Mengapa? Karena generasi millenial atau Generasi Y adalah mereka yang lahir 1980 - 1990, atau pada awal 2000, yang tumbuh dalam lingkungan serba digital. Sehingga untuk beradaptasi dalam rangka menyambut perubahan era digital ini dia adalah digital native, warga pribuminya (penduduk asli).
Sedangkan immigran digital atau alien-nya adalah Generasi X (yang lahir di tahun 1965-1979) atau sebelum sebelumnya. Meskipun dengan kelebihan secara finansial mereka mampu membeli semua teknologi, namun penggunaan terbatas sehingga mereka tak semuanya steady menghadapi perubahan sosial di era digital ini. Terjadilah cultural syok pada generasi lama ini.
Selain itu, bonus demografi yang akan dipanen oleh Indonesia pada tahun 2020-2030 mau tidak mau menjadikan penduduk Indonesia lebih didominasi oleh Generasi Millenial ini. Jadi, kalau bicara itung-itungan kasar maka generasi melek gadget inilah yang diprediksi harus dihadapi oleh taksi konvensional.Â
Sebagai konsumen, pemikiran dan perilakunya sudah terpengaruh oleh gadget sehingga lebih memilih hal-hal yang praktis dan instan. Karena taksi konvensional kalah saing, uber pun menjadi primadona. Akhirnya, perubahan sosial dalam aspek transportasi taksi mampu membentuk wajah baru berupa taksi uber, cepat atau lambat. Seperti yang terjadi pada GOJEK, bukan?.
Itulah keniscayaan perubahan sosial di masyarakat yang saya prediksi akan dialami oleh taksi lokal di Solo. Jika kita lihat, meskipun upaya penertiban oleh beberapa komponen pemerintah dilakukan namun tak bisa dipungkiri konsumen atau masyarakat menjadi penentu utama gelombang arah perubahan sosial ini. Maka alangkah lebih bijak jika pemerintah mampu berkoordinasi dengan berbagai pihak agar gesekan yang terjadi tidak terlalu tajam.
Lantas bagaimana menurut anda, relevan kah ilustrasi di atas dengan gesekan yang terjadi saat ini di Indonesia?
Perubahan itu adalah keniscayaan, tinggal bagaimana kita menyambutnya untuk masa depan bangsa yang lebih baik. Yang terpenting adalah bagaimana kita selalu membuka mata, pikiran dan diskusi jika tak sependapat. Bukan lantas mencaci, labelisasi dan menutup telinga. Betul?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H