"Panggilan 'ayah' dari anak-anak, ketika si buruh pulang dari pekerjaannya, adalah ubat duka dari dampratan majikan di kantor. Suara 'ayah' dari anak-anak yang berdiri di pintu, itulah yang menyebabkan telinga menjadi tebal, walaupun gaji kecil. Suara 'ayah' dari anak-anak, itulah urat tunggang dan pucuk bulat bagi peripenghidupan manusia."
-Buya Hamka-
Kata-kata yang disampaikan Buya Hamka bertahun-tahun silam agaknya masih relevan hingga saat ini. Buruh atau pekerja merupakan tulang punggung bukan hanya bagi keluarganya, tapi juga bagi bangsanya. Cerminan kesejahteraan suatu bangsa bisa dilihat dari sejahteranya hidup pekerja yang ada di di suatu negara. Akhir-akhir ini pekerja lokal menjadi takut terhadap kata 'sejahtera' dan merasa hal tersebut jauh dari hidupnya berkaitan dengan adanya Perpres nomor 20 tahun 2018. Mari kita telisik lebih jauh!
Pemerintah menerbitkan Perpres nomor 20 tahun 2018 pada akhir maret lalu yang mengatur tentang Tenaga Kerja Asing atau TKA. Perpres tersebut kini menjadi polemik setelah beberapa organisasi buruh menolak karena menganggap dapat mempersempit ruang untuk tenaga kerja lokal. Polemik tersebut juga berhembus di DPR, bahkan dua Fraksi dari Partai Gerindra dan Partai Keadilan Sejahtera mencoba menggulirkan wacana panitia khusus untuk menyelidiki tenaga kerja asing.
Terkait hal tersebut, Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko menghimbau semua pihak agar memahami dengan utuh isi Perpres tersebut dan tidak menggiring isu tersebut ke ranah politik. Apalagi tujuannya adalah untuk mendiskreditkan pemerintahan Jokowi. (kompas.com). Moeldoko juga menyampaikan bahwa semangat Perpres tersebut adalah untuk melindungi Tenaga Kerja Nasional dan mengatur dengan tegas berbagai sanksi atas penyalahgunaan TKA.
Seperti diketahui, Perpres nomor 20 tahun 2018 mengatur penyederhanaan proses perizinan dan percepatan pelayanan dalam penggunaan tenaga kerja asing. Namun, terdapat persyaratan yang ditujukan untuk memprioritaskan penggunaan tenaga kerja Indonesia, kepastian alih teknologi, dan keahlian dari TKA ke tenaga kerja lokal. Perpres tersebut juga mempertegas berbagai sanksi atas penyalahgunaan tenaga kerja asing.
Jika ditelisik lebih jauh, bisa dilihat bahwa tidak ada yang salah dari Perpres tersebut. Namun, penerbitan perpres ini rentan dijadikan alat politik karena diterbitkan pada tahun politik.
Kita tentu berharap, pemerintah berkomitmen untuk mengutamakan pekerja lokal dengan menciptakan banyak lapangan kerja serta diikuti dengan pelatihan soft skills yang sangat dibutuhkan di era digital dan teknologi indormasi saat ini. Tenaga Kerja Asing yang ada di Indonesia harus yang benar-benar unggul dan tujuannya bersifat sharing ilmu dan informasi agar pekerja lokal bisa menyerap ilmu tersebut dan saling belajar satu sama lain.
Disisi lain, percepatan pembangunan infrastruktur yang berfokus terhadap pembangunan sumber daya manusia (SDM) Â diharapkan bisa segera terealisasi dengan baik. Dengan adanya sektor industri, investasi sektor jasa, dan pendirian pabrik bisa lebih banyak menyerap tenaga kerja lokal dan membuat pekerja bisa lebih sejahtera.
Investasi asing di Indonesia boleh-boleh saja. Tapi juga patut diingat bahwa investasi itu harus menguntungkan rakyat Indonesia dan juga membuka kesempatan banyaknya lapangan kerja yang bisa menyerap tenaga kerja lokal untuk mengatasi kesenjangan taraf hidup masyarakat pekerja.
Jika pemerintah bisa berkomitmen, kita tentu mempunyai optimisme terhadap kelangsungan bangsa ini dengan perhatian pemerintah yang pro terhadap pekerja lokal. Mari tetap mendukung kebijakan pemerintah yang baik dan menjadi garda terdepan sebagai pengkritik yang baik pula jika aturan yang ada tidak pro rakyat.