Mohon tunggu...
Frey Immanuel
Frey Immanuel Mohon Tunggu... -

menulis dengan sederhana. \r\n var sc_project=11800296; var sc_invisible=0; var sc_security="c1965a9a"; var scJsHost = (("https:" == document.location.protocol) ? "https://secure." : "http://www."); document.write("");

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Pak Tua dan Papan Tulis Terpanjang

21 Maret 2012   07:20 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:40 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya bertempat tinggal sementara (kost) di daerah Ungaran, Kabupaten Semarang lebih tepatnya di jalan Sindoro 2. Kira-kira sudah hampir satu tahun lamanya. Kos-kosan yang memiliki 5 kamar ini bernuansa nyaman dan lingkungan aman dan tentram, mungkin ini salah satu tempat kos yang paling lama saya tempati, biasanya hanya 3 sampai 4 bulan saya sudah pindah kos. Tunggu, bukan kos-kosan ini yang ingin saya ceritakan tetapi seseorang yang menarik perhatian saya dengan tingkah lakunya.

Pertama saya menginjakkan kaki di tempat kos ini saya dibuat bingung dengan tulisan-tulisan dari kapur di sepanjang jalan masuk. Tulisan-tulisan itu terkadang tidak mempunyai makna. Saya mengira ada orang iseng yang nakal dengan sengaja mau merusak fasilitas publik terutama pagar dan jalan sampai saya memergoki orang yang menulis itu. Ternyata bukan pemuda nakal yang biasa mencorat-coret dinding, tetapi seorang tua dengan pakaian lusuh dan mengikat kepalanya dengan kain yang lusuh juga.

Pak tua ini bertempat tidak jauh dari tempat saya tinggal, hanya berjarak dua ratus meteran. Karena penasaran saya mulai bertanya dengan pak kos tentang pak tua itu. Dari pembicaraan kami ternyata pak tua dulunya adalah seorang londo atau keturunan belanda yang sudah lama menetap didaerah situ. Seorang normal dan cukup berada pada masanya, namun sejak kejadian anak satu-satunya meninggal kecelakaan di jalan raya tidak jauh dari situ ia ditinggal pergi oleh istrinya. Sejak itu pak tua mungkin sudah tidak punya harapan hidup dan depresi. Hal ini yang membuatnya tampak seperti orang gila, ia tidak bekerja, hanya membawa sebuah batu kapur pipih di tangannya. Sekilas ia tampak seperti orang gila yang tidak terawat. Ia tidak cukup gila untuk dikatakan gila, karena ia bisa diajak bicara layaknya orang normal, toh, dia juga tau nama penduduk di sekitarnya.

Setelah tahu hal itu spontan saya juga ikut memperhatikan tulisan-tuisan pak tua. Dari tulisan yang saya baca, sekilas memang tampak hanya tulisan biasa dan tidak beraturan, seperti kumpulan kata-kata pada teka-teki silang. Uniknya ia tidak menulis dengan sembarangan, tapi ada maksud di dalamnya. Tulisannya berisi kekecewaannya dengan pemerintah, orang, institusi bahkan sekolah. Namun masih banyak juga yang sulit dimengerti, hanya pak tua yang tahu. Walau kadang-kadang tulisannya tampak mengganggu pandangan tapi tidak ada seorang wargapun yang memprotes kegiatan uniknya itu, entah karena mereka tau kondisi pak tua, atau mereka memang acuh. Bagi saya pak tua bebas mengemukakan pendapatnya, toh ia tidak mengganggu warga lain, dia juga tidak menggunakan cat yang tidak bisa dihapus dengan air. Dia menggunakan kapur yang mudah dihapus dengan air. Setiap hari tulisannya selalu berganti. Hari ini menulis besok sudah bersih lagi, besoknya ia menulis lagi. Apalagi papan tulisnya tidak akan pernah habis, ia menulis sebanyak apapun tidak akan pernah kehabisan kertas, toh jalan masih panjang.

Melihat pak tua dan tulisannya saya menyimpulkan bahwa bahkan pak tua yang tampak gila ini bahkan lebih waras dari pada tokoh tokoh politik dan penguasa jahat di negeri ini. Bukan niat menyindir, tapi memang semakin ke depan semakin tidak jelas nasib negeri ini. Prihatin, tentu, tapi sejauh mana dampaknya kalau aspirasi dan pendapat hanya sekedar angin lalu. Seperti air yang menyapu tulisan pak tua tadi, tidak membekas. Apakah harus sampai jalan raya di indonesia penuh tulisan baru aspirasi itu bisa terbaca. Salam!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun