Mohon tunggu...
FRIDYANA KLISE
FRIDYANA KLISE Mohon Tunggu... Guru - Universitas Negeri Malang

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kecenderungan Pengelompokan Etnis dan Asal Daerah di Kampus

15 Oktober 2023   17:24 Diperbarui: 15 Oktober 2023   17:26 386
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

PERNYATAAN PENDAPAT

Banyaknya pengelompokan berdasarkan asal daerah dan etnis di kalangan mahasiswa kian marak dan terus bertambah jumlahnya seiring dengan penerimaan mahasiswa baru. Bentuk organisasi cukup beragam dengan menggunakan penyebutan keluarga, himpunan, ikatan, maupun komunitas, dan nama organisasi menyesuaikan nama asal daerah kelompok mahasiswa. 

ARGUMENTASI

Menurut salah satu pengurus organisasi kedaerahan yaitu ND, tujuan dari dibentuknya kelompok atau organisasi kedaerahan adalah membangun relasi. Sementara NN mengatakan bahwa tujuan dirinya mengikuti kelompok atau organisasi kedaerahan adalah untuk saling membantu jika ada anggota yang mengalami kesulitan selama di tanah rantau. Keberadaan kelompok etnis atau daerah ini dibutuhkan oleh mahasiswa untuk memperoleh rasa nyaman, aman, dan terlindungi karena adanya teman yang akan membantu bila mereka ada kesulitan. Untuk tujuan ini adanya kelompok-kelompok etnis atau asal daerah dirasakan besar manfaatnya oleh mahasiswa.

Banyaknya kelompok atau organisasi kedaerahan yang dibentuk mahasiswa yang berkuliah di Malang mempengaruhi juga dalam pengelompokan tempat tinggal. Hampir sebagian besar mahasiswa memilih kos atau kontrakan berdasarkan etnis masing-masing. Sebagai contoh, mahasiswa yang berasal dari Jabodetabek hidup mengelompok di satu kos. Ada juga yang tinggal bersama di satu kontrakan. Salah satu dari mereka beralasan karena perbedaan bahasa dan kultur membuat mereka lebih nyaman bergaul dengan etnis yang sama. Hal ini membuat primordialisme pada masing-masing kelompok etnis makin kuat dan menyebabkan mahasiswa menjadi lebih egosentris sehingga kurang peduli dengan lingkungan sekitarnya.

Tak hanya itu, pernah terjadi kasus etnosentrisme Kota Ternate pada era kepemimpinan Walikota Ternate Dr. H. Burhan Abdurahman, M.M. tahun 2019 silam di mana mayoritas pejabat di wilayah tersebut berasal dari etnis Tidore sehingga saat proses pemilihan pemimpin didominasi oleh channel para pejabat etnis tersebut. Hal ini membuat lingkaran pemegang jabatan di Kota Ternate hanya berputar pada orang-orang tersebut saja sehingga sangat minim calon pemimpin non Tidore bisa menjadi seorang pejabat di kota tersebut (Upara, dkk., 2019)

Observasi dilakukan secara mendalam oleh kami untuk melihat bagaimana pandangan mahasiswa lain terhadap mahasiswa yang mengelompok berdasarkan etnisnya. Menurut keterangan BP, teman-teman dari etnis yang berbeda sudah mencoba untuk mengajak bersosialisasi. Namun, memang ada penolakan dari kelompok tertentu. Tak sampai di titik ini, kami terus mencari apa alasan dari kelompok mahasiswa tertentu yang enggan berbaur dengan kelompok etnis lain. Kebanyakan dari mereka ternyata telah terbentuk streotipe. IA mengatakan bahwa kelompok etnis tertentu pastilah nakal dan hedon. Sementara CC mengatakan bahwa penggunaan bahasa dari etnis tertentu terlihat norak, bahkan hal ini sampai dijadikan bahan candaan kelompok tersebut. Di sisi lain, FD mengatakan juga tidak nyaman bergaul dengan kelompok etnis tertentu dengan alasan bahasa yang digunakan kasar. Bahkan, SH mengatakan tidak senang bergaul dengan kelompok etnis tertentu karena di tempat asalnya banyak pekerja kasar yang berasal dari etnis tersebut.

