Kalau kita perhatikan baik-baik setiap status ataupun komentar pada page Facebook, salah satu tindakan yang menarik untuk diperhatikan adalah mengucapkan selamat ulang tahun, juga berupa doa kepada mereka yang berulang tahun. Berbagai ucapan serta doa itu, kalau mau dibundelkan, tebalnya bisa tak terhingga.
Saya memiliki pengalaman menarik tentang doa Facebook, dan judul ini merupakan elaborasi dari pengalaman itu. Suatu ketika saya bercerita bersama seorang bapak. Bapak itu menceritakan kalau ia benar-benar sibuk dengan profesinya. Saking sibuknya, bertepatan dengan puteranya yang akan berulang tahun, lagipula si putera itu lagi berlibur di rumah omanya, bapak itu spontan mengatakan bahwa tinggal saja mendoakan si putera yang akan berulang tahun itu lewat Facebook.
Mendengar pernyataan itu, awalnya saya merasa biasa saja. Setelah merenungkannya, saya benar-benar terkesima, betapa kemajuan zaman melalui berbagai media sosial, memudahkan segala hal. Hemat saya, ungkapan si bapak itu, mungkin saja bercanda, tetapi ada suatu nilai yang boleh saya sebut sebagai "yang mundur".
Penyebutan "mundur" ini ditinjau dari tindakan orang beriman kalau ia berdoa. Hemat saya, fenomen yang terjadi khususnya dalam Facebook, diperlukan suatu pemurnian pola pikir. Patut diingat bahwa berbagai ucapan dan doa, akan lebih berharga nilanya kalau tindakan itu disampaikan dengan penuh keyakinan tanpa suatu intensi popularitas.
Saya sangat yakin bahwa doa-doa ulang tahun yang diucapkan via FB, pada prinsipnya bercorak demonstratif. Maksudnya ialah biar supaya doa itu dapat disaksikan oleh rekan-rekan FB lainnya. Sementara, sebagai orang beriman, kita yakini bahwa doa yang sesungguhnya adalah doa yang tertuju kepada Sang Illahi bukan hanya sebatas pada pajangan status dan rumusan doa pada FB.
Banyak kali saya menyaksikan, doa-doa yang diupload dalam status FB, justru memungkinkan peluang bagi berkembangnya diskusi, saling komentar dan saling sindir. Sementara doa yang sesungguhnya, karena merupakan ekspresi relasional dan privasial bersama dan tertuju kepada Sang Illahi, maka sebenarnya tidak untuk didiskusikan. Doa yang sesungguhnnya adalah doa itu sendiri, bukan diskusi tentang doa, atau pajang doa pada status FB.
Dengan analisis di atas, saya menemukan adanya suatu kejanggalan teologis yang berpadanan dengan kehendak zaman ini, di mana insan-insan modern tengah menjadikan media sosial sebagai tuannya mereka, atau dengan kata lain, mendewakan media sosial. Â Bukti pendewaan media sosial, khususnya FB adalah doa-doa kepada yang berulang tahun secukupnya dan berhenti hanya sebatas sebagai status FB.
Saya sangat yakin bahwa pajangan doa-doa FB itu tidak disertai dengan keyakinan yang tulus. Zaman di mana berkembangnya teknologi, yang memungkinkan tingginya pencarian popularitas diri, dan pajangan demonstratif, di sana keyakinan yang tulus pun menjadi sesuatu yang sangat diragukan.
Hemat saya, doa yang baik sangat bergantung pada motivasi untuk berdoa murni atau tidak. Keyakinan yang sifatnya digital pada akhirnya akan terputus-putus atau bahkan hilang ibarat mandegnya jaringan telkomsel, entah karena gangguan cuaca ataupun karena memang disengajakan demikian.
Doa yang seharusnya ditujukan kepada Sang Illahi, kini direduksi hanya sebatas pada status FB. Doa-doa yang sifatnya daring, sebenarnya digerakkan oleh suatu motivasi pertemanan FB. Tentu secara antropologis, tindakan seperti ini terhormat adanya. Tetapi patut digarisbawahi bahwa manusia, apalagi FB bukanlah tujuan doa. FB adalah sarana tetapi karena sarana ini sifatnya daring maka keyakinan untuk berdoa sangat diragukan.
Hemat saya, doa yang baik adalah doa yang dilakukan dengan penuh keyakinan dan ditujukan secara langsung kepada Sang Illahi. Maksud ini bertepatan secara tegas dengan arti doa yakni doa merupakan pembicaraan secara pribadi bersama Sang Illahi demi syukur, ataupun demi memohonkan sesuatu.