Kutitipkan huruf-huruf hidup bersama kecewa, padamu angin barat. Meniuplah kursi-kursi harapan rakyat, bila perlu hingga kursi-kursi itu terbenam. Kursi-kursi itu bertuan, tetapi penuh sengat hingga alas-alasnya.
Kupinta ini bukanlah kutuk. Entahlah, darimana asalnya, dan ke mana bertiupnya. Mungkin supaya para insan, bersiaga dan memetik hikmahnya. Biar mata sedikit terbelalak, asalkan sadar dikembalikan pada nasib si cilik.
Ingin kujadi Iwan Fals, biar kunyanyi bebas dalam indah demi suara yang tak tersampaikan.
Aku akan membunuhmu, bukan dirimu tetapi sikapmu yang membelakangi cermin pilihan kamarmu. Pada cermin itu, tertulis melupa diri dengan balik belakang ingin tinggalkan tangisan si cilik dengan pesona angkuh di kata.
Huruf-huruf hidup, kembalilah mengutuk mulutnya dengan memanaskan kesatuan kata membakar mulutnya yang suka arogan. Bukan hanya arogan, tetapi arogannya tak peduli orang-orang yang telah memilihnya. Â
Ingin kubunuh arogansimu. Aku nekad, sebab Pancasila Negeri, dari sononya telah mengizinkan hukum Negeri ini untuk menumpas kursi dan tuannya yang suka arogan.
Sekali lagi, tak kubunuh dirimu tetapi arogansimu dengan meminta restu Pancasila Negeri ini, alam dunia ini, demi memekikkan nasib manusia sejagad raya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI