Mohon tunggu...
Yudel Neno
Yudel Neno Mohon Tunggu... Penulis - Penenun Huruf

Anggota Komunitas Penulis Kompasiana Kupang NTT (Kampung NTT)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Membangun Budaya Sahabat dengan Kekuatan Senyum

24 Juli 2019   16:16 Diperbarui: 24 Juli 2019   16:22 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Filsuf asal Prancis, Emmanuel Levinas sejak lama mengutarakan idenya tentang sosialitas manusia. Sosialitas itu diungkapkan melalui ide tentang etika wajah.

Secara etis, ketika memandang wajah sesama, kita terpanggil, bertanggung jawab untuk memberi dan melayani yang lain.

Apa yang diungkapkan oleh Martin Buber tentang aku-engkau, apa yang diungkapkan Gabriel Marcell tentang aku-engkau menyatu dalam kita, apa yang termakhtub dalam Kita Suci, oleh Santo Paulus dalam Filipi, 2:4-5 tentang janganlah setiap orang memperhatikan kepentingannya sendiri melainkan kepentingan orang lain juga, merupakan pembelajaran bermakna yang perlu dihayati dalam sosialitas manusia.

Setiap kita terpanggil untuk menyelamatkan yang lain, ketika kita saling memandang dari wajah ke wajah. Senyum yang indah adalah pesona inner beauty untuk memahami bahwa setiap insan adalah sosok berharga yang layak dihormati dan pantas untuk dikagumi.

Saya terkesima dengan pesona senyum Bapak Uskup Atambua, Mgr. Dr. Dominikus Saku, Pr, Pater Vikjen Keuskupan Atambua, Pater Vincent Wun, SVD dan Rm. Sel Nesi, Pr, Ekonom Keuskupan Atambua, sebagaimana saya jadikan foto profil tulisan ini.

Memperhatikan dengan saksama gambar itu, saya terkesima untuk memaknainya karena memang memaknai sesuatu adalah terlalu indah untuk dilupakan.

Senyum persahabatan! Vos Amici Mei Estis, itulah motto Bapa Uskup Atambua, Mgr. Domi Saku, Pr. Vos Amici Mei Estis, Kamulah Sahabat-Sahabatku. Aku memanggil kamu sahabat, karena seorang sahabat, ia tahu ke mana rekannya pergi dan kapan rekannya datang.

Ketika menulis ini, saya menulisnya dengan senyum. Saya ingin mengabadikan senyum itu dalam tulisan ini. Dan saya ingin pembaca, membacanya dengan senyum.  

Ketika saling memandang dari wajah ke wajah, saya sadar bahwa senyum adalah bahasa bathin yang secara perlahan namun pasti, menyingkapkan pesona persahabatan.

Vos Amici Mei Estis, Kamulah Sahabat-Sahabatku. Aku ingin senyum bukan hanya kamulah sahabatku, tetapi aku ingin senyum supaya kita bersahabat.

Tersenyumlah ketika saling memandang dari wajah ke wajah sebab atas cara itu kita telah menghadirkan penglihatan yang membahagiakan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun