Persoalan radikalisme yang akhir-akhir ini buming di majalah daring perihal kelompok-kelompok radikal yang bermunculan merupakan bukti nyata bagaimana politik pengakuan atau diferensiasi masih cukup sulit untuk ditegakan.
Polemik ini kemudian akan menjalar pada dunia perpolitikan. Masing-masing orang  memasukan dan menghidupi  ideologi-ideologi politik radikal hinggga duduk di kursi panas sebagai sang penguasa. Menjadikan kedudukan mereka sebagai upaya mensejahterakan kehidupan sendiri.
Potret perilaku individu atau kelompok tunamoral tersebut di atas akan berdampak pada keseimbangan hidup bernegara. Ideologi-ideologi radikal tiap individu berkembang, saling mempengaruhi hingga menimbulkan kaos dalam pesta demokrasi. Lalu apa yang harus kita perjuangkan? "Menjalin hubungan dan komunikasi" menjadi tawaran solutif untuk mengatasi persoalan ini.
Kemajemukan sejatinya tidak mencoreng nilai luhur dunia perpolitikan namun dilihat sebagai bentuk kekayaan sebagai identitas masing-masing individu sebagai mahkluk berpolitik. Dialog mampu menjawab setiap keunikan dan pengakuan hak masing-masing. Sebab hanya dalam keunikan (ras, agama, suku, gender atau aliran politik) manusia dapat menjadi dirinya sendiri.
Tidak cukup berdialog sebatas pada rana tanya dan jawab. Berdialoglah sebagai keluarga, secara komperhesif dan berkelanjutan. Dialog yang dibangun hendaknya merupakan dialog yang mendalam. Menyentuh hati tiap orang yang terlibat di dalamnya. Karenanya bentuk dialog yang harus diupayakan adalah dialog yang mendalam (deep dialogue).
Deep dialogue sendiri adalah bentuk dialog yang mana berdiri pada jati diri sendiri dan pada saat yang sama berusaha mentransformasikan diri sendiri melalui membuka diri kepada mereka yang beda pikiran dan paham dengan diri kita. Deep dialogue is a whole new way of thinking. Pada prinsipnya semua realitas adalah dialogal.
Patut kita berefleksi bahwa selama ini politik identitas serta kepincangan-kepincangan yang terjadi di negara kita ini diakibatkat oleh minimnya kesadaran masyarakat Indonesia untuk membangun dialog. Sejak zaman dahulu orang-orang berbicara hanya tentang dirinya sendiri, hanya berbicara tentang budanya sendiri, hanya berbicara tentang kehebatannya sendiri.
Singkatnya semangat monolog menjadi yang utama dan mengesampingkan semangat berdialog. Sehingga bukanlah wacana biasa bila persoalan dan penyimpangan-penyimpangan sosial senantiasa akan menghiasi kolom-kolom berita harian.
Berbicara tentang diri sendiri, berbicara tentang keunggulan diri hanya akan memunculkan pertentangan dan konflik. Negara Indonesia dengan wajah pluralismenya menuntut dialog yang dalam antar sesama. Masyarakat dengan masyarakat maupun masyarakat dengan pemerintah.
Kekacauan akan diminimalisir bahkan dihilangkan bila kita membangun prinsip: saya ada bukan untuk diri saya sendiri atau untuk kelompok saya sendiri tetapi saya ada untuk orang lain. Harus ada kebaranian untuk mengubah sistem komunikasi kita dari monolog menuju deep dialogue. Membangun dialog yang dalam (deep dialogue); mengartikan kita ada bersama, dan dalam artian tertentu di saat itulah kita saling mengetahui baik-buruk satu dengan yang lain.
Beranilah membuat rekonstruksi dalam semangat berpolitik. Mengahadirkan dialog yang dalam (deep dialogue) dalam  pesta demokrasi dalam dunia berpolitik agar berpolitik bukan hanya  dilihat primitif sebagai upaya untuk memetakan mana kawan dan mana lawan.