Di indonesia syarat-syarat dalam penjatuhan pidana meliputi unsur objektif dan subjektif. Unsur objektif berupa perbuatan pidana dan unsur subjektif adalah merupakan pertanggungjawaban pidananya. Perbuatan pidana ( actus reus ) merupakan perbuatan yang di larang dengan rumusan undang-undang dan bagi siapapun yang melanggar akan dikenai sanksi pidana.
Salah satu syarat utama lainnya dalam pemidanaan adalah pertanggungjawaban pidana. Hal tersebut adalah sesuatu yang ada pada diri seseorang tersangka atau terdakwa yang menentukan apakah orang tersebut dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya atau tidak. yang merupakan unsur subjektif pemidanaan.
Pertanggungjawaban pidana terdapat pada diri seseorang yang
memiliki kemampuan untuk bertanggung jawab secara pidana. Seseorang
dapat dikatakan dapat bertanggung jawab secara pidana bila:
1. Mampu mengetahui bahwa perbuatannya bertentangan dengan
hukum;
2. Mampu menentukan kehendaknya dengan kesadarannya.
Bila satu syarat pemidanaan tidak lengkap maka, seseorang tidak
dapat dikenai sanksi pidana. Demikian dapat disimpulkan bahwa orang
yang melakukan perbuatan pidana belum dapat dijatuhi hukuman pidana,
tergantung apakah orang tersebut dapat dimintakan pertanggungjawaban
pidana ataukah tidak. Sebaliknya, orang yang dijatuhi sanksi pidana, sudah
pasti telah melakukan suatu perbuatan pidana yang dapat dipertanggung
jawabkan olehnya.
Niat atau mens rea adalah salah satu faktor yang menjadi tolak ukur
untuk menentukan apakah seseorang dapat dipertanggungjawabkan secara
pidana ataukah tidak. Mens Rea dapat diartikan sebagai niat jahat yang ada
dalam diri pelaku tindak pidana. Para penganut paham dualistis
memisahkan antara kesalahan (mens rea) dengan perbuatan pidana (actus
reus). Mens rea merupakan mental element sementara actus reus
merupakan physical element. Paham ini didasari dengan asas “actus non
facit reum nisi men sit rea”atau bila diartikan adalah tidak ada suatu
perbuatan yang dapat dikenakan sanksi pidana bila tidak ada niat jahat di
dalamnya.
Sehingga suatu perbuatan dianggap telah melanggar hukum dan dapat dikenakan sanksi pidana, harus dipenuhi dua unsur tersebut, yaitu adanya unsur actus reus (physical element) dan unsur mens rea (mental element). Unsur actus reus adalah esensi dari kejahatan itu sendiri atau perbuatan yang dilakukan, sedangkan unsur mens rea adalah sikap batin pelaku pada saat melakukan perbuatan.
Dalam ilmu hukum pidana, perbuatan lahiriah itu dikenal sebagai actus reus, sedangkan kondisi jiwa atau sikap kalbu dari pelaku perbuatan itu disebut mens rea. Jadi actus reus adalah merupakan elemen luar (external element), sedangkan mens rea adalah unsur kesalahan (fault element) atau unsur mental (mental element).Seseorang dapat dipidana tidak cukup hanya karena orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Sehingga, meskipun perbuatannya memenuhi rumusan delik dalam peraturan perundang-undangan dan tidak dibenarkan (an objective breach of a penal provision) namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Hal ini karena harus dilihat sikap batin (niat atau maksud tujuan) pelaku perbuatan pada saat melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum tersebut.
Perbuatan melawan hukum dianggap sebagai unsur dari setiap tindak pidana, hal ini berdasarkan pendapat doktrin Satochid Kartanegara membedakan dalam dua bentuk yaitu:
1. Wederrechtelijk formil yaitu apabila
sesuatu perbuatan dilarang dan
diancam dengan hukuman oleh
undang-undang.
2. Wederrechtelijk materiil yaitu sesuatu
perbuatan mungkin wederrechtelijk
walaupun tidak dengan tegas
dilarang dan diancam dengan
hukuman oleh undang-undang.
Dengan demikian wederrechte-lijk
formil bersandar pada undang-undang,
sedangkan wederrechtelijk materiil tidak
bersandarkan pada undang-undang,
melainkan pada asas-asas umum yang
terdapat di dalam lapangan hukum, atau
apa yang dinamakan algemene
beginselen.
Berkaitan dengan asas hukum
pidana yaitu Geen straf zonder schuld,
actus non facit reum nisi mens sir rea,
bahwa tidak dipidana jika tidak
ada kesalahan, maka pengertian tindak
pidana itu terpisah dengan
yang dimaksud pertanggungjawaban
tindak pidana. Tindak pidana hanyalah
menunjuk kepada dilarang dan
diancamnya perbuatan itu dengan suatu
pidana, kemudian apakah orang yang
melakukan perbuatan itu juga dijatuhi
pidana sebagaimana telah diancamkan
akan sangat tergantung pada soal
apakah dalam melakukan perbuatannya
itu si pelaku juga mempunyai kesalahan.
Pembuktian merupakan hal yang sangat
menentukan apakah seseorang yang
berbuat kesalahan dapat dijatuhkan
pidana atau tidak, sehingga seharusnya
didalam proses pembuktian bukan saja
alat bukti yang diajukan namun juga
harus mempertimbangkan dan
membuktikan unsur niat dan mens rea ,
karena perbuatan dianggap telah
melanggar hukum dan dapat dikenakan
sanksi pidana, harus dipenuhi dua
unsur, yaitu adanya unsur actus reus
(physical element) dan unsur mens
rea (mental element)
Sehingga Seseorang dapat dipidana tidak cukup hanya karena orang itu telah
melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan hukum atau
bersifat melawan hukum. Sehingga,
meskipun perbuatannya memenuhi
rumusan delik dalam peraturan
perundang-undangan dan tidak
dibenarkan (an objective breach of a
penal provision) namun hal tersebut
belum memenuhi syarat untuk
penjatuhan pidana sesuai dengan
asas Geen straf zonder schuld, actus
non facit reum nisi mens sir rea.
Di harapkan dalam praktek penegakan hukum para penegak hukum mulai dari kepolisian, jaksa hingga hakim seharusnya
memperhatikan kelengkapan syarat pemidanaan terlebih dahulu.
Pemidanaan tidak serta merta dilakukan hanya dengan melihat aspek
objektifnya saja. Tidak berarti dengan adanya suatu kejadian atau
peristiwa yang masuk dalam delik pidana menurut undang-undang
membuat seseorang dikenakan sanksi pidana. Perhatian juga harus
diberikan terhadap unsur daripada pertanggungjawaban pidana yaitu
niat atau mens rea. Karena mens rea atau niat merupakan bagian dari
unsur kesalahan yang harus dibuktikan untuk melengkapi kelengkapan
syarat pemidanaan.
REFERENSI