Autentisitas membedakan hubungan manusia dengan sesamanya (Vorhendenes) dan hubungan manusia dengan  benda-benda (Zuhandenes). Kebersamaan manusia dengan benda-benda bersifat terbatas dan tertutup tanpa interkomunikasi. Hubungan dengan benda-benda bersifat fungsional dan aksidental sementara hubungan manusia dengan sesamanya adalah mutlak, perlu dan tak terhindarkan.Â
Hubungan itu terjadi dengan subyek yang memberi dan subyek yang menerima. Subyek hanya menjadi dirinya sendiri karena kehadiran orang lain yang menunjang perkembangannya. Dengan ini, kehadiran orang lain menjadi begitu penting, tak bisa diabaikan begitu saja apalagi ditolak karena dianggap mengganggu setiap keberadaan.
Sosialitas melahirkan fakta tentang keberagaman. Keberagaman menjadi tampak jelas terlebih dalam membaca kehidupan modern ini. Pluralisme sosial, kultural, religius dan etis menjadi panorama yang terpampang pada alam masyarakat modern.Â
Selain itu, era globalisasi juga memampangkan kebhinekaan yang kompleks sebagaimana terjadi dalam negara-negara yang saling berpengaruh baik dalam bidang ekonomi, filsafat dan ilmu pengetahuan, kedokteran dan teknik, pendidikan menengah dan perguruan tinggi, musik, sastra, arsitektur dan seni. Inilah realitas conditio humana kita kini.Â
Semua itu datang dari subyek-subyek yang berlainan dengan cara pandang dan ideologi yang berbeda dalam mengungkapkan dirinya. Kita mengenal yang lain serentak menerima situasi-situasi yang beragam.
Menyadari sosialitas sebagai kodrat manusia kita pun harusnya mengakui bahwa pluralisme dalam dirinya sesungguhnya bukan sebuah persoalan. Sebaliknya yang menjadi persoalan adalah egoisme sebagaimana dikatakan Immanuel Kant bahwa lawan dari pluralisme adalah egoisme subyek yang hanya puas dengan dirinya sendiri dan tidak komunikatif.
Secara netral, pluralisme adalah keadaan yang menggambarkan kondisi masyarakat yang berbhineka dan terdiferensiasi. Pluralisme juga dipandang sebagai sebuah nilai positif sebab dari sudut pandang normatif dapat diinterpretasi sebagai basis nilai dari sebuah kehidupan bersama.
Sebagai sebuah fakta, kita tak bisa menolak adanya pluralisme. Menolak pluralisme berarti menyangkal sosialitas. Pluralisme bukanlah hal yang miris melainkan sepadan dengan apa yang ada pada kodrat manusia sebagai makhluk sosial. Yang menjadi persoalan adalah bagaimana orang sanggup menghidupi panggilannya di tengah keadaan yang semakin plural? Bagaimana ia tetap berada dalam panggilanya tanpa menyimpang ke jalan orang lain atau mengambil yang bukan menjadi porsinya?
Kuat Dalam Panggilan di Tengah Keberagaman
Dalam kehidupan modern yang dihiasi oleh beragam ada sebagaimana disebutkam di atas, kesetiaan panggilan kita semakin ditantang sebab ada berbagai macam tawaran. Tawaran itu bisa jadi peluang sekaligus tantangan.Â
Peluangnya adalah kualitas panggilan kita semakin dipertegas karena pada hakekatnya kualitas panggilan diuji dalam kebersamaan dengan yang lain. Kebersamaan itu tersusun dari unsur-unsur yang berlainan dan berlawanan.Â