Menjelajah peninggalan Kerajaan Majapahit di Mojokerto, tak enak rasanya jika luput dari salah satu wisata Cagar budaya yang terletak di desa Bejijong, kecamatan Trowulan, kabupaten Mojokerto. Candi Brahu, bangunan yang berusia lebih tua dari kerajaan Majapahit ini didirikan oleh Empu Sendok, yaitu seorang raja dari mataram kuno.
Replika yang menghadap kearah barat ini didirikan pada abad ke-15 masehi dengan bentuk stupa pada sudut timur laut atap candi, dan terbuat dari susunan batu bata merah salah satu ciri situs peninggalan kerajaan majapahit. Bangunan ini memiliki panjang 18 x 22,5 meter dengan tinggi mencapai 20 meter. Dan sempat dipugar pada tahun 1990 hingga 1995, untuk menambah daya tarik wisatawan dosmetik maupun wisatawan mancanegara.
Nama Brahu sendiri diambil dari kata Warahu yaitu sebuah area suci yang digunakan sebagai tempat sembayang atau pemujaan para dewa. Di dalam bilik candi juga terdapat susunan bata yang menyerupai altar, untuk bentuk relief candi ini menggambarkan pesan sekretisme antara agama Hindu, dan Buddha, hal inilah yang membuat umat Buddha maupun Hindu saling merawat situs candi ini.
Diketahui bahwa dulu disekitar Candi Brahu terdapat banyak bangunan candi-candi kecil, seperti Candi Muteran, Candi Gedung, Candi Tengah, dan Candi Gentong namun saat ini tak banyak yang bisa dilihat karena sebagian hanya tersisa reruntuhan candi. Saat pengalian di sekitaran bangunan artefak ini banyak ditemukan benda-benda kuno, semacam alat-alat upacara keagamaan terbuat dari logam, perhiasan emas, dan arca.
“Ada yang bilang kalau tempat ini dulunya adalah tempat pembakaran jenazah raja-raja, akan tetapi saat diteliti tak ada satu pakar yang berhasil menemukan bekas abu mayat di bilik candi ini. Nah, pada tahun 1990 hingga 1995 sempat dilakukan pemugaran dan ditemukan bukti prasasti alasanta ini yang menjelaskan bahwa candi ini adalah tempat pemujaan para dewa,” Kata Marsaid, salah satu juru pelihara Candi Brahu.
Penduduk yang tinggal di daerah ini masih sangat jarang, kebanyakan warga yang hidup disini adalah dari golongan bangsawan atau dari para pemuka agama. Dalam hal inilah yang membuat kehidupan masyarakat sekitar candi brahu sangat taat terhadap agama yang mereka anut dan masih menghargai atau menerapkan kebudayaan leluhurnya.
“Untuk agama mayoritas penduduk disini beragama islam, dan ada juga yang beragama Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha. Disini tempat peribadatannya sudah cukup memadai untuk Islam ada musholah kalau yang beragama Buddha ada 1 wihara di dusun Bejijong, dan agama Buddha ada 1 pura disamping kolam segaran, kalau Kristen ada 1 gereja di dusun Jatipasar,” tutur Marsaid.
Untuk berwisata ke candi ini cukup merogoh kocek Rp. 3000 saja, sudah bisa menikmati pemandangan candi yang begitu megah, dan berswafoto diantara tanaman disekitaran candi. Wisata ini dibuka untuk disetiap harinya, namun pada hari minggu ataupun hari libur pengunjung yang datang cukup ramai, ada yang melakukan studi tour maupun sekedar berlibur bersama keluarga dan kerabat.
“Biasanya kebanyakan ramai pengunjung yang datang berkunjung disini pada hari minggu, maupun pas tanggal merah ada sampai 100 pengunjung lebih kalau hari libur, tapi kalau hari biasanya bisa mencapai puluhan kadang ratusan,” ujar Marsaid.
“Tapi kalau berkujung disini jangan ada yang merusak, maupun mengotori, terkadang banyak ditemukan sampah yang berserakan,” tutupnya. (N/F: Frs)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H