Pada dasarnya, perkawinan itu dilangsungkan berdasarkan atas syarat-Syarat perkawinan yang ditentukan pada Pasal 6 sampai dengan Pasal 12 Undang-Undang Perkawinan. Syarat-syarat tersebut terbagi menjadi syarat Materil yang menyangkut pribadi calon suami dan calon istri dan syarat Formil yang menyangkut formalitas atau prosedur yang harus dilakukan bila Seseorang akan melaksanakan perkawinan, termasuk melakukan pencatatan Perkawinan di kantor pencatatan perkawinan.
Selanjutnya Perceraian merupakan alternatif terakhir sebagai "pintu darurat" yang Boleh ditempuh, manakala bahtera kehidupan rumah tangga tidak dapat lagi Dipertahankan keutuhan dan kesinambungannya. Setelah terjadi perceraian Bukan berarti persoalan-persoalan rumah tangga langsung berakhir justru Dengan adanya perceraian banyak persoalan yang harus diselesaikan oleh Mantan suami istri salah satunya adalah mengenai persoalan harta bersama Dan pengaturanya. Permasalahan ini di anggap penting untuk dicantumkan Dalam komplikasi Hukum Islam, mengingat dunia perkawinan selain Berbicara mengenai ketenangan hidup juga tidak terlepas dari segala Kemungkinan yang pahit dalam kehidupan rumah tangga. Perceraian, salah Satu sengketa rumah tangga yang terburuk yang mungkin terjadi bagi siapa Saja, perlu mendapat antisipasi dan pembelajaran sebelumnya agar para Pasangan suami istri merasa siap dalam menghadapi konflik-konflik yang Mungkin terjadi di kemudian hari, termasuk masalah pembagian harta Bersama ketika terjadi perceraian. ( Husni Syafali,Pengurusan (Bestuur) Atas Harta Kekayaan Perkawinan, (Graha Ilmu : Yogyakarta,2009)
Disamping soal hak dan kewajiban, persoalan harta benda Merupakan pokok pangkal yang dapat menimbulkan berbagai Perselisihan atau ketegangan dalam hidup perkawinan,sehingga mungkin Akan menghilangkan kerukunan hidup rumah tangga. Berhubungan Dengan itu, Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Memberikan ketentuan-ketentuan sebagaimana dicantumkan dalam Psal 35 sampai dengan Pasal 37. Ditentukan bahwa tentang harta-benda yang Diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama jika suami istri Masing-masing membawa harta ke dalam perkawinannya atau dalam Perkawinannya itu masing-masing memperoleh harta karena hadiah atau Warisan, maka harta tersebut tetap masing-masing menguasainya, kecuali Jika ditentukan untuk dijadikan harta bersama. Tentang harta bersama, baik suami atau istri dapat Mempergunakannya dengan persetujuan salah satu pihak. Sedangkan Harta bawaan, suami istri mempunyai hak sepenuhnya masing-masing Atau harta bendanya itu. Apabilah perkawinan putus, maka tentang harta Bersama dinyatakan diatur hukumnya masing-masing.
Maka berdasarkan uraian yang diatas tersebut ada beberapa konflik-konflik yang dapat timbul bedasarakan penjelasaan maupun penyelesaiannya adalah sebagai berikut:
1. kedudukaan harta bersama dan harta bawaan dalam perkawinan.
Pada undang-undang perkawinan, mengenai harta benda perkawinan diatur dalam pasal 35 sampai dengan pasal 37, undang-undang perkawinan menegaskan bahwa harta benda yang di peroleh selama perkawinan adalah harta bersama, sehingga semua harta yang di beli atau di peroleh selama perkawinan adalah harta bersama, walaupun harta tersebut di atas namanya salah seorang, baik suami maupun istri. Mengenai harta bersama suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak dengan kewenangan yang sama dan seimbang.
Mengenai harta bawaan dari masing-masing pihak, suami atau istri dan harta benda yang di peroleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing pihak sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Hal ini di nyatakan tegas dalam pasal 35 ayat 2 undang-undang perkawinan. Sehingga semua harta benda yang di peroleh selama perkawinan berlangsung, baik karena hasil kerja suami atau hasil kerja istri tetap menjadi harta bersama dan bukan sebagai harta masing-masing pihak.
Bedasarkan undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, mengatur harta benda perkawinan, terbagi atas menurut buku dari wahyono darmabrata,2002:104:
a. harta bersama adalah harta yang diperoleh sepanjang perkawinan berlangsung hingga perkawinan berakhir atau putusnya perkawinan akibat perceraian, kematian, maupub pengadilan. harta bersama meliputi harta yang diperoleh sepanjang perkawinan berlangsung; harta yang di peroleh sebagi hadiah; utang-utang yang timbul selama perkawinan kecuali yang merupakan harta pribadi masing-masing suami istri.
b. harta bawaan adalah harta yang dibawa oleh masing-masing pihak suami istri yang merupakan harta tetap dibawah penguasaan suami istri sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian kawin. dengan kata lain harta ini adalah harta milik pribadi masing-masing suami istri sebelum mereka melangsungkan perkawinan. harta bawaan meliputi harta yang dibawa kedalam perkawinan termasuk utang yang belum dilunasi sebelum perkawinan berlangsung; harta benda yang diperoleh suami atau istri karena warisan, hadiah atau pemberian dari pihak lain kecuali di tentukan lain; hasil dari harta milik pribadi suami istri sepanjang perkawinan berlangsung termasuk hutang yang timbul akibat pengurtusan harta milik pribadi tersebut.
dalam undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan diatur bahwa perjanjian kawin dibuat sebelum perkawinan berlangsung dan didaftarkan pada pejabat perkawinan pada saat perkawinan dilangsungkan. isi dari perjanjian kawin tersebut biasanya mengenai kesepakatan pihak suami dan istri mengenai kedudukan harta benda perkawinan, baik mengenai harta benda yang telah ada sebelum perkawinan terjadi dan atau harta benda yang terbentuk saat perkawinan berlangsung.
2. keabsahan jualbeli tanpa persetujuan suami/istri serta akibat hukum.
Dalam praktek pengadilan, ada Putusan Mahkamah Agung No.701K/Pdt.1977 yang kaidah hukumnya menyatakan, "jual beli tanah yang merupakan harta bersama disetujui pihak istri atau suami, harta bersama yang dijual suami tanpa persetujuan istri adalah tiada sah dan batal demi hukum. Sertifikat tanah yang dibuat atas jual beli yang tidak sah tidak mempunyai kekuatan hukum"
Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyatakan, "mengenai harta bersama suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak"
Prinsipnya, harta bersama adalah hak bersama suami dan istri. Sehingga bila ingin menjual atau mengalihkan harta bersama harusber dasarkan kesepakatan bersama suami dan istri.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, jelas bahwa suami atau Istri tidak boleh menjual harta bersama tanpa persetujuan suami atau istri (keduabelah pihak) bila jual beli terjadi tanpa persetujuan kedua belah pihak, maka jual beli tersebut batal demi hukum.
maka akibat hukum yang timbul dari tidak sahnya jualbeli tanpa sepengetahuan suami istri tersebut dikategorikan sebagai penggelapan dan melakukan upaya hukum gugatan ke pengadilan atas dasar perbuatan melawan hukum dan bisa di kategorikan sebagai penggelapan.
Â
3. Peralihan hak atas harta benda perkawinan.
pasal 36 undang-undang perkawinan  mengatakan bahwa mengenai harta bersama, suami istri bertindak secara bersama atau dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. Sedangkan  mengenai harta bawaan masing-masing suami pihak suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.
peralihan dan pemindahan hak adalah suatu perbuatan hukum yang bertujuan memindahkan hak dari suatu pihak kepada pihak lain. dialilhkannya suatu hak menunjukan adanya suatu perbuatan hukum yang disengaja dilakukan salah satu pihak dengan maksud memindahkan hak miliknya kepada orang lain. dengan demikian pemindahan hak milik tersebut diketahui dan diinginkan oleh pihak yang melakukan peralihan. pembuktian status harta benda perkawinan tersebut, dapat dijadikan dasar untuk menentukan persyaratan yang harus dipenuhi agar peralihan hak atas harta tersebut memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. akan tetapi dalam kenyataan pelaksanaanya dilapangan hingga saat ini peralihan hak terhadap harta bawaan masih menggunakan ketentuan dalam peralihan hak terhadap harta bersama. hal ini disebabkan karena masih terdapat celah atau kemungkinan yang menyebabkan pembuktian status harta benda tersebut menjadi tidak pasti, terutama bagi harta bergerak.
Proses peralihan harta benda perkawinan dapat dilakukan dengan berbagai cara sesuai dengan bentuk harta benda tersebut, baik itu benda bergerak maupun tidak bergerak. Pada proses peralihan harta benda peralihan,yang utama adalah melakukan pembuktian mengenai status harta benda tersebut sehingga dapat dinyatakan pihak atau para pihak yang berhak mengalihkannya. Proses pembuktian yang terkadang diabaikan dalam melakukan proses peralihan hak atas harta benda perkawinan biasa dapat menimbulkan suatu permasalahan terlebih apabila terjadi saat putusnya perkawinan, baik karena kematian ataupun perceraian. Hal ini dapat juga menimbulkan permasalahan/kerugian terhadap pihak ketiga sebagai penerima peralihan hak yang beritikad baik.
perlu adanya keyakinan dan penegakan pelaksaan peraturan perundang-undangan yang berlaku pada pejabat yang berwenang dalam peralihan hak juga pengetahuan pada masyarakat dan penegak hukum. sehingga apabila harta bawaan tersebut akan dialihkan dapat dilakukan sendiri oleh pemegang haknya tanpa harus khawatir ada gugatan dari pihak pasangannya suami atau istri yang tidak berhak atas harta bawaan tersebut. diperlukan pula perlindungan hukum terhadap pihak ketiga yang beritikad baik sebagai pihak penerima peralihan harta bawaan yang sudah dilakukan secara benar sesuai dengan peratuan perundang-undangan.
hal ini disebabkan karena tidak ada penjelasan yang rinci dalam undang-undang perkawinan mengenai wujud dari harta bersama dan harta bawaan. undang-undang hanya menyebutkan bahwa harta bersama adalah harta yang diperoleh selama perkawinan . sedangkan harta mengenai harta bawaan , tidak ada atau belum ada penjelasan secara rinci mengenai hal tersebut. sehingga dapat memungkinkan terjadi kerancuan dalam pengelompokan harta benda dalam suatu keluarga. kerancuan tersebut dapat menjadi suatu permasalahan apabila harta benda perkawinan tersebut akan dialihkan baik karena proses perceraian maupun bukan proses perceraian.
Â
REFERENSI
Husni Syafali, Pengurusan (Bestuur) Atas Harta KekayaanPerkawinan, Graha Ilmu : Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Yogyakarta, 2009
Anshary, Harta Bersama Perkawinan dan Permasalahannya,Bandung, Mandar Maju, 2016
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, bandungMandar Maju, 2007
Â
Peraturan Perundang-undangan:
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Putusan Mahkamah Agung No. 701K/Pdt.1977
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H