Mohon tunggu...
Frisch Young Monoarfa
Frisch Young Monoarfa Mohon Tunggu... Freelancer - Blogger

Suami, ayah dua anak, pemerhati masalah sosial

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Saatnya Penggunaan Pasal 340KUHP bagi Pengguna Zat Berbahaya dalam Makanan atau Minuman

17 Maret 2016   21:56 Diperbarui: 4 April 2017   17:20 822
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jakarta kembali dikejutkan dengan penemuan pedagang di kawasan monas yang menggunakan air got sebagai bahan membuat minuman minggu lalu. Kabar tak sedap itu makin membuat miris konsumen yang sudah sangat sering dikelabui karena makanan atau minuman yang dibeli mengandung zat berbahaya. Peristiwa penemuan makanan atau minuman yang mengandung zat berbahaya memang lebih sering ditemukan saat adanya razia atau inspeksi oleh pegawai BPOM atau dari Dinas kesehatan.

Penggunaan zat berbahaya yang dilakukan penjual atau produsen makanan lebih pada alasan meraih keuntungan atau mensiasati agar produknya lebih bisa bertahan lama. Penggunaan boraks, formalin untuk mie, tahu, ayam,ikan, bakso dan makanan lainnya yang sering ditemukan. Atau pedagang gorengan memasukkan kemasan plastik bungkus minyak goreng agar gorengannya lebih renyah. Walaupun berkali-kali petugas dinas kesehatan atau Badan POM melakukan razia dan penggerebekan, penggunaan zat berbahaya itu masih saja berulang dilakukan.

Masyarakat Indonesia cenderung lebih memperhatikan halal atau tidaknya produksi makanan atau minuman dibanding beracun atau tidak. Masyarakat lebih mudah terprovokasi jika sebuah produk makanan yang tidak halal dibanding yang beracun. Bukan tidak mungkin hal ini yang digunakan para pedagang atau produsen makanan secara licik mengelabui masyarakat, yang penting tidak mengandung babi alias halal, meski beracun.

Bukan para produsen atau pedagang itu tidak tahu akan bahaya penggunaan zat berbahaya bagi kesehatan, tetapi karena lemahnya penindakan dan hukuman, maka tidak terjadi efek jera bagi para pelakunya. Penggunaan zat berbahaya yang dicampur dalam makanan atau minuman memang tidak langsung mengakibatkan kematian, tetapi setidaknya orang yang mengkonsumsi makanan itu secara perlahan menyongsong kematian dengan menderita sakit.

Jika mengikuti pasal 9 UU 11 kesehatan tentang hygiene untuk usaha bagi umum, maka tuntutan dan ancaman pidananya sangat ringan. Bagi mereka yang melanggar atau melakukan tindak pidana kejahatan, akan dipidana selama-lamanya 6 bulan atau denda setinggi-tingginya sepuluh ribu rupiah. Jika melakukan pelanggaran malah lebih ringan, karena akan diancam pidana 3 bulan atau dendan setinggi-tingginya 3 bulan. . 

Hukuman Bagi Para Oknum Penyalahgunaan Zat Berbahaya dalam Produk Pangan di Indonesia sesuai dengan UU Perlindungan Konsumen No. 8 tahun 1999 pelanggaran terhadap kesehatan konsumen dapat dikenakan hukuman maksimal 5 tahun berikut denda hingga Rp 2 milyar.

Peristiwa kopi sianida yang menyeret Jessica Wongso, diancam dengan pasal 340 KUHP yang tuntutannya adalah hukuman mati. Padahal ke dua tindakan, mencampur formalin dalam ayam atau ikan, atau mencampur boraks dalam bakso, dengan mencampur sianida dalam minuman kopi boleh dibilang sangat mirip, yaitu mencampur zat berbahaya yang dapat mengakibatkan kematian. Memang mencampur sianida di dalam kopi atau minuman akan mengakibatkan kematian seketika, tetapi mencampur formalin di dalam ikan atau ayam, atau boraks dalam bakso akan mengakibatkan kanker yang dapat menyebabkan kematian juga.

Ketika tidak mungkin dilakukan pengawasan secara intensif pada penjualan zat-zat kimia berbahaya, maka perlu dipikirkan cara yang lebih jitu dalam menanggulangi penggunaan zat berbahaya dalam produksi makanan atau minuman. Jadi seharusnya hakim dalam memutus perkara tidak hanya menggunakan peraturan daerah atau KUHP dengan pasal pelanggaran, tapi menuntut pasal pidana bagi orang-orang yang dengan sengaja mencampur zat berbahaya untuk dikonsumsi orang lain dengan pasal pembunuhan berencana, bahkan seharusnya lebih berat karena korbannya massal dan acak. 

Undang-undang perlindungan konsumen juga harus direvisi khususnya yang menyangkut pelanggaran seperti di atas. Dengan digunakannya pasal pembunuhan berencana mudah-mudahan akan menimbulkan efek jera. Jangan hanya karena ingin meraih keuntungan atau mencegah kerugian, mengorbankan kesehatan orang banyak yang dapat menyebabkan kematian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun