Masih ingatkah anda dengan aksara jawa? Aksara yang dimiliki masyarakat jawa, aksara ini berkembang pada abad 17 yang mana dulu berasal dari aksara kawi. Aksara kawi ini kemudian berangsur-angsur berubah lebih ke Jawa karena pengaruh Hindu Budha waktu itu. Aksara Jawa ini biasa disebut dengan hanacaraka atau carakan yang diambil dari lima huruf pertamanya. Aksara ini biasanya digunakan dalam kerajaan, seperti keraton-keraton yang ada di Surakarta dan Yogyakarta. Aksara jawa ini biasanya digunakan dalam berbagai karangan atau naskah-naskah seperti primbon, kakawin, babad serta naskah-naskah jawa lainnya.
Akhir-akhir ini aksara ini mulai terlupakan. Aksara ini mulai terkikis oleh majunya zaman. Padahal aksara kita, Hanacaraka begitu biasa di sebut tidak kalah demgam aksara yang dimiliki oleh negara Cina, Thailand, Hongkong, Arab dan Persia. Namun, mengapa kita tidak dapat melestarikannya seperti mereka yang mana aksara mereka tetap hidup dan eksis hingga sekarang.
Banyak faktor yang menyebabkan hal ini, yang pertama adalah kurangnya kesadaran masyarakat untuk melestarikan Aksara Jawa ini. Banyak kaula muda yang kurang paham bahkan sampai tidak paham dengan Aksara Jawa ini. Aksara Jawa yang di ajarkan ketika duduk di bangku sekolah kelihatannya hanya digunakan ketika pelajaran bahasa Jawa dan itu pun banyak dari mereka yang tidak paham. Dalam aksara jawa terdapat dua puluh huruf yaitu ha, na, ca, ra, ka, da, ta, sa, wa, la, pa, dha, ja, ya, nya, ma, ga, ba, tha, nga. Didalamnya pula terdapat dua puluh pasangan, sandangan, dan angka. Dimana pasangan ini digunakan untuk mematikan huruf yang dipasangi, sedangkan sandhangan digunakan sebagai tanda baca yang mana, ia ini bisa disebut dengan huruf vokal, seperti taling tarung yang bermakna o, suku yang bermakna u, wulu sama dengan e dan masih banyak lagi. ada berbagai macam sandhangan diantaranya, sandhangan swara, sandhangan swara tambahan, sandhangan penyigengin wandan dan.masih banyak lagi sandhangan lainnya. Tak hanya itu pasangan juga ada beberapa macam, yaitu pasangan nglegena, pasngan murda, pasangan Mahaprana, dan pasangan - pasangan lainnya. Dalam aksara jawa ini juga ada tanda baca. Karena aksara jawa atau hanacaraka yang rumit inilah masyarakat malas untuk mempelajarinya.
Faktor yang kedua adalah kurangnya penggunaan atau penerapan aksara Jawa ini dalam kehidupan kita. Jika kita menerapkan aksara jawa ini dalam segi-segi kehidupan kita mungkin saja aksara ini tak akan terlupakan seperti sekarang ini.
Seperti yang dilakukan oleh negara-negara lain yang punya aksara sendiri seperti negara Jepang, Cina, Thailand, Hongkong dan Arab. Namun, hal ini sepertinya kurang dapat diterapkan di seluruh Indonesia mengingat Indonesis terdiri dari berbagai macam suku bangsa. Namun tak menutup kemungkinan jika Aksara ini digunakan di sekitar Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Faktor lainnya adalah tak adanya dukungan dari pemerintah untuk menggalakkan pelestarian aksara Jawa ini. Jika hal ini terus berlanjut memungkinkan sepuluh tahun kedepan kita kehilangan aksara kita.
Susahnya penggunaan aksara jawa dalam media digital membuat aksara jawa ini kurang populer dikalangan masyarakat. Kesulitan ini yang membuaat aksara jawa atau hanacaraka kurang dipublikasikan.
Sebagai masyarakat Jawa kita perlu menjujung tinggi aksara Jawa. Kita harus terus melestarikan aksara kita dan mengenalkan aksara ini kepada mereka yang belum tahu dan paham dengan aksara jawa. Agar aksara jawa tidak terlupakan dan hilang di makan zaman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H