Hidup manusia terdiri dari aktivitas-aktivitas. Dalam kaitannya dengan politik, aktivitas menempatkan manusia sebagai aktor politik
 Sebagai aktor politik, memperjuangkan setiap figur yang layak untuk menduduki kursi jabatan politik adalah hak setiap warganegara.
Perjuangan seperti ini, karena berkaitan langsung dengan hajatan hidup orang banyak maka sangat diperlukan adanya aturan yang mengikat. Mustahil, kalau berjuang tanpa aturan untuk mencapai sesuatu yang teratur. Dalam arti ini, terhadap seorang sukarelawan  politik diperlukan aturan yang mengikat.
Prinsip ini perlu, demi menghindari tindakan sesuka hati dari para sukarelawan politik, para calon maupun partai politik. Bagaimana aturan itu dirumuskan, tentu menjadi tugas dari pihak perumus yang berwewenang.
Menurut hemat saya, korelasi tanpa aturan antara sukarelawan, calon yang diidamkan, dan partai politik, darinya besar kemungkinan bagi lahirnya konflik internal antar mereka yang rumit untuk dibendung.
Para sukarelawan bisa saja menyamaratakan peran mereka ibarat partai politik, walaupun secara formal, mereka bukanlah organisasi politik yang sah. Bayangkan saja, partai politik yang jelas aturannya, itupun tidak sedikit problemnya, apalagi korelasi tanpa aturan. Â
Dampak negatif nekat muncul berseliweran, berupa saling memanfaatkan, saling menguntungkan, saling merugikan, saling mendiskreditkan, saling diskriminasi antar para pendukung kalau fenomen aksi para sukarelawan terus dibiarkan tanpa aturan yang mengikat. Apalagi hukum negara Indonesia ini, tidak mengenal asas non-retroaktif, tentu di satu sisi menjadi alasan tersendiri bagi para sukarelawan untuk bertindak secepat mungkin sebelum adanya hukum yang mengatur.
Memang diakui bahwa merupakan hak setiap warganegara untuk memperjuangkan figur tertentu tetapi harus tetap diingat bahwa hak-hak itu perlu dibatasi, karena masih terdapat hak dari sesama yang lain. Pembatasan hak ini terlaksana secara tegas melalui adanya aturan yang mengikat.
Para sukarelawan memang bebas menentukan tetapi mereka tidak sebebas-bebasnya. Diperlukan paradigma kritis bahwa bahwa dengan adanya aturan yang mengikat, para sukarelawan dibebaskan pula dari berbagai tekanan yang datang dari figur yang didukungnya atau dari partai politik yang mengusung figur terkait. Para sukarelawan perlu mempertimbangkan bahwa hak dan martabat mereka, justru makin dihargai kalau ada batasan-batasan yang mengatur melalui aturan.
Cukup rumit untuk mengidentifikasi motivasi keterlibatan para sukarelawan di tengah aksi politik serba perhitungan seperti sekarang. Entah karena mereka sendiri suka, atau karena mereka dibayar, atau karena mereka diinstruksikan oleh pihak tertentu, atau karena mereka merasa seasal. Semua kemungkinan identifikasi ini bisa terjadi, tetapi tuntutan kritis para sukarelawan terhadap posisi martabat mereka adalah jangan sampai mereka diperalat oleh figur tertentu atau oleh partai tertentu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H