Keberagaman etnis dan suku yang ada di kalangan mahasiswa merupakan kekayaan budaya dan sudah menjadi ciri khas bangsa Indonesia. Suroyya dkk. (2014) mengatakan bahwa Perbedaan dalam nilai, norma, dan pandangan individu bisa timbul ketika dua individu dengan latar belakang budaya yang berbeda berinteraksi. Interaksi semacam ini berpotensi memengaruhi hubungan antar individu dan kelompok mereka. Hasil dari perbedaan etnis ini dapat mencakup sikap toleransi dan perilaku altruistik, namun sebaliknya, juga bisa menghasilkan sikap intoleran, perilaku egosentris, dan pembentukan stereotip yang pada akhirnya dapat memicu munculnya etnosentrisme di kalangan mahasiswa.

Sreotipe berkaitan dengan persepsi, sikap dan perilakunya terhadap seseorang dan kelompok lain yang berbeda. Pada masyarakat multikultural, streotipe sosial dapat muncul karena kecemburuan sosial, yakni sikap negatif kepada kelompok tertentu karena keanggotaan mereka dalam masyarakat. Branstonc dan Stafford dalam Dianto (2019) mendefinisikan stereotipe sosial adalah kecenderungan untuk menilai secara negatif individu yang memiliki perbedaan etnis dan ras. Stereotipe ini dapat memicu peran antagonis dalam kelompok, karena melibatkan pandangan negatif terhadap kelompok lain. Bahkan lebih serius, pandangan tersebut dapat menyebabkan sikap diskriminatif dan menciptakan divisi sosial. Oleh karena itu, stereotipe dapat memiliki konsekuensi yang sangat merugikan bagi kelompok yang menjadi sasaran prasangka, seperti memicu konflik etnis, meningkatkan jarak sosial, dan mengisolasi kelompok tersebut.

Sebenarnya, streotipe sosial merupakan upaya suatu kelompok untuk menggeneralisasikan suatu nilai kepada kelompok lain. Padahal, hanya segelintir orang yang melakukan tindakan seperti yang disangkakan oleh kelompok itu.   Akibatnya, muncul tindakan menghukum secara sosial dan memberikan claim 'label salah' terhadap budaya orang lain. Dari streotipe yang salah ini lah, akan memunculkan sikap etnosentrisme. Etnosentrisme muncul karena individu merasa bangga dengan kelompoknya sendiri, dan kebanggaan ini mendorong mereka untuk membandingkan kelompoknya dengan kelompok lain. Keyakinan bahwa kelompok mereka lebih superior daripada kelompok lain menghasilkan mispersepsi antara kelompok-kelompok tersebut, yang pada gilirannya mengakibatkan ketidakharmonisan dan penilaian negatif terhadap individu dan kelompok tertentu. (Evita, 2019).

Etnosentrisme budaya bermula dari tingginya rasa kemuliaan terhadap budaya kelompok sendiri. Setiap kelompok cenderung meyakini bahwa budaya mereka memuat nilai-nilai positif, dan sebagai akibatnya, mereka mengukur segalanya berdasarkan standar budaya mereka sendiri dan sering kali menganggap budaya lain sebagai sesuatu yang kurang tepat atau salah. (Evita, 2019; Neuliep, 2020). Neuliep (2020) merumuskan Terdapat tiga aspek yang terkait dengan etnosentrisme. Pertama, setiap masyarakat memiliki sejumlah ciri kehidupan sosial yang bisa diasumsikan sebagai sindrom etnosentrisme. Kedua, sindrom-sindrom etnosentrisme memiliki hubungan fungsional dengan struktur dan eksistensi kelompok serta kompetisi antar kelompok. Oleh karena itu, semakin tinggi tingkat etnosentrisme dalam suatu kelompok, semakin besar solidaritas dalam kelompok tersebut. Ketiga, terdapat generalisasi bahwa semua kelompok menunjukkan sindrom etnosentrisme ini. Untuk meredakan perbedaan pandangan yang terjadi antara ras, suku, agama, dan kelompok tertentu, langkah-langkah berikut dapat diambil: melalui pendekatan agama, mempromosikan ideologi Pancasila, dan meningkatkan pendidikan multikultural. (Aningsih & Isnarmi, 2019; Dianto, 2019; Khakim dkk., 2020; Nugraha dkk., 2020).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun