Baru-baru ini, sebuah postingan di akun base Twitter (X) dengan username @tanyarlfes sedang ramai diperbincangkan. Postingan tersebut berisikan cerita seseorang yang baru bisa menabung untuk dirinya sendiri setelah membiayai kebutuhan keluarga-nya selama 11 tahun. Tertulis bahwa pengirim menfess tersebut merasa bersyukur lantaran dalam 11 tahun terakhir, sebagian besar penghasilannya dialokasikan untuk menyekolahkan adiknya, melunasi hutang orang tua, hingga bayar kuliahnya sendiri. Dalam curhatan seorang anonim ini juga disebutkan bahwa dirinya telah menjadi sandwich generation.
Dorothy A. Miller (1981) merupakan seorang profesor yang pertama kali memunculkan istilah Sandwich Generation. Menurutnya, sandwich generation ditujukan kepada sekelompok orang yang menanggung hidup dirinya beserta orang tua-nya. Bisa dikatakan juga orang-orang ini harus memiliki tanggung jawab untuk mencukupi kebutuhan ekonomi banyak orang dalam waktu bersamaan. Dinamakan Sandwich Generation karena fenomena ini menyerupai roti lapis yang menghimpit daging, keju, dan sayuran.
Adapun penyebab utama munculnya sandwich generation ini yaitu ketika orang tua sudah tidak lagi produktif dalam menghasilkan uang, maka anak yang sudah bekerja harus meneruskan tanggung jawab orang tua-nya.Â
Bagi banyak orang di negara-negara berkembang seperti Indonesia, Â menganggap bahwa hal ini lumrah dan sudah sepatutnya seorang anak memberikan balas budi karena telah diurus oleh orang tua dari bayi hingga dewasa. Namun, ada kalanya orang yang terjerat dalam situasi sandwich generation merasa terbebani akan hal ini.Â
Terlebih, pada era modern ini kebutuhan manusia semakin beragam, di sisi lain inflasi semakin tinggi. Harga kebutuhan pokok saja sudah melonjak, sedangkan UMR masih terbilang kecil. Lebih mengkhawatirkan lagi, melihat angka pengangguran yang bertambah akibat sedikitnya lapangan pekerjaan di Indonesia.
Dalam usaha untuk berbakti kepada orang tua ini, ada banyak mimpi-mimpi yang harus direlakan, keinginan-keinginan yang harus dikesampingkan, dan harapan-harapan yang harus dihapuskan. Seperti pada kasus yang telah disebutkan di awal, bertahun-tahun bekerja namun baru bisa menyenangkan diri sendiri saat usia 31 tahun. Jika sudah begini, masihkah bisa disebut tanggung jawab atau justru beban?
Entah mau menyalahkan siapa, realitanya generasi muda terus dituntut untuk bisa menghadapi permasalahan-permasalahan yang kompleks. Namun apabila permasalahan yang ada masih itu-itu saja, lantas sebetulnya apa yang perlu dibenahi?
Fenomena ini akan terus berulang apabila rantainya tidak diputuskan. Perlu kesadaran dari diri sendiri untuk menyiapkan biaya masa depan dan mempertimbangkan segala konsekuensinya sebelum memutuskan untuk memiliki anak.
 Karena anak bukanlah investasi yang akan menanggung segala kebutuhan diri sendiri di masa depan, tetapi anak adalah tanggungan yang harus diperhatikan selamanya. Bukan hanya dalam hal materi, tetapi juga rasa sayang dan kehangatan dalam keluarga menentukan keberhasilan dalam mendidik anak.
     Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H