Beberapa waktu lalu (baca: Kamis, 11/11/19, pukul 23.00 WITA), saya mengajak teman saya, Ravim namanya, untuk mengusir seekor tokek yang ada di dalam kamar saya, persis di bawah tempat tidur.
Mendengar nama tokek, teman saya itu lantas mengatakan; Teman, saya paling takut, yang namanya tokek, terutama bola matanya," pungkasnya.
"Saya juga sebetulnya tak kalah takutnya," jawab saya.
Sebelum ke kamar, kami masih menyusun rencana; Apa yang harus kami bawa; lalu di mana posisi kami harus berdiri, dan harus diarahkan keluar lewat jalur mana.
Apapun caranya, tokek itu, malam ini, harus keluar dari kamar saya.
Teman saya, Ravim mengambil sebatang kayu, lalu mulai mengorek satu persatu, mulai dari sepatu, ember, gardus, cover, hinggah usuk-usuk bagian bawah tempat tidur.
Lantas, ia mengatakan," Teman, seandainya, tokek itu tiba-tiba melompat ke arah saya, saya pastikan, saya pingsan," pungkasnya.
Sambil menjaga jarak, dibarengi dengan langkah-langkah kecil penuh wanti-wanti, diiringi tawa dengan suara halus, karena memang malam pun makin larut, kami pun mulai beraksi.
Alhasil, tokek yang sebelumnya ada di kamar saya itu, tidak kami temukan. Tidak tahu ke mana. Kami hanya pastikan, kemungkinan tokek itu telah keluar lewat bouven jendela yang kebetulan ada celanya.
Seusai berupaya semampu mungkin, kami kembali duduk di tempat semula; tempat kami menyusun rencana sebelumnya.
Dialog ringan berkembang; ternyata masih ada sisi kemanusiaan yang takluk, sekalipun terhadap binatang sekecil tokek.