Mohon tunggu...
Freyja571
Freyja571 Mohon Tunggu... Arsitek, Dosen, Peneliti, Urbanist -

Mahasiswa Phd dalam bidang Architecture & Urbanism, praktisi arsitektur / Urban

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pekan Pancasila: Saya Indonesia, Saya Pancasila

1 Juni 2017   07:22 Diperbarui: 1 Juni 2017   07:47 4424
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Harkitnas Leuven 2017 -foto: Arie Asona

“Saya Indonesia, Saya Pancasila

Tema yang menarik ini, dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo untuk merayakan hari lahir Pancasila pada tanggal 1 Juni 2017. Seperti kita tahu, nilai-nilai dalam pancasila merupakan nilai yang telah disepakati bersama dan oleh karenanya menjadi salah satu sarana untuk menyatukan masyarakat Indonesia. Selain tema ini, Presiden juga menggelar “Pekan Pancasila” Tujuan penyelenggaraan 'Pekan Pancasila' ini adalah untuk menguatkan dan memperkenalkan ulang dasar-dasar Pancasila dan untuk menarik minat para generasi muda terhadap Pancasila.

Nilai – nilai yang terkandung dalam Pancasila telah disepakati sebagai milik bersama seluruh rakyat Indonesia. Pancasila dapat dikatakan diterima sebagai social ethics dalam masyarakat Indonesia yang heterogen ini. Dari apa yang dipelajari ketika sekolah dulu, maka berdasarkan Pancasila, bangsa Indonesia ingin mewujudkan bangsa yang religius, manusiawi, demokratis, bersatu, adil dan sejahtera. Sila pertama dari Pancasila, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, menjiwai keempat sila lainnya. 

Dari sila pertama ini, diketahui bahwa Bangsa Indonesia adalah bangsa yang berTUHAN. Tapi bukan dalam arti, bangsa Indonesia hanya memiliki satu konsep dalam berTUHAN. 4 nilai luhur yang ada dalam 4 sila selanjutnya adalah hasil dari bangsa yang berTUHAN tadi. Meskipun keTUHANan menjadi sila pertama dalam Pancasila, namun demikian tidak berarti bahwa TUHAN dapat dijadikan alasan untuk “membatalkan” implementasi dari ke empat sila lainnya.

Bagaimanakah implementasi dari 4 sila lainnya? Berdasarkan sila kedua, maka semua manusia harus diperlakukan sesuai harkat dan martabatnya sebagai makhluk ciptaan TUHAN yang sama derajatnya, hak, dan kewajiban, termasuk dalam kehidupan bernegara. Begitupun dengan sila ketiga, yang mana meskipun bangsa Indonesia beraneka ragam latar belakangnya, namun semua harus bersatu. Sungguh disayangkan ketika ada yang punya ide untuk mengelompokkan kesempatan partisipasi warga negara berdasarkan agama. Singkatnya, ada yang punya ide bahwa warga yang beragama tertentu hanya boleh berkiprah di wilayah tertentu saja. Sila ke empat merupakan hakikat dari negara demokrasi, Demokrasi dalam arti umum yaitu pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat. Siapa rakyat itu? Tentunya seluruh rakyat Indonesia. Bukan golongan tertentu saja.

Sila ke lima, mengenai keadilan social. Sebetulnya ini adalah masalah besar hingga saat ini. Kesenjangan, yang mana artinya masih ada (banyak) rakyat Indonesia yang belum sejahtera, sementara ada sebagian rakyat yang hidup sangat sejahtera. Selain masalah identitas (suku dan agama), masalah kesenjangan ini memiliki potensi besar menghancurkan persatuan Indonesia. Apalagi bila ada yang cukup usil mengaitkan masalah kesenjangan ini dengan masalah identitas tadi. Contoh kasus dari hal ini ialah peristiwa di Lampung, tahun 2012 lalu. Kesenjangan ekonomi yang dibalut dengan masalah kesukuan, menghasilkan konflik berdarah. PR untuk mewujudkan keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia tidak hanya menjadi tugas Pemerintah, namun juga seluruh rakyat Indonesia. Tentunya sesuai dengan kemampuan masing – masing. Sebagai bangsa yang berTUHAN, adalah lebih baik berjuang untuk mewujudkan keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia, daripada sibuk memperuncing perbedaan yang ada untuk mendapatkan keuntungan bagi golongannya sendiri.

Terkait dengan tema di atas, “Saya Indonesia, Saya Pancasila”, dimanapun seorang yang merasa dirinya orang Indonesia berada, maka nilai – nilai Pancasila semestinya menjadi pedoman hidup. Dan rupanya hal ini benar adanya. Kepedulian pada Pancasila sebagai ideology negara masih ada pada warga Indonesia yang saat ini hidup di luar negeri. Sebelum pencanangan tema di atas, pada hari Kebangkitan Nasional, ada suatu acara peringatan yang diselenggarakan oleh komunitas warga Indonesia di Kota Leuven dan Brussels.

Tidak dipungkiri bahwa aksi ini merupakan aksi solidaritas atas kasus BTP. Adapun komunitas Indonesia yang dimaksud adalah mereka yang sudah tinggal di Belgia, belasan hingga puluhan tahun. Sebagian dari mereka dulunya adalah pelajar, namun kemudian bekerja atau membentuk keluarga di sini. Meskipun demikian, acara ini BUKAN acara yang diselenggarakan oleh Perhimpunan Pelajar Indonesia. Adapun untuk lokasi acara, panitia mendapatkan arahan dari City Hall kota Leuven untuk menggunakan halaman Kastil Arenberg yang merupakan bagian dari KU Leuven. Acara ini diisi dengan penyalaan lilin, menyanyi lagu – lagu nasional dan lagu kebangsaan Indonesia Raya, serta pembacaan puisi.

Meskipun acara tersebut dilatari oleh kasus BTP, namun yang lebih utama ialah harapan warga Indonesia di sini mengenai nasib bangsa ke depannya. Mereka mengharapkan nilai – nilai Pancasila dapat terus diimplementasikan dengan baik di Indonesia. Mereka mengharapkan, Indonesia dapat terus menjadi negeri yang nyaman, yang bersatu, seperti Indonesia yang mereka tahu dulu. 

Mereka mendengar adanya pihak – pihak yang ingin mengganti Pancasila, atau adanya perpecahan yang timbul akibat politik identitas. Barangkali ada yang bilang, bahwa mereka terlalu termakan dengan berita negatif yang beredar. Mungkin ini benar, namun menjadi ironis ketika komunitas Indonesia disini justru mendapatkan “konfirmasi” dari hal negatif yang mereka dengar melalui polemik yang terjadi ketika acara ini disiapkan.

Kembali ke masalah Pancasila, tema diatas tidak boleh hanya sebatas slogan. Pekan Pancasila harus dimanfaatkan sebaik mungkin untuk mengembangkan Pancasila sebagai norma yang hidup dan pola pikir. Tidak bisa juga hanya menjadi hafalan seperti butir – butir P4 di masa lalu. Lebih baik lagi bila ada gerakan – gerakan yang nyata atau program pembinaan bagi generasi muda untuk menangkal masuknya ideology lain di sekolah - sekolah. Akan tetapi, lebih dari itu, Pancasila harus menjadi cara hidup yang disebarkan melalui teladan, perilaku sehari – hari, yang tentunya harus dimulai dari diri sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun