memberatkan rakyat disini kepada keraton, akan tetapi anehnya surat surat tersebut tidak pernah mendapat balasan dari keraton. Jangankan balasan, Gusti Raden Mas Adjie bahkan menduga bahwa surat surat yang ia tulis dan kirimkan tidak pernah sampai ke tangan ayahandanya, Yang Mulia Paduka Senopati Soewiryo ing Ngalam Kerthabhumi dan mengalami blokade di tengah jalan. Tak tahan lagi dengan semua masalah dan tindakan semena mena para kompeni itu kepada rakyatnya, Gusti Raden Mas Adjie pun bertolak ke keraton untuk menyampaikan langsung masalah dan keluhan keluhan yang dialaminya selama satu setengah tahun di sana.Â
Setibanya Gusti Raden Mas Adjie di keraton ia kaget bukan main melihat yang duduk di kursi singgasana istana bukan lagi ayahandanya, Yang Mulia Paduka Senopati Soewiryo ing Ngalam Kerthabhumi melainkan adik tirinya, Bendara Raden Mas Seto. Ia pun bertanya tanya mengapa adik tirinya lah yang duduk di singgasana, bukan ayahandanya. Jika terjadi sesuatu pun seharusnya ia sangat layak untuk diberitahu karena ia adalah anak pertama sekaligus putra mahkota, tetapi mengapa tidak ada seorangpun utusan yang memberi tahukan keadaan dari kerajaan. Bukan bermaksud karena gila tahta dan ingin menguasai singgasana, Gusti Raden Mas Adjie hanya ingin mengetahui keadaan keluarganya setelah ia pergi cukup lama dari keraton ini dan tidak berkabar dengan pihak kerajaan sama sekali juga ia tidak ingin sampai anggota keluarganya tertipu oleh muslihat para kompeni itu. Tak tahan lagi dengan semua pertanyaan yang ada dibenaknya, Gusti Raden Mas Adjie pun memutus untuk bertanya langsung kepada adik tirinya tersebut. "Rayi Seto, izinkan kakanda bertanya, mengapa rayi yang duduk di atas singgasana ayahanda? Bukankah hukum dari keraton ini tidak memperbolehkan siapapun duduk di singgasana utama kecuali paduka raja?" Pertanyaan dari Gusti Raden Mas Adjie membuat Bendara Raden Mas Seto pun langsung tersenyum sinis sambil berkata "Oh tidak tahukah kakanda bahwa akulah yang sekarang menjadi raja dari keraton ini? Kurang ajar sekali bawahan yang tidak mengetahui siapa rajanya saat ini." Mendengar perkataan sinis dari adinya Gusti Raden Mas Adjie pun membalas "Mohon maaf rayi, siapa yang rayi maksud raja dari keraton ini? Dan kemanakah ayahanda juga Bendara Raden Mas Soemarto saat ini? Mengapa ketika kucari di sekeliling istana mereka tidak ada?" Ekspresi marah juga sebal langsung kentara dari raut wajah Bendara Raden Mas Seto, seketika saja ia pun langsung menyahut perkataan dari kakaknya dengan sarkas "Kau terlalu banyak bertanya kanda, akan tetapi baiklah akan ku jawab satu persatu pertanyaanmu. Perlu kakanda ketahui bahwa raja dari keraton ini adalah aku, Yang Mulia Paduka Senopati Seto Sumardjana Dharmawangsa Kerthabhumi, raja paling agung dari segala raja. Dan juga jika kau bertanya dimana keberadaan kakek tua bodoh itu dia sudah ku bunuh karena tidak becus dalam memimpin keraton ini juga si ingusan yang selalu menggurui itu, dia dikurung di penjara bawah tanah karena sikap tidak sopannya padaku. Dan untuk kau kakandaku yang paling ku sayangi, tentu kau juga akan kuberi posisi yang strategis, misalnya dengan menjadi kepala pelayan mungkin." Tentu saja Gusti Raden Mas Adjie geram bukan main dengan jawaban dari adik tirinya tersebut, bahkan saking geramnya badannya pun sampai bergetar, ia langsung saja menyahuti ucapan dari adik tirinya tersebut "Benar benar biadab kau Seto!! Apa yang membuatmu menjadi buta akan tahta yang fana