Berita kekerasan pada anak yang terjadi di Sragen di awal tahun 2016 kemarin membuka kembali luka lama terhadap angka kekerasan anak yang sebelumnya sempat menurun pada Tahun 2015. R (14) siswi SMP menjadi korban kekerasan oleh tetangganya K (50), istri dan juga adiknya. Kasus yang menuai kecaman oleh berbagai pihak ini dipicu oleh biadabnya perbuatan K dengan mengarak korban keliling kampung tanpa menggunakan busana. Aksi simpati dari masyarakat sekitar pun berdatangan pada korban dan keluarganya. Setelah sebelumnya rencana digelar aksi 1000 sandal untuk korban meskipun akhirnya ditertibkan oleh Pihak Kepolisian, kunjungan dari warga bahkan luar kota Sragen pun semakin banyak.
Hingga saat ini kondisi R, masih sangat labil dan membutuhkan perhatian khusus untuk mengatasi trauma hebat yang dialaminya. Kini dia tinggal sementara bersama Sugiyarsi, seeorang pensiunan PNS yang juga merrupakan aktivis Women Crisis Center atau Pusat Pelayanan Penanganan Persoalan Pempuan Anak (P4PA) di Blimbing, Sambirejo Sragen. Kondisi psikis R sangat tertekan, dia tidak mau berangkat sekolah atau berada di lingkungan kampungnya karena malu. Saking tertekannya dia sempat menggores lengan kirinya untuk mencoba bunuh diri.
Trauma psikis sulit untuk didiagnosa
Dampak psikologis anak yang mengalami kekerasan secara umum berupa trauma. Manifestasi dari tauma itu dapat diklasifikasikan dalam beberapa kategori ada anak yang menjadi negatif dan agresif serta mudah frustasi; ada yang sangat pasif dan apatis; ada yang tidak mempunyai kepribadian sendiri; ada yang sulit menjalin relasi dengan individu lainnya sampai dengan ada yag membenci dirinya sendiri.
Tak jarang gangguan mental yang dialami oleh masa dewasa juga dipengaruhi oleh kekerasan yang dialaminya di masa kecil dan hal ini tentu sulit untuk dihilangkan. Kekerasan psikis memberikan dampak yang cukup serius pada anak ke depannya. Mulai dari bulimia nervosa (memuntahkan kembali makanan), penyimpangan pola makan, kecanduan alkohol dan obat-obatan hingga dorongan untuk bunuh diri. Berbeda dengan trauma fisik yang bisa diidentifikasi, trauma psikis lebih sulit untuk di diagnosa. Hal ini terjadi karena tidak adanya bekas yang nyata sperti luka fisik. Trauma psikis meninggalkan bekas yang tersembunyi yang akhirnya termanifestasikan dalam beberapa bentuk seperti kurangnya rasa percaya diri, kesulitan membina persahabatan, perilaku merusak, menarik diri dari lngkungan sampai percobaaan bunuh diri.
Jika trauma psikis sudah terjadi, hal ini kan menjadi pelik untuk ditangani. Perlu upaya yang komprehensif untuk mengatasi trauma ini. Karena sulit di diagnosa dan sulit ditangani maka tidak heran bekas luka itu akan terbawa hingga mereka dewasa. Tak jarang pelaku kriminal atau yang mengalami gangguan mental pada saat remaja atau dewasa memiliki latar belakang kekerasan pada masa kecilnya. Selain itu dampaknya juga bisa jadi ketidaksiapan menghadapi masa depan untuk terjun di masyarakat pun dialami oleh mereka.
Banyak faktor yang berpengaruh
Kasus kekerasan pada anak terjadi karena beberapa faktor penyumbang hingga hal itu terjadi. Mulai dari konflik sosial horizontal dan vertikal, policy dan kewajiban negara (pembangunan) yang tidak mendahulukan kepentingan terbaik dan memberikan yang terbaik kepada anak, keluarga yang kurang melaksanakan fungsi dan tanggung jawabnya, masyarakat yang belum atau kurang menyadari kedudukan dan hak-hak seorang anak, penegakan hukum yang tidak memberikan keadilan bagi anak, dan berbagai faktor lain yang menyebabkan kedudukan anak dalam keluarga, masyarakat dan negara berada pada kelas bawah yang pada gilirannya mengantarkan pada munculnya perasaan tak bersalah manakala akan atau setelah melakukan kekerasan terhadap anak.
Beberapa aspek yang berdampak langsung pada kekerasan dunia anak-anak diantarnya ; pertama, Orang Tua. Para orang tua mestinya lebih memperhatikan kehidupan anaknya. Orang tua dituntut kecakapannya dalam mendidik dan menyayangi anak-anaknya. Jangan biarkan anak hidup dalam kekangan, mental maupun fisik. Sikap memarahi anak habis-habisan, apalagi tindakan kekerasan (pemukulan dan penyiksaan fisik) tidaklah arif, karena hal itu hanya akan menyebabkan anak merasa tidak diperhatikan, tidak disayangi. Orang tua harus menyadari betul bahwa anak yang dilahirkannya memiliki hak yang include di dalamnya yang harus mereka penuhi. Bukan justru anak diperlakukan seenaknya karena merasa memiliki hak penuh atas anaknya.
Seorang anak memiliki hak untuk mendapatkan pengasuhan yang baik, kasih sayang, dan perhatian. Anak pun memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan yang baik di keluarga maupun di sekolah, juga nafkah (berupa pangan, sandang dan papan). Bagaimanapun keadaannya, tidak seharusnya seorang anak dibebani kewajiban mencari nafkah untuk dirinya (atau bahkan keluarganya).
Kedua, Guru. Di sini peran seorang guru dituntut untuk melihat bahwa pendidikan di negara kita bukan saja untuk membuat anak pandai dan pintar, tetapi harus juga dapat melatih mental anak didiknya. Peran guru dalam memahami kondisi siswa sangat diperlukan. Sikap arif, bijaksana, dan toleransi sangat diperlukan. Idealnya seorang guru mengenal betul pribadi peserta didik, termasuk status sosial orang tua murid sehingga ia dapat bertindak dan bersikap bijak. Sehingga guru memahami perannya yang urgen dalam mendidik anak yang berbagai macam karakter dan latar belakang