Masalah ini ga hanya mempengaruhi kehidupan saya, juga kejiwaan saya. Saya dipaksa untuk pup alias e-e' setiap pukul 5 pagi. Jam segini embun masih membasahi bumi. Kebetulan jamban alias wc di kampung opung saya tidak beratap, seperti bilik dengan tinggi satu meter, bisa liat bintang dan bulan. Apalagi kalo suasana mendukung, awan awan tipis suka lewat, duh keren banget, ini yang bikin saya tahan jongkok lama - lama. Kali ini, suasana beda, saat saya lagi asik - asiknya menikmati sinar rembulan yang sebentar lagi digantikan mentari, tuh e-e' masih nanggung, baru setengah, tiba-tiba opung saya siram saya pake air sumur se-ember. SE EMBER!!! Bukan hanya kedinginan, tuh e-e' naik lagi! ga mau keluar. Ngintip aja takut!
Setelah sebulan mengalami latihan berat seperti ini, saya tidak lulus di militer. Bukan gagal tes, tapi sengaja ga daftar. Saya ga mau hidup saya tersiksa lebih lama lagi. Tapi ada yang berubah dari saya. Saya memang masih suka berlama-lama di wc, berimajinasi, mikir, dan lain-lain, kalo ga ada atap masih asik liatin bintang dan bulan, tapi ada perubahan terjadi. Saya rutin e-e' di pagi hari.
 2016, Januari
Sayangnya, hari ini ketika saya melihat hitamnya pegunungan dihiasi denga birunya langit menjelang pagi, perut saya bergelora. Saya harus melanjutkan rutinitas saya. Dimana??? gelap, cahaya hanya berasal dari warung-warung yang ada di kaki gunung. untuk ke WC saya harus menempuh jalan kaki di medan gelap itu sepanjang 500 meter. Ah, saya memilih menunggu. Paling tidak, sampai mentari mengintip di balik timbunan tanah tinggi itu. Tapi kalo untuk BAK, buang air kecil-kecilan bisalah di sudut sudut remang semak belukar situ.
Dalam pikiran saya, perjalanan ini harus tanpa hambatan, terutama PUP, Permasalahan urusan perut. Jadi saya lebih memilih pembuangan dulu sepuasnya sebelum berjalan-jalan di gunung yang konon katanya ini gunung wisata, Papandayan. Saya yakin tidak ada toilet ber AC diatas, mungkin hanya dataran, pepohonan sebagai dinding-dinding dan beratapkan birunya langit. Tempat terbaik berimajinasi. Setelah pukul 06.00 pagi hari, barulah saya menyempatkan diri mengerjakan rutinitas saya. Di ujung lapangan ada sebuah toilet dijaga dua orang penduduk lokal seharga 2000 rupiah.
Kondisinya emang tidak indah seperti toilet hotel, tapi airnya jernih, dinding-dindingnya penuh coretan anak-anak alay yang bangga akan kehadirannya di tempat itu.
'Jarwo was here', 'Boyolali, I'm in Love', 'anak boedoet', 'Budi love Ani', '0809XXXXXX, balikin sempak gw' '0856XXXXX bukan gw yg pinjem, tanya 0896XXXXX' 'enak aja lo nuduh gw, 0812XXXXX tadi yang terakhir pake' '0809XXXXXX, yah, gw bole pinjem jg tu barang, gmana dong?'
Begitulah kira-kira, saya masih heran, kenapa mereka jadi primitif begini. Cukup. Intinya, saya bisa dengan lega mengeluarkan isi perut, walau tidak senyaman itu, dan ada gangguan-gangguan suara juga dari bilik sebelah. Ah, saya tidak peduli, lanjutin aja. Begitu kelar, saat cebok saya merasakan betapa saya kurang bersahabat sama alam. Airnya dingin bangeet. Ampe pantat saya berasa keriput. untuk uda kelar, kalo belum bisa masuk lagi tu e-e'. Sampe sampe saya nervous, air yang dingin itu ga hanyaa mebasahi pantat, tetapi juga membasahi sepatu kets satu-satunya yang saya bawa. Ini baru di kaki gunung, belom di atas, bisa beku kegnya.
Ketakutan saya tidak segera berakhir, bagaimana kelak di atas, saya harus menunda rutinitas saya, setidaknya sampai kembali ke tempat ini. Di atas sana, entah petualangan atau penderitaan menunggu, saya hanya bisa berharap, gejolak perut ini bisa reda.
Perjalanan pun di mulai dengan, foto-foto.
Â