Era globalisasi dan kemajuan teknologi telah mengubah lanskap bisnis secara drastis, memungkinkan individu dan perusahaan untuk melakukan transaksi bisnis secara global dengan lebih mudah. Perdagangan internasional telah menjadi salah satu pendorong utama aktivitas ekonomi, memungkinkan perusahaan untuk memperluas pasar dan meningkatkan efisiensi operasional mereka. Dampaknya, banyak perusahaan yang awalnya beroperasi hanya di satu negara kini menjadi perusahaan multinasional yang beroperasi di berbagai belahan dunia.
Namun, seiring dengan meningkatnya aktivitas bisnis global, muncul pula masalah terkait dengan perpajakan. Pemerintah di berbagai negara, termasuk Indonesia, harus berjuang untuk memastikan bahwa perusahaan multinasional yang beroperasi di wilayah mereka membayar pajak sesuai dengan yang seharusnya. Meskipun demikian, banyak perusahaan melakukan praktik BEPS (Base Erosion and Profit Shifting) dimana perusahaan yang cenderung menghindari pajak dengan memanfaatkan celah-celah peraturan perpajakan yang ada.
Salah satu praktik yang sering digunakan adalah transfer pricing, di mana perusahaan menentukan harga dalam transaksi mereka yang mungkin tidak sesuai dengan nilai pasar, tetapi lebih untuk memindahkan keuntungan ke negara dengan tarif pajak rendah atau bahkan tidak ada sama sekali (Tax Haven Country). Meskipun praktik ini sering dianggap legal, namun dalam beberapa kasus, hal ini dapat menyebabkan erosi basis pajak domestik dan pergeseran keuntungan di suatu negara. Misalnya di Indonesia, pajak merupakan salah satu kontributor utama pendapatan negara, menyumbang sekitar 74-80% dari total pendapatan. Namun, menurut OECD (2014), sebagian besar transaksi lintas perdagangan internasional yang dilakukan oleh perusahaan multinasional di Indonesia melibatkan aktivitas transfer pricing, yang menyumbang sebanyak 81% dari aliran keuangan ilegal. Jika tidak ada tindakan kooperatif antar-negara dalam mencegah dan menangani praktik transfer pricing ini, maka pembiayaan sektor-sektor strategis seperti pendidikan, kesehatan, jaminan sosial, dan infrastruktur dapat terganggu.
Untuk menanggulangi tantangan Base Erosion and Profit Shifting (BEPS), Organization of Economic Co-operation and Development (OECD) dan negara-negara anggota G20 bersatu dalam sebuah inisiatif revolusioner yang dikenal sebagai BEPS Action Plan. Rencana ini dirancang untuk menargetkan akar permasalahan dengan mengusulkan 15 rencana BEPS Action Point yang terfokus pada tiga pilar utama.
Pilar pertama, BEPS Action Plan bertujuan untuk menciptakan koherensi dalam peraturan perpajakan perusahaan di tingkat internasional. Dengan demikian, akan ada standar yang seragam dan jelas yang mengatur bagaimana perusahaan-perusahaan multinasional harus membayar pajak, tanpa celah untuk manipulasi.
Pilar kedua, rencana ini menekankan pada penataan kembali perpajakan dan substansinya untuk menutup celah-celah yang dimanfaatkan oleh perusahaan untuk menghindari kewajiban pajak. Ini termasuk penyempurnaan definisi dan penegakan aturan mengenai transfer pricing, penghindaran pajak melalui pengaturan perusahaan, dan penggunaan yurisdiksi pajak yang rendah.
Pilar ketiga, BEPS Action Plan mempromosikan kerjasama antar negara dalam hal perpajakan dan pembangunan ekonomi. Dengan memperkuat kerjasama internasional, negara-negara dapat saling berbagi informasi dan bekerja sama untuk mengatasi praktik-praktik penghindaran pajak yang merugikan.
Dengan 15 tindakan yang tercakup dalam BEPS Action Plan, pemerintah di seluruh dunia kini memiliki alat domestik dan internasional yang diperlukan untuk mengatasi penghindaran pajak. Hal ini memastikan bahwa keuntungan dikenai pajak di tempat di mana aktivitas ekonomi yang menghasilkan keuntungan dilakukan dan di tempat di mana nilai sebenarnya diciptakan. Melalui upaya bersama ini, diharapkan dapat dibangun sistem perpajakan yang lebih adil dan transparan bagi semua pihak yang terlibat.
Berikut ini penjabaran atas 15 rencana BEPS Action Point tersebut: