Hari ini ketika membaca Kompas saya sungguh kaget melihat ucapan Marzuki Ali, bahwa rakyat Indonesia tidak perlu dilibatkan dalam rencana pembangunan gedung baru DPR. Sungguh suatu pernyataan yang arogan, ketika menyatakan bahwa rencana gedung baru DPR seharusnya hanya dipikirkan oleh orang – orang pintar, rakyat tidak akan mampu memikirkannya.Ini sungguh suatu penghinaan! Apakah semua rakyat Indonesia itu bodoh?
Hal yang kedua, Saya membaca artikel mengenai pernyataan Marzuki Ali ini di Kompas cetak. Dimana dalam versi lengkapnya dikisahkan bahwa rencana pembangunan gedung baru DPRD ini mulanya diwacanakan untuk disayembarakan. Namun setelah itu wacana sayembara tidak terdengar lagi. Sementara tiba – tiba saja, gambar desain gedung baru DPR RI, lengkap dengan anggarannya sudah tersedia. Yang buat konsultan mana ya? Jadi penasaran….. lewat lelang tidak tuh?
Dan dalam hati kecil saya, terpikir bahwa jangan – jangan yang dimaksud “pintar” oleh Marzuki Ali adalah orang yang bersedia diajak kerja sama untuk menjustifikasi korupsi berjamaah, dengan kedok pembangunan Gedung baru DPR RI. Mengapa saya berani berpikir demikian? Karena saya melihat langsung modus semacam ini di Indonesia. Berikut ini contohnya….
Ada sebuah kota di wilayah Indonesia. (Ehm, sebenarnya, saya sangat ingin menuliskan langsung nama kotanya! Tapi karena apa yang akan saya paparkan setelah ini tanpa didukung bukti rekaman, maka saya tidak ingin dituntut, di somasi dan semacamnya). Tapi ini based on true story. Suatu kali, salah satu pejabat di secretariat DPRD kota ini memanggil suatu konsultan. Ia berencana mengajukan proyek revitalisasi lantai 3 dari gedung tersebut, dengan memanfaatkan dana sebesar 6 – 7 Milyar yang ada. Adapun fasilitas yang diminta adalah penyediaan lift (padahal bangunan hanya 3 lantai), lift harus lift panorama, sarana ruang fitness / olah raga, ruang makan khusus, ruang rapat yang diwaktu lain dapat dimanfaatkan sebagai ruang santai dan ruang karaoke (entah nantinya banyak digunakan untuk rapat atau karaoke an, hanya TUHAN yang tahu). Ruang komisi, yang dilengkapi ruang pribadi bagi masing – masing anggota dewan. Adapun standar interior ruang yang diminta adalah sekelas hotel. Termasuk juga untuk furniture nya. Perwakilan dari anggota DPRD sendiri menyatakan, bahwa supaya mereka bisa bekerja dengan baik, maka dibutuhkan sarana yang cukup berkelas bagi mereka. Sampai - sampai salah satu tim perencana berkomentar, "kok tidak minta kolam renang sekalian ya?"
Setelah proses desain berlangsung, mulailah disusun anggaran biaya. Nah, si pejabat ini secara informal meminta pada konsultan agar dari dana yang dianggarkan nanti diatur sehingga terdapat dana sisa sebesar minimal 1 M. Yang nantinya akan dibagikan kepada anggota DPRD, dengan syarat proyek ini diloloskan. Katanya ini adalah kebiasaan “tahu sama tahu” dengan anggota DPRDnya. Kompensasinya, dijanjikan pula bahwa pada tahap pelaksanaan diatur agar kontraktornya satu group dengan konsultan perencana sekaligus konsultan pengawasnya. Ending cerita, si perencana terusik hati nuraninya, selain itu ia juga tidak berani mengambil resiko me mark up anggaran gila – gilaan. Begitu pula dengan direktur dari konsultan tersebut. Hasilnya bisa ditebak, ketika presentasi proposal dan pihak konsultan tidak berani menjanjikan dengan tegas dana yang hendak “disisihkan” sesuai permintaan mereka, maka proyek diputuskan ditunda. Hal yang juga mengusik saya, mengapa dana sebesar itu tidak digunakan untuk membangun sarana – pra sarana saja, mengingat daerah tersebut bukanlah daerah yang maju. Masih dibutuhkan sarana – prasarana, terutama dalam bidang perhubungan, pendidikan dan kesehatan.
Nah, apakah yang dianggap orang - orang pintar oleh Marzuki Ali itu seperti kisah di atas? Pintar sih pintar, tapi dalam hal bersekongkol membohongi rakyat sendiri. Saya juga jadi mikir, jangan – jangan konsultan yang mendesain gedung baru DPR adalah “bawaan” dari salah satu tokoh DPR. Sehingga Beliau membela rencana tersebut mati – matian. Karena, kalau proyek batal, maka terbanglah uang yang hendak di dapat. Perlu di cek, apakah ada tender atau lelang terbuka dalam perencanaan gedung DPR itu. Karena dalam kasus DPRD yang dipaparkan diatas, nilai pekerjaan perencanaan dibuat dibawah 50 juta, sehingga sah dilakukan penunjukan langsung. Selain itu sang pejabat pelopor memotong fee konsultan hingga 35% an. Karena dialah yang “berjuang” meyakinkan agar proyeknya goal! Bahkan mula – mula hendak dipotong hingga 50% kalau konsultannya tidak teriak – teriak complain.
Sekali lagi, saya tegaskan bahwa kisah yang saya paparkan di atas adalah kisah nyata. Dan menjadi gambaran bagaimana proyek – proyek semacam ini di goal kan. Yang tidak mustahil terjadi juga pada pembangunan gedung baru DPR ini. Hal yang sangat memprihatinkan bagi Indonesia. Pesan saya, kalaulah ada tokoh dari DPRD yang saya ceritakan di atas, membaca Kompasiana, jangan marah atau tersinggung ya….. saya kan ga sebut nama. Sebaiknya anda – anda bertobat saja. :P
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H