ini?! Dipengaruhi hal apakah kau sampai sebodoh ini, menyia-nyiakan keluarga demi kekuasaan semata. Dan untuk tawaranmu itu, tak akan sudi aku menjadi kaki tangan dari orang licik sepertimu." Tak terima dengan kata kata yang dilontarkan Gusti Raden Mas Adjie kepadanya, Bendara Raden Mas Seto memerintahkan prajurit untuk menangkap Gusti Raden Mas Adjie, namun karena keterampilan Gusti Raden Mas Adjie yang sudah terasah ia tidak tertangkap meski dikepung oleh banyak prajurit sekalipun. Setelah ketidakberhasilan penangkapan itu, Gusti Raden Mas Adjie berhasil berlari kembali ke desa tempatnya diasingkan, yakni Desa Welarung. Gusti Raden Mas Adjie meminta bantuan kepada kepala desa untuk tidak memberitahukan keberadaannya kepada siapapun pun menurut. Setelah satu minggu menghilang, Gusti Raden Mas Adjie pun mulai mencari tahu informasi mengenai keraton dari para pengikutnya yang masih tersisa di dalam keraton serta meminta bantuan dari mereka untuk membebaskan sang adik, Bendara Raden Mas Soemarto yang untungnya berhasil dilakukan meskipun keadaan di sekitar keraton menjadi gempar setelahnya. Gusti Raden Mas Adjie mendapati bahwa adik tirinya berani bertindak semena mena karena mendapatkan dukungan dari Maneer Augustijn van Berg, yang merupakan seorang gubernur jenderal Belanda yang baru untuk wilayah keraton dan sekitarnya, serta dialah yang mengangkat Bendara Raden Mas Seto menjadi raja di keraton. Gusti Raden Mas Adjie yang mengetahui hal tersebut bertambah geram, padahal belum ada 2 tahun gubernur jenderal itu bertempat di sini, tapi ia sudah berhasil membawa pengaruh buruk bagi keraton. Apalagi setelah naiknya sang adik menjadi raja, biaya pajak dan upeti naik lebih dari 20 kali lipat. Akhirnya Gusti Raden Mas Adjie yang tidak tahan memutuskan untuk melakukan pemberontakan terhadap keraton, pemberontakan Gusti Raden Mas Adjie pun dilakukan secara gerilya. Bersama dengan adik bungsunya, Bendara Raden Mas Soemarto, Gusti Raden Mas Adjie pun mulai mengajak laki laki dari setiap rumah, hal ini tentu mendapatkan banyak sekali tanggapan dan komentar dari warga, banyak yang setuju akan tetapi tak sedikit juga yang menolak. Cukup lama Gusti Raden Mas Adjie beserta para pengikutnya berlatih, salah seorang mata mata yang ditugaskan di keraton menyebutkan bahwa akan diadakan rencana perkumpulan para pemuda yang kedua (Kongres Pemuda II) yang merupakan kelanjutan dari perkumpulan para pemuda pertama (Kongres Pemuda I) pada tanggal 27-28 Oktober nanti. Kabar itu menyebar dengan cepat dan berdasarkan pengamatan mereka, gubernur jenderal Belanda yang baru yakni Maneer Augustijn van Berg akan melakukan penyerangan tepat saat tanggal dimana perkumpulan para pemuda tersebut diadakan, yakni 27 Oktober, akan tetapi tampaknya para pemuda tersebut tidak tahu menahu dan tetap akan melakukan pertemuan pada tanggal tersebut. Gusti Raden Mas Adjie yang mendengar hal tersebut pun tergugah jiwanya dan akan membela pemuda pemuda tersebut sampai tetes darah terakhirnya. Akhirnya setelah merencanakan rencana penyerangan, Gusti Raden Mas Adjie dan Bendara Raden Mas Soemarto sebagai pemimpin pasukan memilih membagi 2 pasukan mereka. Divisi 1 akan dipimpin oleh Gusti Raden Mas Adjie untuk berjaga di dalam maupun di luar ruangan tempat perkumpulan diadakan dan divisi 2 yang dipimpin oleh Bendara Raden Mas Soemarto akan berjaga di dalam keraton. Kedua pasukan sudah menyiapkan diri mereka sejak fajar menyingsing. Pasukan dari kedua divisi baru akan menyerang apabila tentara Belanda melakukan penyerangan terhadap para pemuda itu. Sesuai perkiraan dari Gusti Raden Mas Adjie, pasukan Belanda menyerang dengan skala besar sampai membuat pasukan dari divisi 1 yang dipimpin oleh Gusti Raden Mas Adjie kewalahan dan meminta bantuan kepada divisi 2, sedangkan Gusti Raden Mas Adjie sendiri berunding dengan Maneer Augustijn van Berg di balai belakang tempat pertemuan para pemuda tersebut. Di dalam perundingan itu terjadi perdebatan yang sangat sengit antara Gusti Raden Mas Adjie dan Meneer Augustijn van Berg. "Ada apakah gerangan yang membawa mantan calon pewaris tahta ini menghadangku disini? Apakah karena tidak terima tahtanya dilengserkan? Aku bisa saja membuatmu naik tahta asal kau mau bekerja sama denganku dan memenuhi beberapa syarat dariku ini. Dan yaa sebenarnya aku tidak suka dengan gaya kepemimpinan adikmu itu, tidak seru rasanya karena dia terlalu bodoh dan mudah sekali ditipu hahaha." Gusti Raden Mas Adjie yang mendengar hasutan dari meneer pun dengan tenang menjawab "Aku datang ke sini untuk menumbuhkan seribu bunga baik dan membasmi beribu bunga buruk yang asalnya dari kau meneer, dan untuk tawaran tersebut sungguh aku tidak berminat untuk menjadi raja di bawah kaki tangan bangsa yang tidak beradab seperti kalian. Untuk kepemimpinan Seto yang kau bilang bodoh dan mudah sekali ditipu itu, bukankah kau sendiri yang memilihnya? Berarti kau mengatai bahwa pilihanmu bodoh bukan? Dan rasa menyesalmu akan pilihan bodohmu itu tentu berasal dari orang yang bodoh juga." Ucapan dari Gusti Raden Mas Adjie membuat Meneer Augustijn van Berg tersulut emosi, ia dengan lantang berkata "Kau yang bodoh Gusti, kau dan keluarga dungumu itu yang tak tahu adab dan aturan juga rasa terima kasih. Baiklah jika itu pilihanmu, tidak ada kesempatan yang terbuka lagi. Setelah ini rasakan kematianmu mantan calon putra mahkota." Setelah berkata demikian Meneer Augustijn langsung mengambil pistol yang terdapat di samping bajunya dan mengarahkan ujung dari pistol tersebut ke kepala Gusti Raden Mas Adjie, tarikan pelatuk pistol pun terdengar di tengah tengah mereka berdua, peluru pertama dari Meneer Augustijn meleset dan tidak mengenai kepala Gusti Raden Mas Adjie. Gusti Raden Mas Adjie pun dengan tenang menghindari peluru dari Meneer Augustijn sambil mengeluarkan kerisnya kemudian berkata "Baiklah jika itu maumu, kita bertarung sampai tetes darah terakhirku. Bila kau berhasil membunuhku maka kau juga akan mati di tempat yang sama denganku meneer." Ayunan keris dari Gusti Raden Mas Adjie pun tak terhindarkan lagi, ayunan itu berhasil melukai lengan Meneer Augustijn. Tak terima dengan hal tersebut, meneer pun menembak balik Gusti Raden. Pertarungan sengit antara mereka berdua pun terjadi, meneer berhasil menyarangkan 3 dari 19 peluru pistolnya ke tubuh Gusti Raden Mas Adjie dan Gusti Raden Mas Adjie berhasil membuat banyak luka dalam dari goresan kerisnya. Dan ketika Meneer Augustijn lengah, keris Gusti Raden Mas Adjie pun berhasil menusuk meneer tepat di jantungnya. Meneer Augustijn pun jatuh berdebam di lantai yang keras, dan pada saat Gusti Raden Mas Adjie berbalik ingin membantu pasukannya, sisa 1 peluru dari meneer berhasil menembus punggungnya dan mengenai jantung Gusti Raden. Gusti Raden pun jatuh tersungkur ke depan dan meninggal dunia saat itu juga bersama Meneer Augustijn yang telah meninggal terlebih dahulu.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H