MERAPAL TANGGUNG JAWAB PRAREFLEKSIF KAUM MILENIAL
Pengantar
 Menarik bahwa kasih dibicarakan dalam konstelasi suatu peradaban. Kata peradaban sering disebut sebagai sinonim dari kata 'kebudayaan'.Â
Peradaban dilihat sebagai tahap final dari perkembangan masyarakat.[1] Perihal demikian merujuk pada sebuah konsep pemahaman bahwa peradapan kasih direfleksikan sebagai suatu bentuk kebudayaan kasih yang ada dan menyatu dalam perkembangan hidup manusia.Â
Berhadapan dengan segala macam bentuk persoalan di era modern ini, maka tema tentang peradapan kasih serasa sangat urgen untuk dibicarakan. Secara eksplisit dapat dikatakan bahwa kehidupan yang dibaluti oleh kasih memunculkan sikap yang antisipatif untuk memperdayakan siapa atau apa saja demi mengawetkan kerukunan, kemejemukan, atau keberagaman dalam hidup bersama.
St. Agustinus dalam salah satu karyanya mengutarakan sebuah konsep tentang keburukan. Baginya keburukan atau malum merupakan prevatio boni yang artinya kekurangan dari kebaikan.Â
Kemudian lebih lanjut Agustinus menguraikan  satu dari tiga jenis keburukan yang sekiranya relevan dengan pokok pembahasan dalam karya ini yakni malum morale atau yang biasa disebut keburukan moral, yakni kekurangan-kekurangan yang disebabkan oleh pelanggaran manusia.Â
Terhadap persoalan ini, penulis mencoba mengkorelasikannya dengan paham anomianisme.[2] Suatu paham atau konsep berpikir yang seolah-olah menanggalkan aturan atau bersikap selayaknya tanpa aturan atau tanpa hukum, atau ada tetapi tidak berfungsi. Situasi ini nampaknya sudah mempengaruhi kesadaran moral manusia, menjadikannya sebagai kecenderungan, dan menjelma menjadi insting alami manusia modern.
Lantas bagaimana konsekuensi logis terhadap pola pikir generasi muda (kaum milenial) dalam upaya tanggap atas persoalan ini? Kelompok yang mendeklarasikan dirinya sebagai kaum milenial, melalui perkembangan dan dinamika kehidupan, kini berada pada  dua posisi dilematis.Â
Menjadi promotor kebaikan atau malah penghambat kebaikan. Merenung pertanyaan tersebut, maka penulis mencoba menghadirkan solusi refleksi filosofis terkait usaha kaum milenial guna menciptakan kerukunan.Â
Membangun dalam diri suatu kesadaran moral untuk peka dan peduli. Menggiatkan sebuah konsep pendekatan tanggung jawab prarefleksi sebagaimana dicetuskan oleh Imanuel Levinas dalam kaitannya dengan upaya manusia membangun hubungan antar sesama.